Denting suara peralatan makan menggema di ruang makan kediaman Johan Pramono. Si Bos Besar mengambil sepotong daging yang diolah menjadi rendang, itu favoritnya. Mila sibuk antara mendampingi putrinya untuk makan dan menyuap dirinya sendiri. Ibu Kristina mengambil beberapa lauk secara bergiliran untuk anak-anaknya dam menantunya. David melempar pandangan bergantian menatap Nicho, Mila dan Cheryl. Membayangkan sesuatu.
Tanpa obrolan yang berarti hanya suara Bu Tina seperti 'lauknya ambil lagi, Nak', 'Nasinya mau nambah lagi?' dan 'Cheryl mau ini?' - yang terdengar selama kegiatan makan malam berlangsung. Pak Johan memang tidak terlalu suka dan melarang mereka berbicara jika sedang makan. Akan ada waktunya sendiri untuk mengobrol intim bersama keluarga yaitu acara minum teh atau kopi di ruang keluarga.Cheryl meminta untuk digendong David sesuai makan malam. Dua minggu tak bertemu, gadis kecil itu masih rindu dengan pamannya karena sabtu lalu Cheryl pergi menyusul ibunya ke Turki untuk berlibur sekalian bersama ayahnya. Daripada Mila harus pulang ke Indonesia dulu lebih baik ia menunggu mereka di Turki seusai tugasnya selesai."David, ikut Papa sebentar ke ruang kerja!" pinta Pak Johan menghentikan kegiatan bercanda gurau antara paman dan keponakannya itu. Ia pun pamit kepada Cheryl bahwa akan segera kembali. David mengikuti ayahnya dari belakang menuju ke ruang kerja.Ayahnya mengambil amplop cokelat berukuran besar dari meja kerja dan menyerahkan kepada David yang sudah duduk di sofa. David membukanya dan melihat berkas-berkas yang menampilan foto dan data diri. Ia pikir ini adalah calon karyawan baru untuk perusahaannya dan ayah sedang meminta pendapatnya. Tetapi aneh, Ia melihat sekitar 20 berkas itu berisi wanita semua dengan latar pendidikan dan pekerjaan yang berbeda-beda. Kebanyakan malah diluar profesi yang mungkin dibutuhkan oleh perusahaannya."Bagaimana? Kamu mau pilih yang mana? Biar Papa bantu komunikasikan." tanya Pak Johan ketika David selesai melihat berkas-berkas itu satu per satu."Untuk calon karyawan baru kita?" tanya David memastikan dengan kening berkerut."Untuk calon istrimu!" sentak Pak Johan, "Sudah Papa dan Mama pilihkan yang terbaik untukmu!""Hah?" gumam David sambil meletakkan tumpukan berkas itu ke meja lalu menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya. "Tapi, Pa-""Cepat pilih! Minggu depan seusai makan malam beritahu Papa!" perintah Pak Johan tegas lalu beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan David yang terpaku.David termenung menatap seonggok berkas itu. Demi apa? Ia sedang menjadi Siti Nurbaya 'kah saat ini? David benar-benar tak habis pikir.David memasukkan kembali berkas itu ke dalam amplop dan keluar dari ruang kerja ayahnya. Ia berjalan menuju tangga, langkah kakinya terhenti di anak tangga pertama lalu melihat keluarga yang sangat harmonis di ruang keluarga. Cheryl sedang bercanda dengan kakeknya. Riang sekali. Hal itu membuat David tersenyum kecut dan melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya.David melempar berkas itu ke ranjangnya dengan kasar lalu mengambil ponsel yang ada di meja kerjanya. Ia mengecek satu per satu pesan yang dikirim untuknya, mencari sosok bernama Gilang. Gilang mengirim pesan.Gilang : Bro, kita nemuin sesuatu nih.Gilang mengirim sebuah file g****e drive yang berisikan foto. Ternyata fotonya banyak sekali. David membukanya dan melihatnya dengan jeli. Foto itu menampilkan suasana sebuah apartemen yang ia kenal. Ya, apartemen Sandra. Desain dan arsitekturnya sangat ia kenal karena memang perusahan ayahnya yang membangunnya.Salah satu foto itu menampakkan kejadian berurutan seorang wanita - wajahnya terpampang jelas ia adalah Sandra - berjalan di lobi apartemen, di lorong apartemen hingga masuk ke dalam kamar apartemennya. Disusul sekitar tiga puluh menit kemudian, David tahu karena foto itu juga menampilkan waktu kerjadian, seorang pria paruh baya lebih muda dari ayahnya berjalan melalui lobi, lorong hingga ke masuk juga kamar Sandra juga.David cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia mengelus keningnya perlahan dan menghempaskan bokongnya ke kursi secara perlahan. Dilihatnya foto itu baru saja diambil sore tadi sekitar pukul empat sore. Ketika sedang mengamati foto-foto itu lagi, telepon David berdering. Gilang meneleponnya."Halo Bos! Udah liat foto yang gue kirim?" tanya Gilang terburu tanpa harus menunggu David membalas sapaannya."Udah." jawab David datar."Nggak beres ini cewek mah, Bro." ujar Gilang menanggapi, "Gue masih di sini. Masih mantau mereka sama anak-anak. Tuh aki-aki belum keluar dari kamar Sandra!" Gilang bercerita penuh gairah."Ya udah, lo kabarin lagi nanti. Cetak juga sekalian foto-fotonya semua!" perintah David sambil menghela nafas.Ia akan mengkonfirmasi kebenarannya kepada Sandra esok hari ketika mereka bertemu. Sebenarnya ini adalah urusan pribadi Sandra. Sandra kencan dengan siapa, mau menjadi simpanan siapa, ataupun mau berapa lelaki yang ia temui. Tetapi karena David sedang mempertimbangkan Sandra sebagai calon istrinya, ia pun harus mencari tahu latar belakang yang dimiliki Sandra, termasuk menyelidiki rumor yang beredar. Selama ini ia hanya asal saja memilih wanita yang penting ia suka dan wanita itu suka. Harga dirinya dipertaruhkan di depan kedua orang tuanya saat ini.David sebenarnya merasa bersyukur tatkala tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Bita dengan Sari dan Patrick. Ia memang ingin memanggil Bita karena pekerjaannya yang kurang memuaskan. Tetapi mendengar namanya dan Sandra disebut, membuat David melangkah perlahan mendekati meja Bita.Mungkinkah Tuhan sedang memberi petunjuk bahwa jodohnya yang tepat adalah di tangan orang tuanya?David melirik lesu ke arah amplop coklat yang ia lempar ke ranjangnya. David menghela nafas berat. Rasanya ia ingin bertemu Cheryl, moodbooster favoritnya.Baru saja ia berjalan beberapa langkah, terdengar suara ketukan pintu di kamarnya. Diikuti teriakan yang sangat ia hafal, "Om, Om David! Bukain pintu!""Ssstt, Cheryl jangan ganggu Om David!" Napas Mila sedikit tersengal karena berlari mengejar Cheryl yang sangat aktif.David membuka pintu dan berkata, "Hai cantik!", lalu menggendong Cheryl dengan sumringah."Maaf, ya Mas kalau Cheryl ganggu Mas!" ucap Mila dengan wajah tak enak hati."Nggak kok, La. Aku nggak lagi ngapa-ngapain juga." terang David menenangkan Mila."Boleh Ceyi main di kamar Om?" tanya Cheryl dengan mata berbinar sambil menunjuk ke arah dalam kamar David, ternyata ia melihat sesuatu yang menarik di kamar itu yaitu koleksi action figure milik pamannya. Ia sudah lancar berbicara dengan fasih, kecuali huruf 'R' yang selalu menjadi PR bagi hampir semua anak balita."Cheryl! Jangan, Nak!" larang Mila dengan tegas."Udah nggak papa, La." David menyela dan mengelus lengan Mila untuk menenangkannya, "Sana 'gih ke bawah nemenin suamimu!""Mas nggak papa nih? Tau sendiri 'kan Cheryl gimana?" tanya Mila dengan raut wajah kawatir."Iya tau.""Om, ayo, Om!" Cheryl jejingkrakan dalam gendongan David karena tak tahan ingin menyetuh barang yang sudah terkunci di matanya. David pun segera melangkah masuk ke kamarnya lagi menuruti Si Gadis Kecil itu."Cheryl, baik-baik ya sama Om! Mama ke bawah dulu." seru Mila memperingatkan. Tetapi Cheryl tak mendengar ucapan ibunya, ia sedang fokus dengan mainan barunya."Cheryl dengar Mama tidak?" Mila meninggikan nada suaranya dan membuat Cheryl sadar sejenak."Iya, Ma!" sahut Cheryl sekenanya dan kembali asyik bermain di atas ranjang bersama David."Iya, Ma!" David pun berseru sedetik kemudian mengikuti gaya bicara Cheryl lalu mengusir Mila dengan hempasan tangannya sambil menyengir kuda.Mila turun ke bawah masih dengan perasaan tak enak hati. Ia memang tahu bahwa David sangat sayang dengan Cheryl dan sering bercanda bersama. Tetapi perangainya yang sedikit tempramental membuat Mila sedikit khawatir. Apalagi bermain-main dengan action figure kesayangan kakaknya yang dikoleksi sejak dia masih muda. Ini kali pertama meninggalkan Cheryl bermain berduaan bersama pamannya. Selama ini mereka bermain selalu di ruang keluarga karena Mila tahu putrinya aktif sekali dan harus selalu dalam pengawasannya, meskipun ada pengasuh yang ia bawa serta ke mana-mana."Mana Cheryl?" tanya Pak Johan memotong obrolannya dengan Nicho ketika melihat Mila datang sendiri."Di kamar Mas David. Lagi main bareng." jelas Mila sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk nan mewah itu."Dasar ya tuh anak! Disuruh cari istri aja susah, giliran ketemu Cheryl aja senengnya minta ampun!" gerutu Pak Johan, "Kenapa nggak bikin sendiri aja!"David telah memesan ruangan private di sebuah restoran Jakarta. Restoran ini sudah menjadi salah satu langganan tetap bagi keluarga David. Selain karena pemiliknya adalah salah satu kolega Pak Johan, tempat ini juga nyaman dan masakannya pun enak.David sedang menunggu seseorang sambil memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetuk secara berirama di atas sebuah amplop coklat berukuran sedang. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul 12.20 tetapi wanita itu tak kunjung datang. Yap, benar! Dia sedang menunggu Sandra.David memang sengaja tak menjemputnya, ia masih mengawasi dan mengantisipasi jika rumor itu benar. Ia ingin segera pergi meninggalkan Sandra jika itu benar. Bukannya apa-apa, jelas itu memang hak privasi Sandra, namun ia tak mau membuang waktunya percuma karena terus meladeni Sandra. Waktunya semakin sempit, dari yang empat bulan menjadi seminggu saja.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan David. Ternyata itu adalah notifikasi pesan singkat dari Gilang. Gila
Pintu terbuka dan perlahan Sandra masuk ke dalam ruangan private ini lagi dan membuyarkan lamunan David. Bersamaan dengan itu Gilang berteriak-teriak memanggil namanya dari seberang telepon. Seketika David mematikan teleponnya dan meletakkan di atas meja."Siapa?" tanya Sandra penasaran."Klien." jawab David singkat dan datar."Udah selesai makannya?" Sandra melirik hidangan penutup yang telah bersih."Udah.""Mau ke mana lagi kita?" tanya Sandra berharap diajak pergi nonton film di bioskop setelah makan siang ini."Ehm," David berdeham, "San, maaf, sepertinya pertemuan kita sampai sini aja-""Oh, kamu ada keperluan mendadak ya?" potong Sandra."Ehm," David berdeham lagi, memastikan agar kalimatnya terdengar jelas oleh Sandra, "Ya, begitulah." lanjut David berbohong."Baiklah kalau begitu, kita bisa ketemu besok minggu atau sabtu depan lagi. Jadwalku kos-""San," potong David bergantian, sebelum harapan itu semakin membuncah di pikiran Sa
Suara sirine ambulan mati ketika kendaran itu berhenti tepat di depan sebuah pintu lebar. Unit Gawat Darurat. Papan tulisan besar berwarna merah menyala menggantung di atas pintu itu. Dua orang pria berpakaian seragam berwarna biru muda turun dari pintu belakang kendaraan itu lalu menarik brankar yang di atasnya tergeletak seorang pasien yang bersimbah darah. Pria berseragam itu mendorong brankar memasuki ruang UGD.Suasana menjadi tampak tegang tatkala beberapa orang berseragam mulai mendekati pasien tersebut untuk memberi pertolongan. Di sana terlihat seorang perempuan berambut pendek sebahu yang terikat asal saja juga ikut mendekati pasien tersebut. Ia mulai mengecek satu per satu mulai dari ujung kepala hingga ke kaki lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya untuk melakukan apa yang ia perintahkan."Dok, pasien sudah siap untuk dioperasi sekarang." Seorang perawat bernama Gista memberitahu Wenda. Sudah sekitar satu jam berlalu sejak pasien kecelakaan i
Wenda duduk termenung di sudut café yang terletak di dalam kantor ayahnya itu. Minuman kopi yang tergeletak di sana pun telah habis ia minum. Dahaga melandanya karena harus berpikir bagaimana mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh ayahnya. Uang lima ratus juta telah habis tidak bersisa. Melaporkan kasus ini kepada polisi juga pasti memerlukan banyak biaya dan tenaga. Sedangkan tabungan yang dihasilkan Wenda dari jerih payahnya bekerja juga belum begitu banyak. Mungkin hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari dan sedikit untuk biaya sekolah adik-adiknya, sisanya entah apakah bisa untuk melanjutkan kehidupan mereka lagi.Ayahnya telah kembali bekerja sesaat setelah majikan meneleponnya. Profesinya sebagai supir pribadi bagi pengusaha bernama Johan Pramono sudah berjalan sekitar 23 tahun lamanya. Keterpurukan dan kemiskinan yang dialami Wenda sekeluarga dahulu tak lagi dirasakan ketika ayahnya mengabdi sebagai supir yang setia. Berkat ketelatenan dan kesaba
Suatu pagi di hari Jumat yang cerah. Keluarga Pak Agus terlibat dalam perbincangan penting menurut Bu Tiwi. Pembicaraan itu membahas sebuah undangan makan malam dari majikan Pak Agus di hari sabtu malam esok. Undangan tersebut baru keluar semalam, seusai Pak Agus menyelesaikan tugasnya.“Wenda, Ibu harus pakai baju apa nih?” Bu Tiwi bertanya dengan gelisah.“Pakai aja yang biasa Ibu pakai kalau berangkat kondangan.” jawab Wenda sambil menyuapi sesendok nasi beserta lauknya.“Iya, Bu. Pakai saja kebaya yang dipakai buat nikahannya Hardi.” Pak Agus pun menyetujui pendapat Wenda.“Ayah, memang Ibu dan Ayah mau ke mana? “ tanya Dimas kebingungan melihat kakak dan orang tuanya meributkan masalah pakaian ibunya.Pak Agus baru saja ingat, ternyata beliau belum memberitahukan kepada ketiga anaknya yang lain. Ia baru memberitahukan kepada istrinya, sedangkan Wenda pasti sudah tahu perihal undangan itu dari ibunya. Undangan ini sangat spesial bagi Bu Tiwi, karena sela
“Selamat malam semuanya! Selamat datang untuk para undangan!” Suara Gilang menggelegar di halaman belakang kediaman Johan Pramono karena pengeras suara yang disediakan. Ia hadir sebagai tamu undangan dan juga sebagai pembawa acara. Ia berdiri di podium kecil yang tingginya mungkin sekitar setengah meter.“Karena seluruh tamu undangan sudah hadir, sebelum kita memulai acara pada malam hari ini, alangkah baiknya kita memanjatkan doa memohon kelancaran acara ini hingga selesai nantinya. Berdoa mulai.” Seluruh tamu undangan bersama-sama memanjatkan doa lalu mengakhiri bersama yang dipandu oleh Gilang, “Berdoa selesai.”Acara makan malam ini terkesan sangat mewah bagi Wenda karena halaman belakang rumah Pak Johan disulap sedemikian rupa menjadi sangat indah. Lampu-lampu gantung berwarna kuning menghiasi seluruh taman. Kursi dan meja bundar tertata rapi sebanyak sebelas set, sesuai dengan jumlah kepala keluarga yang hadir di sini. Di kejauhan, tampak meja panjang yang diatasny
Sesi perkenalan keluarga hanya tinggal keluarga Pak Agus saja. Wenda dan Santi yang baru saja kembali dari toilet langsung diminta ayahnya untuk segera menyusul mereka ke depan. Mereka pun naik ke atas podium dan memperkenalkan diri dimulai dari Pak Agus lalu berurutan sampai yang paling kecil. Seluruh pasang mata memandang mereka satu per satu saat memperkenalkan diri.“Perkenalkan nama saya Wenda Marinka Putri. Panggil saja saya Wenda, sa-“ Wenda terbata dan menghentikan bicaranya. Matanya terpaku kepada pria yang sedari tadi menatapnya. Pria itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan bersandar ke kursi. Matanya terus memperhatikan Wenda dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seolah sedang menilai Wenda bak model yang sedang memperagakan busana. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah David.‘Sialan! Ngapain sih ngliatinnya gitu banget! ‘ batin Wenda yang geram dengan sikap David.“Wen, kok brenti?” Ibu menyadarkan Wenda dari amarahnya. “Ma-maaf. Saya put
“Bu, ACnya dingin ya!” ucap Monic kegirangan.“Iya, Bu! Ayah suruh beli mobil ini dong, Bu!” sahut Santi menambahi.“Ssssstt!” Bu Tiwi menutup mulut mereka dengan kedua tangannya. “Maaf ya Mas David!”“Nggak papa, Bu.” balas David tersenyum sambil menginjak pedal gas perlahan. Wenda yang duduk di jok penumpang depan merasa sedikit malu melihat tingkah norak kedua adik perempuannya. Ya, maklum saja, mobil yang mereka miliki memang tidak senyaman dan secanggih kepunyaan keluarga kaya ini.“Om, itu ada musiknya nggak?” tanya Santi dengan polosnya masih memanggil David dengan sebutan itu. Wenda yang mendengarnya langsung memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela. Menahan senyum gelinya dengan menggigit kedua bibirnya.“Husssh! Jangan panggil Om! Panggil Mas David!” bisik Bu Tiwi dengan panik kepada Santi. Santi yang kebingungan hanya bisa celingukan bergantian memandang ibunya yang sudah memelototinya dan jok penumpang depan yang diduduki oleh Wenda.“Santi