Satu minggu kemudian.
"Ini sertipikat rumahnya. Sebenarnya rumah ini sudah sah menjadi milik saya sejak setahun yang lalu." Pak Abdi memperlihatkan sertipikat rumah pada Nia.
Nia menerima sertipikat dan membalik halaman-halamannya. Pak Abdi tidak bohong. Nama Sahila Rahman telah dicoret. Diganti menjadi nama Abdi Wahab.
"Kalau memang sudah dijual, kenapa ibu saya masih tinggal di rumah ini?" tanya Nia heran.
"Karena ibumu minta tolong pada saya. Katanya ia tidak mau kamu sedih karena rumah kesayanganmu ini sudah dijual. Makanya saya bolehkan ibumu tinggal sementara di sini."
Rumah kesayangannya? Bagaimana bisa ibunya menyebut rumah ini sebagai rumah kesayangannya, sementara dia tidak pernah tinggal di rumah ini. Kalau mau jujur, ia malah sangat tidak betah tinggal di rumah mewah ini.
"Kalau kamu mau, kamu boleh kok menempati rumah ini seperti ibumu," tutur Pak Abdi lembut. Nia tidak menjawab. Dirinya bukan orang bodoh. Ia tahu, pasti ada harga yang harus ia tukar demi bisa menempati rumah ini. Pak Abdi ini seorang produser film, bukan pemilik panti asuhan.
"Tapi, kamu harus mau saya orbitkan sebagai artis. Biaya perawatan rumah mewah ini sangat mahal, Dia. Gajimu sebagai seorang guru tidak akan cukup."
"Saya mengerti, Pak. Terima kasih banyak atas tawarannya. Seperti yang Bapak bilang tadi, biaya perawatan rumah ini sangat mahal. Saya pasti tidak mampu merawatnya dengan layak, kalau hanya mengandalkan gaji saya. Sementara saya tidak berniat menjadi seorang artis. Saya minta waktu seminggu untuk mengosongkan rumah ini ya, Pak?" pinta Nia sopan.
"Kalau kamu mau, saya bisa kok membiayai perawatan rumah ini. Kamu juga tidak perlu menjadi artis. Saya akan memberikan rumah ini secara cuma-cuma untukmu... asal kamu mau menjadi istri ketiga saya. Bagaimana?"
Astaghfirullahaladzim! Aki-aki ini sungguh tidak tahu diri. Usia sudah senja, alih-alih mencari pahala, malah terus memupuk dosa.
"Mau ya, Sayang?" bujuk Pak Abdi halus. Duduknya mulai memepet-mepet Nia. Merinding, Nia sontak berdiri.
"Maaf, Pak Abdi. Saya belum berniat berumah tangga. Saya masih ingin mengabdikan hidup saya untuk mendidik anak-anak," tolak Nia tegas. Mendengar penolakan Nia, air muka Pak Abdi berubah masam seketika.
"Halah! Mengabdi... mengabdi. Mengabdi tahi kucing! Kamu ini sudah miskin, sombong lagi. Ibumu benar. Kamu itu anak keras kepala yang sok idealis. Pantas saja ibumu tidak menyukaimu. Dasar anak tidak tahu diuntung!" hardik Pak Abdi gusar. Sia-sia saja ia membuang uang dan waktunya selama ini untuk Sahila Rahman. Anak perempuannya ini tetap menolaknya. Padahal Sahila berjanji, akan melembutkan hati Nia untuknya. Tapi nyatanya, janji Sahila itu omong kosong belaka.
"Saya beri kamu waktu tiga hari untuk mengosongkan tempat ini. Ingat, kamu akan menyesal telah menolak bantuan dari saya. Asal kamu, ibumu itu hutangnya melilit pinggang karena gaya hidupnya yang hedon. Sementara job-nya sebagai artis makin sepi karena faktor usia. Lihat saja, sebentar lagi para debt collector pasti akan mengejar-ngejarmu. Nanti kamu yang akan mengemis-ngemis memohon bantuanku!" Pak Abdi meludah.
"Jangan-jangan sekarang ini pun kamu sudah diteror oleh mereka ya? Makanya kamu melelang barang-barang ibumu bukan?" seringai Pak Abdi sinis.
Nia terdiam dengan kedua tangan terkepal erat. Apa yang Pak Abdi katakan benar adanya. Para penagih hutang mulai mendatanginya ke sekolah dan juga merecoki rekan-rekan sesama gurunya. Rekannya-rekannya di telepon setiap hari, hingga mereka mengeluh padanya. Mereka semua merasa sangat terganggu.
"Kenapa wajahmu pucat begitu? Apa yang saya katakan benar bukan?" Pak Abdi tersenyum mengejek.
"Walaupun sombong dan menyebalkan, saya masih sangat menyukaimu. Telepon saja saya, kalau kamu berubah pikiran ya? Saya akan membereskan mereka semua untukmu. Saya permisi dulu ya, Bu Guru cantik?" Pak Abdi bermaksud untuk mengelus pipi mulus Nia. Namun Pak Abdi hanya menyentuh angin. Karena Nia dengan gesit memalingkan wajah.
"Ya Allah, ya Robbi. Kuatkan aku dalam menghadapi segala cobaan ini."
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa