Di kantor guru, Nia memandangi hujan rintik-rintik yang jatuh meningkahi kaca jendela. Ia sangat menyukai cuaca seperti ini. Di mana udara terasa sejuk, ditingkahi dengan aroma tanah yang khas.
"Selamat pagi, Bu Nia. Ini teh manis hangatnya." Pak Udin, penjaga sekolah meletakkan secangkir teh di mejanya.
"Terima kasih, Pak Udin. Maaf ya, sudah merepotkan pagi-pagi," ujar Nia sambil tersenyum kecil.
"Walah, kok repot sih? Lha wong memang sudah menjadi tugas saya." Pak Udin tertawa. Memamerkan sejumlah giginya yang sudah tanggal.
"Selamat menikmatinya tehnya, Bu Diah. Saya bekerja dulu." Pak Udin meminta diri. Sepeninggal Pak Udin, Nia kembali melamun. Kenangan akan hujan, mengingatkannya pada sang ayah yang sudah lima belas tahun lamanya tidak pernah lagi ia lihat. Nia memejamkan mata. Terkadang ia sangat merindukan ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak mau lagi berhubungan dengannya setelah ayahnya menikah lagi.
"Astaghfirullahaladzim." Nia yang sedang melamun, kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Nia menimbang-nimbang sejenak sebelum mengangkat telepon. Karena biasanya setiap kali berbicara dengan sang ibu, mood mengajarnya bisa terjun bebas.
"Assalamulaikum, Bu. Ada..."
"Sabtu depan jangan lupa datang ke pesta ulang tahun Ibu. Gaunmu sudah Ibu pesan. Lusa akan diantar oleh kurir. Transfer Ibu 12 juta rupiah. Ibu
memesan gaun karya Iwan Tirta untukmu."Nia mematung sejenak sebelum merespon kata-kata ibunya.
"12 juta? Itu tiga bulan gaji Nia, Bu. Nia tidak sanggup membayarnya. Lagi pula Nia tidak meminta Ibu untuk membelinya bukan?"
"Ibu membelinya karena Ibu tidak mau kamu permalukan! Cukup bulan lalu kamu mempermalukan Ibu, dengan hadir di ulang tahun Tante Titik mengenakan gaun murah jahitanmu sendiri. Sabtu depan, jangan coba-coba tampil seperti orang susah lagi. Kamu tahu siapa Ibu kan? Ibu adalah artis senior kebanggaan negeri ini. Paham kamu!"
"Paham, Bu. Paham. Tapi Dia tidak punya uang sebanyak itu sekarang. Gaji Nia sudah menipis untuk membayar uang kontrakan dan..."
"Siapa suruh kamu mau menjadi guru SD di sekolah kecil? Diorbitkan Pak Abdi jadi artis, tidak mau. Jadi model dan bintang iklan, tidak mau juga. Kamu malah memilih menjadi guru SD. Telan sendiri penderitaanmu. Ibu tidak mau tahu!"
"Cita-cita Nia memang menjadi guru, Bu."
"Kalau begitu, jadilah guru seperti si Clara. Yang gajinya sebulan puluhan juta karena mengajar di sekolah internasional. Bukan menjadi guru di sekolah abal-abal sepertimu. Jangan banyak alasan. Pokoknya segera transfer uang Ibu!"
Telepon kemudian diputus. Nia meletakkan ponsel di meja kayu lesu. Begitulah ibunya, Sahila Rahman-seorang artis lawas yang hidupnya penuh dengan keglamouran. Nia tidak pernah sepaham dengan ibunya yang selalu bergaya ala seorang sosialita papan atas. Ibunya sendiri sudah bercerai dengan ayahnya, lima belas tahun yang lalu. Tepatnya saat ia masih berusia 10 tahun.
Lamunan Nia terputus, tatkala mendengar suara langkah- langkah kaki tergesa memasuki kantor. Beberapa rekan guru baru saja datang. Mereka adalah Bu Sekar, Pak Indra dan Bu Rasti. Ketiganya tampak menggoyangkan payung masing-masing untuk menghilangkan sisa-sisa air hujan sebelum masuk ke dalam ruang guru.
"Wah, Bu Nia sudah hadir duluan. Kami pikir, kami bertigalah orang yang pertama kali datang," ujar Bu Sekar ceria.
"Saya sengaja datang lebih cepat karena tadi cuaca mendung, Bu. Takut kehujanan di jalan. Ternyata dugaan saya benar bukan? Hujan deras sudah membasahi bumi pagi-pagi," pungkas Nia.
"Lain kali, telepon saya saja kalau Bu Nia takut kehujanan di jalan. Jikalau Bu Nia ingin setiap hari saya jemput pun, boleh kok." Pak Indra ikut berkomentar. Pak Indra adalah guru bidang studi matematika yang kebetulan memiliki mobil.
"Pak Indra modus terus ya? Tapi, ya memang tidak apa-apa sih. Kalian berdua 'kan masih single. Bolehlah saling penjajakan. Usaha yang lebih keras lagi dong, Pak. Biar hati Bu Nia luluh lembut seperti agar-agar." Bu Rasti yang telah berusia 40-an memanas-manasi Arman.
"Mau berusaha sampai kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki juga tidak bakalan berhasil, Bu. Mana mau Bu Sahila Rahman punya menantu guru matematika yang gajinya pas-pasan," celetuk Bu Sekar.
"Tuh, Bu Rasti. Jawaban saya sudah diwakili oleh Bu Sekar. Sudah menjadi nasib saya hanya bisa mengagumi mawar indah ini dari kejauhan." Pak Indra berdeklamasi dengan raut wajah sedih.
Nia menanggapi keriuhan rekan-rekan sejawatnya hanya dengan senyum kecil saja. Sesungguhnya rekan-rekannya ini hanya melihat sebagian kecil hidupnya. Rekan-rekannya ini menganggap dirinya mau menjadi guru hanya karena sedang gabut saja. Kalau meminjam istilah Rina, dirinya adalah contoh gabutnya anak orang kaya yang positif. Padahal itu semua tidak benar. Dirinya bekerja menjadi guru memang karena cita-citanya. Sedangkan mengenai keuangan, ia tidak pernah meminta sepeser pun pada ibunya. Setelah tamat kuliah, ia mengontrak sebuah rumah yang dekat sekolah tempatnya mengajar. Sudah setahun lamanya ia hidup dengan mengandalkan gaji sebagai guru dan upah mengajar les piano.
Ponselnya kembali berdering. Memindai nama sang ibu kembali di ponselnya, membuat Nia mendecakkan lidah. Ibunya benar-benar memaksa agar dirinya segera mentransfer dana gaun yang tidak pernah ia minta. Namun tak urung ia mengangkatnya juga.
"Iya, Bu. Nanti agak siang ya, Nia transfer. Soalnya..."
"Selamat pagi. Benar, ini dengan Ibu Nia Nan Dinanti Suhardi?"
Nia memegang dadanya. Suara laki-laki dengan bahasa formal. Jelas, ini bukan suara ibunya.
"Benar. Bapak siapa ya? Mengapa ponsel ibu saya ada di tangan Bapak?"
"Saya IPDA Gultom Siagian. Ibu Anda, Sahila Rahman, mengalami kecelakaan lalu lintas saat berkendara. Saat ini Ibu Anda ada di rumah sakit Harapan Kita. Harap segera ke sini karena Ibu Anda dalam keadaan kritis."
Nia tidak mengatakan apa pun. Lidahnya kelu. Ia hanya menatap ponsel dengan tatapan horor, sebelum terduduk dengan ponsel masih berada dalam genggaman. Ibunya mengalami kecelakaan! Astaghfirullahaladzim.
"Apa apa, Bu Nia? Kok Ibu pucat sekali." Bu Rina kebingungan saat melihat Dia terduduk di kursi dengan air muka memutih. Nia tidak mengatakan apa pun. Ia menyerahkan ponsel ke tangan Bu Rina. Saat ini ia sedang tidak bisa berpikir.
"Iya, Pak polisi. Baik, saya akan menemani Ibu Nia ke rumah sakit. Terima kasih banyak, Pak Polisi." Setelah menutup panggilan, Bu Rina mengkoordinir semuanya. Dengan menumpang mobil Arman mereka bertiga bergegas ke rumah sakit.
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa