“Jadi gimana Eyang?” tanyaku penuh harap. Berharap masih ada yang bisa aku lakukan untuk membantu Sahabat terbaikku.
“Harapan hidupnya tinggal keyakinannya untuk terus bertahan hidup, Sam. Kecelakaan itu menyebabkan cedera berat. Untuk hidup sehari-hari saja, Eyang yakin dia menahan rasa sakit dengan skala sembilan per sepuluh. Bayangkan, seperti apa rasa sakitnya itu?”
Mendengarnya saja, tulang-tulangku ikut merasa ngilu. Tak bisa menggunakan tangan dan kakinya, bahkan harus merintih saat posisinya harus diubah membuatku seolah bisa merasakan sakitnya. Kamu sangat hebat bisa bertahan sejauh ini, Ri.
“Hidupnya benar-benar bergantung pada painkiller, Sam. Itu pasti sangat menyakitkan,” lanjut Dokter Herman dengan tatapan sedihnya.
“Bener-bener gak ada yang bisa kita lakuin, Eyang? Apapun itu? Samudera akan bantu biayanya.”
“Ini gak hanya soal biaya, Sam. Lebih dari itu. Sebelum kamu datang memohon seperti ini. Adiknya sudah lebih dulu melakukan ini, Sam. Sama denganmu, kami juga mengusahakan yang terbaik untuk Riani selama dua tahun ini,” Dokter Herman menghela nafas berat, seolah membawa beban berat di pundaknya.
“Sam, kamu tahu kan kalau ada tangan yang lebih kuasa dari kami yang seorang Dokter? Berharaplah sama Tuhan, Sam. Semoga Mukjizat itu datang kepada Riani. Eyangpun hanya bisa berharap itu kepada Tuhan. Dibanding Riani, adiknya lebih lelah Dalam hal ini. Sekian tahun dia harus jadi wali dan menandatangani operasi ini dan itu. Ratusan juta dia keluarkan demi Kakaknya. Mereka hanya berdua saja. Semuanya itu--” belum sempat Dokter Herman melanjutkan bicaranya. Aku mendengar geraman, seolah kesal dengan sosok yang baru saja ia sebutkan.
Jika Dokter Herman yang baru saja mengenal Riani bisa kesal dengan Reval. Apalagi aku yang mengenal bajingan tengil itu. Aku ikut mengatur nafasku agar tak terbawa emosi saat ini.
“Sam, Eyang yakin Tuhan pasti tahu apa yang kalian perjuangkan. Tuhan pasti punya rencana yang terbaik,” ucap Dokter Herman yang berhasil membuatku tertegun untuk sesaat. Benarkah sudah tidak ada yang bisa kami lakukan selain mengharapkan mukjizat Tuhan? Separah itukah kondisinya?
“Kalau ada hal lain, nanti Eyang akan kabari kamu,” ucap Dokter Herman lagi sambil menepuk pundakku pelan.
*Flashback Off*
Percakapan hari itu benar-benar membekas dihatiku. Sejauh ini, memang tak ada yang bisa aku lakukan untuk Riani. Kecuali membantunya melewati hari-harinya yang bagiakan neraka. Itu mengapa aku ingin merawatnya, sepanjang sisa hidupku.
“Sam? Gimana? Diem mulu sih,” tanya Riani membuatku kembali mengalihkan pandanganku ke arahnya.
“Gue ngelamarnya elo, Ri. Kenapa lo nyodorin Adek lo. Gimana sih?” ucapku dengan segera beranjak dari tempat dudukku untuk menenangkan hatiku di tengah suasana yang rumit ini.
"Dengerin gue dulu. Gue tau lo orang paling bisa gue percaya. Gue titip adik gue, Sam. Dia sendirian kalau gue gak ada,” ucap Riani memelas.
Aku masih saja diam. Aku enggan menatapnya dan memilih untuk mengambil air hangat dari dispenser di hadapanku.
“Lo tau nyokap bokap gue udah gak ada. Keadaan gue juga gini. Diperparah dengan masa lalu keluarga gue dan kelakuan suami gue yang pergi gitu aja disaat keadaan kayak gini. Gak akan mudah bagi dia. Gue yakin lo itu laki-laki baik. Lo bisa bantu jaga adek gue sambil kembaliin kepercayaan dia soal laki-laki. Lo bisa kan buktiin ke dia, kalau gak semua laki-laki brengsek, Sam?”
Pernyataan Riani yang terakhir mengingatkanku bahwa dulu orang Tua Riani kecelakaan karena Ayahnya berselingkuh dengan wanita lain. Mamanya yang memergoki kejadian malam itu. Ayahnya mencoba menenangkan ibu Riani dengan membawanya pulang. Naas, mereka tak pernah sampai dirumah untuk menyelesaikan masalah itu.
Cerita itu yang terkenang dulu. Riani mencurahkan isi hatinya denganku sambil terisak hebat saat aku baru saja datang di rumahnya sesaat setelah mendengar kabar bahwa ayah dan ibu Riani mengalami kecelakaan di jalan tol dalam kota. Kejadian itu pasti membekas hebat pada kedua anak perempuan keluarga Abhimaya.
Kini, Kecelakaan itu kembali terulang. Bedanya, keduanya selamat tapi satu orang memilih melarikan diri. Aku tidak tahu kenapa kecelakaan itu bisa terjadi. Aku bahkan tak sanggup bertanya pada Riani. Tapi aku yakin, kecelakaan ini makin membuat Diani sakit hati karena kedua laki-laki yang ia kira bisa menjadi tumpuannya, tak bisa ia andalkan.
“Dia benci banget sama laki-laki, Sam. Bokap gue, suami gue, semuanya bikin dia punya mengalami mimpi buruk yang bahkan gak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sekarang kalau keadaannya udah kayak gini, gue minta tolong sama siapa buat jaga dia? Gue gak punya siapa-siapa, Sam. Gue gak akan tenang ninggalin adik gue sendiri di dunia ini, Sam. Gue minta tolong banget buat nikahin dia. Gue yakin kalian bisa jadi sumber bahagia satu sama lain. Kalian bakalan jadi keluarga yang harmonis. Gue yakin itu. Tunjukkin ke dia, bahwa masih ada pria baik Sam. Salah satunya ya elo," permohonan itu keluar dengan lancar diiringi dengan tatapan teduh milik Riani, seolah ini adalah amanat terakhirnya.
Mana bisa aku menolak jika permohonan itu terdengar begitu pilu di telingaku. Tapi bagaimana bisa aku menerimanya jika Tania masih saja tak bisa aku gantikan? Aku kalut.
Aku memandang Riani dengan tatapan sendu. Perasaanku campur aduk. Sedih, bingung, marah, dan berbagai perasaan negatif lainnya mengingat Semua kejadian menyesakkan yang dialami keduanya hingga kini. Aku pikir, akulah orang paling malang di dunia ini.
Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirku.
"Diani bakalan jadi ibu yang baik dan lo jadi ayah yang hebat. Gue yakin, bakal mudah banget buat lo jatuh cinta sama Diani," ucap Riani lagi, kali ini dengan senyuman di di bibirnya.
"Sam, Lo gak bisa nikah sama gue. Keadaan gue gak memungkinkan. Liat gue, Sam! Perusahaan Adnan pasti butuh penerus. Lo gak bisa dapet itu dari gue. Gue gak sempurna sebagai wanita. Sam, Diani bisa. Dia pasti bisa. Gue titip Diani, Sam. Gue yakin lo bisa sayang sama dia," ucap Riani lagi.
Aku hanya bisa menatapnya nanar dalam kebimbangan. Aku masih bisu. Sangat enggan untuk menjawab.
Aku benar-benar tak ada niat lain, selain menjaga Riani di sisa hidupku. Aku hanya ingin menjadi temannya, tidak pula ingin menjadikannya sebagai sebenar-benarnya istri. Apalagi mempersoalkan soal penerus setelahnya.
Aku cukup waras untuk itu. Bagaimana bisa aku memikirkan hal itu saat keadannya sudah jelas? Aku tak segila Reval yang meninggalkan istrinya ketika kondisinya tak sesuai harapannya. Bagiku, semua keponakanku sudah cukup untuk menemaniku hingga tua nanti. Dan bagiku, Putih juga sudah cukup jika nanti aku tak lagi bisa memiliki anak.
***
*11 Tahun Lalu*Suasana yang riuh dalam kelas menandakan bahwa belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Semua siswa saling bergerombol dengan geng mereka masing-masing sambil bersenda garau. Tidak sedikit juga iseng mengerjai teman-temannya agar suasana kelas menjadi semakin gaduh dengan tawa.Seorang remaja laki-laki berlarian di dalam kelas dan dengan gesit menarik kuncir yang dipakai oleh Diani, gadis bertubuh kurus, namun memiliki kulit putih bersih dengan kacamata bulat yang terlihat lucu di pakainya. Untuk beberapa orang, style Diani itu aneh, tapi laki-laki dengan mata jeli seperti remaja laki-laki yang menggodanya ini, tahu bahwa ada pesona tersembunyi dari seorang Diani Abhimaya. Anak seorang pengusaha restoran yang cukup terkenal seantero Jakarta.“Alviiin! Rese’ banget sih lo!” teriak Diani dengan muka kesal dan mata yang mulai berkaca-kaca.Alvin yang mendengarnya hanya menjulurkan lidahnya dengan muka meledek. Kedua sahabat Diani, Kanya dan Pita hanya bisa tersenyum gel
Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu
Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania."Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–""Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya
"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"Pertanyaan itu berhasil membuat Lian menatap sedih adiknya."Lo boleh temui Ruby, kapanpun lo mau. Tapi, please. Kasih gue dan Ruby space, Sam. Dia anak gue. Gue pengen nge-didik dia dengan cara gue. Kak Davino juga pengen banget ngabisin banyak waktu sama anaknya satu itu.""Ruby, gue angkat anak ya Kak. Biar dia ikut gue," mohon Sam."Gak, Sam. Gue masih sanggup dan lebih dari mampu untuk ngurus dia sendiri. Gimana pun dia anak gue dan gue sayang banget sama dia. Gue gak bisa kalau harus pisah dari dia. Jangan egois Sam," ucap Lian dengan tenang walaupun kesedihan mulai menyusup di hatinya."Lo sedih jauh dari Ruby, apa kabar suami gue? Dia selalu ngalah buat apapun demi lo, karena buat dia, elo itu adik kesayangannya. Gue tau semuanya berat buat lo, tapi please, ngerti juga keadaannya.""Hidup gue sepi Kak, kalau gak ada Ruby," ucap Samudera sambil menunduk, menyembunyikan wajah sendunya."Itu kenapa Mama minta lo nikah, Sam. Sekarang ataupun nant
*Diani Pov*Aku beranjak dari tempat dudukku, menatap lelah tumpukan pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya. Mati satu, tumbuh seribu. Begitu istilahnya.Setelah kepulanganku dari Bali, pertengkaranku dengan Kak Riani kembali terjadi. Aku kira keinginannya untuk mengakhiri hidupnya telah sirna. Karena selama aku di Bali, tak kudengar kabar dia mengeluhkan keadaannya. Ternyata, aku salah.Kini tak hanya keinginan menyudahi hidupnya, ia malah sibuk mencari laki-laki kurang ajar yang menelantarkan dirinya sendirian setelah kecelakaan yang turut melibatkan manusia terkutuk itu. Sampai sekarang, aku tak habis pikir. Kenapa Kak Riani masih mencari laki-laki brengsek itu? Laki-laki yang beruntung hanya karena truk yang menabrak mobil mereka ikut bersalah. Seandainya itu kecelakaan tunggal. Sudah ku tuntut pria itu, tak peduli berapapun uang yang akan aku keluarkan.Ego prianya yang menjijikkan membuat Kakakku kehilangan dunianya. Tak lagi bisa menapakkan kakinya, bahkan untuk sekedar duduk
*DIANI POV*Hari itu adalah kali terakhir aku bertemu Reval. Tak pernah lagi aku mendengar kabarnya, aku pun tak mau tahu bagaimana kabarnya setelah membuat Kakakku hidup dalam neraka yang ia buat. Enyah dari hidup kami, adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.Mungkin itulah alasannya tak ada perpisahan untuk Kak Riani. Tapi, laki-laki tak tahu malu itu benar-benar keterlaluan. Hingga kini ia pun tak pernah mengucapkan kata perpisahan untuk Kak Riani. Laki-laki pengecut! Bagaimana bisa ada manusia tanpa empati sepertinya? Ya Tuhan, aku benar-benar mengutuk perbuatannya.Mataku kini beralih menatap ke dalam sebuah foto. Foto Keluarga yang berisi ayah, ibu, dan dua anak perempuannya. Senyum mereka tulus. Pasti tak akan ada pikiran, bahwa bertahun-tahun setelahnya, keluarga itu hancur karena ego seorang laki-laki yang hanya mementing
Drrttt.. drrttt..Getaran dari saku Diani membuat gadis itu terbangun. Badannya terasa remuk redam akibat tidur dalam posisi duduk. Ia mencoba untuk meregangkan otot-otot tubuhnya sambil mengerjapkan matanya berharap kesadarannya segera berkumpul.Diani baru mengambil ponselnya setelah getarannya terhenti. Ia melihat pada waktu yang tertera di ponselnya. Pukul tujuh pagi dan nama bos besar pemilik perusahaannya sudah nampak di menu panggilan tak terjawab.Diani hanya menghembuskan nafasnya lelah. Dia menoleh ke arah Kakaknya. Merapikan anak-anak rambut yang dirasa mengganggu wajah Riani. Senyuman tipis menghiasi wajah putih bersih Diani melihat Kakaknya tidur dengan damai.Diani bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja lagi. Hari ini ada proyek penting yang haru
Drrt.. Drrt.. Diani baru saja meletakkan pantatnya saat ponselnya kembali bergetar. Emosinya kini memuncak. Baru saja ia selesai melakukan meeting untuk pematangan konsep hingga melupakan jam makan siangnya. Kini telepon masuk kembali terdengar dari ponselnya. Ia sudah bersumpah serapah jika itu bosnya. Berdoa agar bosnya terkena tipes karena sangat gila kerja. Baru saja ia akan mengumpat, namun wajahnya berubah panik ketika melihat nama Grace yang terpampang disana. “Halo Kak Grace? Ada apa Kak?” tanya Diani dengan wajah panik sambil menggigit kuku ibu jarinya. Diani akan selalu begitu jika dia sedang cemas. “Hai, sore Di. Maaf ya, gue ganggu. Lo sore ini ke rumah sakit?” ucap Grace dari ujung sana terdengar tenang. “Iya, habis ini Diani kesana. Ada sesuatu Kak?” tanya Diani masih panik dengan tubuh menegang. “Gak ada apa-apa. Kakak lo nanya aja. Yaudah, kalau gitu nanti gue sampein.” “Beneran gak ada apa-apa? Kak Riani kemana? Kenapa Kakak yang telepon? Biasanya kan Kak Rian