Yara Patricia Caroline mencintai pamannya sendiri. Ia tahu, Steven Michael Gilbert hanya adik angkat sang mama. Namun, cinta itu hanya bisa Yara pendam dalam hatinya. Hingga suatu hari ia menjemput sang paman yang baru saja putus dengan kekasihnya di sebuah club malam. Dalam keadaan mabuk, Steven mengajak Yara bercinta dengannya. Yara yang saat itu sudah terpikat oleh ketampanan Steven, merelakan keperawananya diambil oleh pamannya. Hingga tumbuhlah benih itu. Yara tak mau memberitahu keluarganya siapa ayah dari bayi itu. Dia memilih pergi dari keluarganya dan membesarkan anaknya tanpa sosok suami di sisinya.
Lihat lebih banyak“Astaga! Setiap kali putus dengan kekasih-kekasih gilamu, pasti berakhir dengan mabuk seperti ini,” gerutu Yara yang tengah membopong sang paman ke dalam kamar di club malam karena mabuk berat.
Pria itu menghubungi Yara berkali-kali dan memintanya datang ke sana. Dengan terpaksa gadis berusia dua puluh tiga tahun itu datang dan melihat pamannya tengah mabuk berat.
“Bercinta denganku,” bisik pria berusia tiga puluh dua tahun itu.
Yara mengerutkan keningnya mendengarnya. Ia memang sudah mengagumi pamannya sejak ia masih berusia lima belas tahun.
Namun, jika bercinta? Itu bukan hal yang harus dia lakukan. Meski pria itu bukan paman kandungnya.
“Tidak. Aku tidak mau bercinta denganmu. Kau itu playboy, banyak wanita yang sudah tidur denganmu.”
Meski begitu, Yara tetap menjatuhkan hatinya pada Steven, bahkan menjalin hubungan dengan beberapa pria pun hanya sebagai pelampiasan hatinya agar berhenti jatuh cinta pada pamannya sendiri.
Pria itu terkekeh pelan. “Aku menginginkanmu. Maka, bercintalah denganku. Memangnya kau tidak terpesona oleh ketampananku?”
Yara hanya menelan ludah. Tangan pria itu mendekap tubuh Yara dan membuat wanita membolakan matanya.
“Hentikan, Steven. Kau sedang mabuk—”
Belum selesai bicara, pria bernama Steven Michael Gilbert itu langsung mencium bibir Yara dengan ganas.
Yara sempat memberontak. Namun, tubuh kekar Steven tidak bisa didorong begitu saja.
“Steven, lepaskan! Empt ….”
Steven mencium bibir Yara lebih dalam lagi. Tangannya yang kekar menopang tubuh Yara hingga membuatnya tak bisa bergerak selain merasakan ciuman gila yang dilakukan pamannya itu padanya.
“Kau tidak akan bisa melupakan malam ini, baby girl,” bisik Steven sebelum menanggalkan semua pakaian miliknya juga merobek mini dress yang dikenakan Yara.
“Aku sangat menginginkanmu malam ini,” bisik Steven dengan suara beratnya.
Yara hanya terdiam mendengar bisikan itu. Hingga akhirnya ia terhanyut dalam belaian lembut dan juga sentuhan yang dilakukan oleh Steven padanya.
**
“Hei! Jangan melamun, ayo cepat masuk.”
Suara berat Steven memecah lamunan Yara yang sedang berdiri termenung di trotoar, matanya terpaku pada kosongnya udara pagi yang masih dibasahi embun.
Yara menoleh pelan ke arah sumber suara. Di hadapannya, Steven berdiri dengan satu tangan menyandarkan pintu mobil yang terbuka lebar.
Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat semakin berwibawa, namun gurat lelah tak bisa sepenuhnya tersembunyi dari wajah tampannya yang keras dan dingin.
Meskipun begitu, matanya yang biasanya tajam kini tampak sedikit lebih tenang—setidaknya lebih baik dibanding semalam.
Tanpa berkata-kata, Yara melangkah masuk ke dalam mobil. Suara pintu tertutup membungkam deru jalanan seketika, menciptakan keheningan yang aneh di antara mereka.
Ia duduk diam, menatap Steven yang kini berada di balik kemudi, menyalakan mesin, lalu melajukan mobil perlahan.
Setelah beberapa menit, Yara memecah keheningan. “Kau tidak mengingat apa pun soal kemarin malam?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup jelas terdengar.
Steven tidak segera menjawab. Wajahnya tetap lurus menghadap ke jalan, ekspresinya sulit dibaca. Seperti biasa—dingin, tertutup, dan misterius.
Seorang pria yang terbiasa menyimpan pikirannya rapat-rapat, membiarkan dunia menebak isi hatinya tanpa pernah benar-benar memberi petunjuk.
“Tentu saja aku ingat,” jawabnya akhirnya, dengan nada datar yang hampir tidak memiliki emosi.
Yara menelan salivanya. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang meningkat, menunggu lanjutan dari Steven.
“Hubunganku baru saja berakhir dengan Monica,” lanjut Steven akhirnya, tanpa menoleh sedikit pun. “Wanita itu… benar-benar tidak tahu diri.”
Nada suaranya berubah sedikit, tidak lagi datar, tapi ada kepahitan di sana—amarah yang ditekan, kekecewaan yang belum selesai.
Yara menatapnya tajam. Ia tahu hubungan Steven dengan Monica memang selalu naik-turun, tapi tidak menyangka akan berakhir begitu mendadak.
“Lalu, apa yang kau lakukan setelah itu, Steven?” tanyanya, ingin menggali lebih dalam, mencoba menghubungkan benang-benang kusut dari peristiwa semalam.
“Hei! Panggil aku paman. Aku ini pamanmu. Bahkan usia kita juga terpaut jauh, kau tahu?” protes Steven, melemparkan pandangan sekilas ke arahnya dengan alis terangkat.
Yara menghela napas kasar, membuang pandangan ke luar jendela mobil. Deretan pohon maple yang daunnya mulai menguning seperti ikut menjadi saksi percakapan tegang mereka.
“Aku bertanya padamu, setelah itu, apa yang kau lakukan?” ulang Yara dengan nada tak mau mengalah.
Ia tak peduli dengan teguran Steven. Bagi Yara, hubungan yang mereka miliki hanyalah ikatan formalitas yang tak pernah terasa nyata.
Steven menggigit bibir bawahnya, seolah menahan sesuatu yang berat. Ia tidak langsung menjawab. Matanya menatap kosong ke depan, lalu akhirnya ia menggeleng pelan, nyaris tak terlihat.
“Aku… mabuk,” katanya akhirnya. Suaranya pelan, seolah mengaku dosa. “Dan aku tidak tahu kejadian apa lagi yang terjadi padaku saat itu.”
Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara
"Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika
Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.
Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,
Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru
Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen