Seminggu berlalu setelah kejadian penganiyayaan yang Eryk lakukan terhadap Lucia. Gadis itu masih belum bisa membunuh perasaan rindu yang seringkali datang menerjang. Berulang kali gadis itu melihat layar ponsel, berharap Eryk menghubunginya dan meminta maaf, namun hanya kecewa yang selalu Lucia dapatkan. Tidak satu pun pesan masuk datang dari pria itu. Lucia menatap Henry yang terlelap dengan bibir tersenyum lemah. Gadis itu bangkit berdiri dan mengecup kening sang ayah sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan. Lucia bermaksud mencari pekerjaan hari ini. Uang harus segera terkumpul agar sang ayah dapat kembali menjalani proses cuci darah."Aku pergi, Ayah. Doakan puterimu, semoga aku mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya." bisik gadis itu dengan suara yang nyaris tak terdengar agar Henry tidak terbangun. Lucia keluar dari ruang perawatan dengan senyum yang dipaksakan. Ia sedang berusaha menguatkan dirinya sendiri saat ini, setelah semalaman tidak dapat tidur da
Dari kejauhan Kent tersenyum lega melihat Lucia yang tersenyum lebar seraya mengelus perut kenyangnya. Namun di menit berikutnya, pria itu mengernyit penuh tanya saat melihat Lucia menempelkan ponsel di telinganya. Telepon dari siapa?Dering ponsel yang berbunyi membuat Lucia bersegera meraih benda pipih yang menjadi sumber bunyi tersebut. Layar ponsel yang sering kali terlihat hitam kali ini menyala, menampilkan nama Eryk Orlov sebagai pihak pemanggil. Lucia sangat senang, namun sesaat kemudian dia merasa gelisah mengingat kekerasan yang dia alami beberapa waktu lalu. Haruskah gadis itu mengangkat telepon Eryk? "Hah, sebaiknya aku angkat saja. Bisa saja dia menyesali perbuatannya dan bermaksud meminta maaf kali ini." Lucia tersenyum sembari mengangkat telepon dari Eryk. "Hallo?" sapa Lucia, mata gadis itu terpejam sembari mengucap harapan dalam hati. "Lucia? Kau ada di mana?" tanya seorang pria dari sambungan seberang."Ah ..." Lucia mendesah kecewa. Apa yang dia dengar idak sesu
Dengan langkah sedikit tergesa Kent memasuki mansion dan menuju ruang bersantai. Tatapan pria itu langsung tertuju pada meja bar di ruang bersantai, lalu mendengus kecewa saat tidak mendapati Eryk berada di bar. "Apa Eryk belum juga kembali, Linda?" tanya Kent kepada satu pelayan yang saat itu tengah membersihkan permadani dengan alat penyedot debu. "Tuan Eryk belum kembali, Tuan." jawab pelayan muda itu yang menyempatkan diri menatap tuannya, sebelum akhirnya kembali menunduk untuk melakukan pekerjaanya. Mendengar jawaban Linda, Kent lantas mendengus sembari memijit pelipis yang terasa berdenyut. Pria paruh baya itu lantas berjalan dan mengambil posisi duduk di meja bar, tanpa niat mengambil minuman untuk dirinya sendiri. "Apa perlu saya menuangkan minuman untuk Anda, Tuan?" tawar Linda seraya berjalan mendekat. "Tidak Linda. Tidak perlu." jawab Kent singkat sembari mengetukkan buku jarinya di atas meja bar. Wajah pria itu terlihat gusar. "Ah, baiklah." ucap Linda sebelum akhin
Lisa tersenyum puas saat terbangun dari tidur dan mendapati wajah pria yang dia cintai saat pertama membuka mata hari itu. Perempuan itu melarikan jemarinya di atas dada telanjang Eryk yang bidang dan sedikit berbulu. Namun tak lama setelah itu, dering ponsel menarik perhatiannya. Dengan enggan, karena rasa kantuk yang masih bergelayut, Lisa bangkit untuk mengambil ponsel Eryk yang seolah berteriak memaksa si pemilik ponsel untuk memenuhi panggilannya. Lisa mengambil benda tersebut dari atas nakas. Alis gadis itu seketika bertaut saat mendapati nama Lucia sebagai penelepon. Lucia? Mungkinkah yang saat ini menelepon Eryk adalah Lucia saudara kandungnya? Atau mungkin gadis lain yang kebetulan memiliki nama sama? Sederet pertanyaan memenuhi kepala Lisa. Namun siapa pun perempuan bernama Lucia yang saat ini menelepon pacarnya, tetap saja gadis itu tidak terima, seketika perasaan cemburu mengambil alih dirinya. Sehingga Lisa membuka log panggilan di ponsel Eryk untuk mencocokan nomor pe
Henry terbangun dari tidurnya saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah fentilasi. Cukup menyilaukan, sehingga mengusik tidurnya. Saat satu tangannya bergerak, jemari pria itu merasakan sebuah tekstur halus. Ia pun melirik ke arah bawah dan mendapati anak gadisnya tengah terlelap dengan posisi duduk, sedangkan tangan dan kepalanya terletak di atas ranjang. Seketika pria itu mengulas senyum getir. Gurat lelah terlihat jelas dalam tidur pulas Lucia. Membuatnya merasa semakin berdosa karena membiarkan gadis itu memikul tanggung jawab yang tidak seharusnya. Sentuhan hangat dan lembut di kepala membuat Lucia perlahan membuka mata. Beberapa kali mata gadis itu mengerjab, dan saat penglihatannya sudah jelas, dia mendapati sang ayah sudah terbangun dengan wajah tersenyum mengarah padanya."Ayah sudah bangun?" ucap Lucia yang juga mengulas senyum tulus, terasa menyejukkan bagi Henry laksana embun pagi. "Ayah terbangun begitu teringat padamu. Ayah pikir kau tidak akan datang berkunju
Di kursi kebesarannya, Oliver Kent sedang menumpu kaki sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ruang kantor bergaya kontemporer itu cukup hening, Kent sedang menantikan seseorang yang datang untuk melaksanakan tugas darinya. Pintu ruangan diketuk, Kent menyeru agar orang di balik pintu masuk ke dalam ruangan. "Permisi, Tuan." ucap Robin, dari balik punggung sopir pribadinya, seorang pemuda tampak mengintip untuk melihat Kent yang saat ini menatap lurus ke arah dua orang tersebut. "Dia Jovi, Tuan. Pemuda yang memenuhi persyaratan yang Tuan harapkan. Saya yakin, dia pemuda yang bisa dipercaya." terang Robin tanpa Kent minta. Kent menatap intens ada pemuda yang kini tersenyum canggung di hadapan. Sesaat Kent membuang wajah, pemuda itu cukup rupawan. Ada sedikit kekhawatiran jika parasnya membuat Lucia terpana jika misinya untuk menawar dan membeli gadis itu berhasil. Bukankah itu berarti mereka akan melakukan perjalanan bersama saat membawa Lucia datang kepada Kent? Bagaima
Lucia terpaksa menyunggingkan senyum saat musik mulai mengalun. Sesekali dia bergerak seductive memamerkan dua gundukan yang ada di bagian dada untuk membuat para pemirsa kecanduan menonton, meski dalam hati Lucia merasa teriris, tidak rela membayangkan tubuhnya menjadi bahan fantasi banyak pria. Dia sadar, melakukan live streaming saat ini sama halnya menjual diri, mempertontonkan setiap lekuk tubuhnya untuk kemudian mendapat sejumlah givt. Tapi apa boleh buat? Dia harus melakukannya demi membiyayai pengobatan Henry, karena selain itu, Eryk mengancam akan membuat Henry berada di situasi berbahaya jika Lucia menolak untuk melakukannya. Tak butuh waktu lama, para pemirsa berdatangan hingga dua kali lipat dari jumlah penonton di video sebelumnya. Givt berdatangan dalam jumlah yang banyak. Kolom komentar mulai di penuhi jajaran kalimat pujian atas Lucia, namun ada satu komentar yang berhasil membuat Eryk berteriak girang. "OMG!" teriak pria itu, kedua matanya tampak membulat sempurna
Lucia menunggu Eryk di bahu jalan dengan dada naik turun. Ingatanya terlempar pada hari sebelumnya, dimana pria itu tertawa riang dan meneriakkan pesta kepada kedua sahabatnya. Apa yang sedang pria berengsek itu rencanakan?Lucia larut dengan pikirannya. Tanpa sadar gadis itu menggigiti kuku jarinya. Akankah Eryk dan teman-temannya akan merudapaksanya secara bersamaan, setelah dua kali usahanya melecehkan gadis itu gagal, sehingga teriakan pesta kemarin merujuk pada tindakan brutal mereka untuk menghabisi Lucia hari ini?Lucia mendesah dengan gelisah. Fokus matanya menatap pada ujung sepatu kets putih yang dia kenakan. Namun sesaat kemudian, mobil sedan berwarna putih yang cukup familiar berhenti di hadapannya. Eryk berkata akan menjemputnya sore itu. Pria itu menurunkan kaca mobil, dan dengan isyarat gerakan kepala ia meminta agar Lucia segera naik ke dalam mobilnya. Rasa gelisah terus menghantam kepala. Tapi tidak ada pilihan untuk menolak ajakan pria itu, sehingga dalam keputusas