"Bayimu meninggal, Bodoh!"
Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sedikit menganga. Air matanya seketika luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati—sang mertua mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya. Wati marah karena Raya nekad pergi ke Jakarta sendirian. Akibatnya Raya harus mendadak melahirkan karena batinnya terguncang usai memergoki sang suami bersama seorang wanita paruh baya tengah berduaan di kamar kostnya. Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingga ia kembali tak sadarkan diri. "Baguslah kamu pingsan Raya! Menantu tak bisa diatur! Mending aku urus saja jenazah cucuku sendiri." Wati membalikan badan. Ia malah meninggalkan Raya yang sedang pingsan. Satu malam berlalu setelah itu. Akhirnya Raya membuka kelopak matanya. Tentu saja petugas medis langsung melakukan tindakan, menolong Raya ketika pingsan. Ketika Raya melihat langit-langit kamar, ia merasa bukan lagi berada di ruangan bersalin. "Ini dimana?" desisnya. Raya berusaha bangkit, namun tubuhnya yang lemah membuatnya kembali terbaring. Tak ada siapa pun di sampingnya. "Selamat siang, Ibu." Seorang petugas berseragam putih menghampiri Raya untuk melakukan pemeriksaan ulang. Gegas Raya pun bertanya. "Sus, dimana bayi saya?" "Bayi Ibu sudah tiada. Semalaman Ibu tak sadarkan diri. Jenazah bayinya telah dibawa pulang oleh pihak keluarga Ibu." Raya menggelengkan kepala sambil menangis. "Kenapa tak beritahu saya terlebih dulu? Padahal saya ingin melihat bayi saya." "Mohon maaf, Ibu. Ibu cukup lama tidak sadarkan diri. Ibu Wati langsung mengurus kepulangan jenazah." Petugas berseragam putih itu kembali menjelaskan. "Saya harus segera pulang." Rasa kecewa menghujam jantung Raya. "Jangan, Bu. Ibu Raya Masih belum pulih. Ibu harus menunggu persetujuan dari Dokter. Jangan memaksa pulang karena kalau memaksa artinya Ibu siap menanggung biaya rumah sakit secara umum. Saat ini perawatan Ibu menggunakan bantuan dari pemerintah, jadi Ibu harus patuh sampai kondisi benar-benar sehat." Entah siapa yang mengurus hal itu, air mata Raya kian mengalir deras di pipinya. Padahal uang kiriman dari sang suami selalu banyak, tapi uang itu dipegang Wati. Raya tak pernah memiliki kuasa. Kalau harus seperti ini jadinya, Raya merasa lebih baik mati saja. Hidup pun sudah tak berarti lagi. *** Hari ke tiga di rumah sakit, kondisi Raya sudah pulih. Dokter pun sudah memperbolehkan Raya pulang. Tapi sebelum pulang, dada Raya tiba-tiba basah. Air susunya menetes cukup banyak. "Ya Tuhan, air susunya keluar." Raya kembali menangis. Harusnya air susu itu diberikan pada bayinya yang sudah meninggal, tapi kini malah terbuang sia-sia. Raya sudah mengganti pakaian beberapa kali, tapi cairan putih dari buah dadanya tak mau berhenti menetes. Air susunya sangat subur, sesuai dengan tubuh Raya yang saat ini terlihat berisi. Sementara di ruangan lain, terlihat satu keluarga tengah berduka atas kepergian seorang ibu pasca melahirkan. Bayinya selamat, tapi ibunya yang malah meninggal akibat pendarahan hebat. Bukan hanya itu, bayi yang dilahirkannya masuk inkubator karena prematur. Bayi itu hanya berukuran 1,5 kilogram. Bayi dari pemimpin PT.Fadillah grup itu terlihat tidak sehat dan kondisinya pun sangat memperihatinkan. "Bayinya sangat membutuhkan ASI, saya harap Bapak bisa mencari ASI untuk bayi Bapak." Dokter anak menjelaskan kepada Aditya Fadillah usai memeriksa kondisi bayinya. "Apakah tidak bisa diberikan susu formula saja yang gampang?" Aditya bertanya. Ia berpikir pasti akan sulit mencari ASI saat kondisi mendesak seperti saat ini. "Jangan, Pak. Kondisi bayi sangat memperihatinkan. Bayi Anda pun memiliki alergi terhadap susu formula. Sebaiknya ASI saja dari ibu yang tengah menyusui agar kondisi bayi Anda segera pulih." Aditya meremas kepalanya yang terasa berat. Dari balik dinding kaca yang tebal, ia hanya bisa melihat bayinya di dalam box inkubator tengah terbaring lemah. Tentu hatinya sakit bagai tertusuk belati. Istrinya meninggal, bayinya pun kini memprihatinkan. Apakah dia malah akan kehilangan dua-duanya orang yang sangat dicintai? Tidak, Aditya tidak mau itu terjadi. Ia menitipkan bayi kepada ibunya yang menunggu, sementara dirinya langsung pergi, berusaha mencari ASI untuk bayinya. *** "Baju Ibu sepertinya basah." Salah satu perawat yang membantu Raya, terlihat menegur. Saat ini Raya sudah bersiap akan segera pulang. Tak ada yang menjemputnya, baik Raihan atau pun Wati. "Iya, Sus. ASI saya terus merembes. Tak ada lagi baju ganti." Raya menutup buah dadanya yang basah, olah tengan. "ASI-nya banyak ya, Bu?" Perawat wanita itu nampak takjub. Raya pun langsung mengangguk sendu. Rasanya mubajir dengan kondisi ASI miliknya yang subur. "Nanti saya akan pompa dan membuangnya." "Jangan, Bu. Di luaran sana banyak sekali bayi yang membutuhkan ASI. Ibu bisa menyumbangkan ASI untuk bayi yang sedang membutuhkan. Kebetulan di ruangan bayi, terdapat bayi prematur yang sedang membutuhkan ASI. Kondisinya sangat memprihatinkan. Kasian sekali." Perawat menerangkan. Raya tercengang. Pemahamannya akan hal itu sangat kurang. "Memangnya Ibu bayinya kemana? Apa ASI-nya kering?" tanyanya. "Ibu bayinya meninggal saat melahirkan." Rasa mengusap dadanya. Bahkan ada yang lebih menyakitkan dari kisah hidupnya. "Baik, Sus. Saya akan mendonorkan ASI saya. Dari pada terbuang mubajir, lebih baik digunakan untuk menolong bayi yang membutuhkan." "Baik, Ibu. Jika berkenan, saya akan mengantar Ibu ke ruangan Bayi." Dengan menggunakan kursi roda, Raya di dorong oleh perawat rumah sakit menuju ruangan bayi. Di depan ruangan, Raya bertemu seorang wanita paruh baya yang terlihat berduka. "Permisi, Ibu." Perawat menyapa wanita itu. "Saya membawa ASI untuk cucu Ibu dari ibu yang baru melahirkan. Ibu Raya namanya. ASI-nya sangat banyak dan kebetulan cucu ibu sedang membutuhkan. Kondisi tubuh Ibu Raya juga sehat, tidak memiliki riwayat penyakit apa pun. Jika diperbolehkan kami akan berikan ASI Ibu Raya sekarang." Mendengar penjelasan perawat, wanita paruh baya itu nampak menyeringai senang. Tatapannya pun terlihat berbinar. "Tentu saja boleh, Sus. Putra saya sudah mencari ASI kemana-mana, tapi belum juga menemukan." Dia pun segera mengalihkan pandangan pada Raya yang duduk di kursi roda. "Terima kasih banyak, Nak Raya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu," imbuhnya berucap pada Raya. "Sama-sama, Bu. ASI saya sangat banyak. Bayi saya sudah meninggal. Sayang sekali kalau ASI ini terbuang sia-sia," balas Raya sambil mengukir senyum. Manik wanita paruh baya itu nampak berkaca-kaca karena terharu. Raya pun kemudian dibawa perawat, masuk ke ruangan bayi untuk segera memompa ASI-nya. ASI yang raya hasilnya cukup banyak dan cukup untuk bayi Aditya selama tiga hari. "Hai, Bayi kecil." Raya menyapa di dekat inkubator. Seandainya bayi itu adalah anaknya, pasti ia sangat bahagia. "Lekas sehat ya... Semoga ASI yang aku berikan bisa membuat tubuhmu kuat dan segera keluar dari box ini," desisnya di dekat inkubator. Setalah Raya berlalu jauh dari rumah sakit, Aditya tiba dengan wajah kusut. Ia melapor pada ibunya di depan ruangan bayi. "Tidak ada satu pun wanita yang bisa memberikan ASI-nya, Bu," lapor Adit dengan wajah sendu pada ibunya. "Bayimu sudah mendapatkan ASI, Adit." Ibunya membalas. "Apa!" Aditya terkejut. "Dari siapa?" tanyanya kemudian. "Seorang wanita muda bernama Raya."Raya kini sudah berganti pakaian dengan lingerie berwarna merah muda pemberian Aditya. Tapi dia kembali memakai pakaian piyama menutupi lingerinya yang seksi. "Loh kok malah pakai piyama?" Aditya mengerutkan keningnya ketika melihat Raya keluar dari kamar mandi."Saya pakai lingerie kok, tapi di dalam piyama." Raya menjawab sambil menahan senyumnya. Aditya pun menepuk keningnya sendiri. Padahal ia menginginkan Raya keluar dengan lingeri seksinya tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh."Saya malu, Pak." Raya menggaruk kening yang tak gatal."Ya sudah. Sini." Aditya menepuk kasur, memberikan kode agar Raya segera duduk di sampingnya.Dengan langkah yang cukup pelan, Raya berjalan mendekati Aditya. Dia duduk di samping Aditya sebagaimana perintah barusan. Tubuh Raya tercium aroma sangat wangi, itu karena Raya sudah mempersiapkan tubuhnya, khusus untuk suaminya malam ini. Suruh area tubuh Raya sudah memakai lotion dan pewangi, termasuk rambutnya yang digerai dan tercium aroma wangi
Fatih terbangun dari tidurnya. Sontak Raya dan Aditya terperanjat saling menjauh. "Fatih!" Raya segera menghampiri Fatih di tempat tidur. Dia juga segera membuatkan susu untuk Fatih, lalu menina bobokannya kembali. Sebenernya Raya ingin tertawa mengingat kejadian lucu barusan. Namun dengan susah payah, tawa itu ditahannya.Sungguh konyol. Bisa-bisanya mereka melupakan keberadaan Fatih di kamar itu.Sudah 1 tahun lebih Aditya menduda, wajar saja jikalau dia tidak bisa membendung hasratnya. Lagi pula sekarang mereka sudah sah kok. Memadu kasih di malam pertama sudah gagal. Pagi ini Aditya bangun dari tidurnya dengan raut wajah sedikit lesu. "Pengantin kok lesu begitu, kecapean yah gara-gara semalam?" Aditya yang baru saja tiba di ruang makan, tersipu saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Anita kepadanya. "Mamah, apaan sih." Aditya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nggak usah malu-malu begitu kali, Mamah juga paham, namanya juga pengantin baru."Aditya hanya mengulum senyu
"Ehh sutt!" Raya meluruskan jari telunjuknya tepat di depan bibir Aditya, sebagai kode agar Aditya tidak melanjutkan kalimatnya. Dia juga mengerjapkan matanya agar Aditya paham. Aditya menggaruk kepala yang tak gatal. Dia manggut-manggut kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya. Aditya melihat Raya menina bobokan Fatih. Namun anak laki-lakinya itu nampak tidak bisa langsung tidur untuk malam ini. Fatih terlihat memeluk erat Raya, seperti takut ditinggalkan. "Bubu jangan ke mana-mana," pintanya."Iya, Sayang. Bubu tidak akan kemana-mana kok. Kita tidur bersama di sini ya," balas Raya dengan suara lembutnya. Sebelah tangan terlihat menepuk-nepuk paha Fatih dengan pelan, begitulah Raya saat hendak menina bobokan Fatih. Aditya memandang Raya dari atas sofa, sambil melayangkan senyuman. Tatapan Aditya nyatanya membuat Raya tersipu malu. Wanita berbulu mata lentik itu menjadi salah tingkah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kam
Aditya segera menepikan kendaraannya.Memilukan, bener dugaan Raya, korban kecelakaan yang tewas di tempat itu adalah Raihan—mantan suaminya.Nyawa Raihan sudah tidak tertolong lagi. Di lokasi kejadian Raihan sudah tak bernyawa. Raya ingin sekali membantu, tapi dia tidak memiliki kuasa. Raya hanya memerintahkan pada seseorang untuk mengurus jenazah Raihan.Raya tidak pernah menyangka kalau Raihan akan pergi meninggalkan dunia secepat itu. Sebagai mantan istri, Raya hanya bisa mendoakan, semoga Raihan pergi dengan tenang. ***Kehidupan yang Raya rasakan saat ini seperti berbanding terbalik dengan sebelumnya. Saat ini dia tengah dikelilingi orang-orang yang baik. Calon mertua yang baik, dan juga termasuk calon suami yang baik. Raya juga sudah bertemu dengan kakak angkat, beserta keluarganya yang baik. "Ya Tuhan, betapa besar nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Jadikanlah hamba manusia yang selalu bersyukur kepada-Mu. Berkahkanlah hidup hamba, Ya Tuhan." Di sepertiga malam,
Tidak lama setelah Aditya menelepon, Rahmat Hidayat tiba di kediaman Fadillah dengan waktu yang begitu cepat. Pria paruh baya yang berasal dari Kalimantan itu terlihat masuk ke ruang tamu dan bersalaman dengan semuanya. Kedatangan Rahmat Hidayat membuat orang tua almarhum Sarah tercengang. Papahnya Sarah sangat tahu betul profil Rahmat Hidayat, pemilik perusahaan batubara yang sangat terkenal. Papanya salah berpikir, mungkin kedatangan Rahmat Hidayat karena sebagai partner bisnis dengan Fadillah group."Maaf telah mengganggu Pak Rahmat. Tapi tujuan Saya memanggil Pak Rahmat ke rumah ini, karena ada hal penting yang harus Pak Rahmat jelaskan kepada mertua saya," tutur Aditya dengan sopan kepada Rahmat Hidayat yang baru saja duduk di sofa yang berada di sampingnya. "Katakan saja, apa yang bisa saya bantu. Saya akan membantu Pak Aditya sebisa mungkin, kalaupun saya tidak bisa, akan saya usahakan." Rahmat berbicara dengan yakin. "Pak Rahmat, perkenalkan ini adalah mertua saya." Adity
Raya mematung dalam beberapa menit. Dadanya kembang kempis menahan perasaan sedih. Bibirnya nampak bergetar. Raya menatap ke arah Rahmat—sang kakak angkat yang sedari dulu sangat ia rindukan. Raya hafal betul mengenai watak dan sifat Rahmat dari dulu yang selalu baik kepadanya, tapi Raya juga merasa tidak akan pernah tega untuk meninggalkan Fatih—anak yang dia sayangi sejak lahir. "Saya tidak akan memaksakan kehendak, Raya. Tujuan Saya mencari kamu adalah ingin membahagiakan kamu. Karena kamu adalah adik saya. Jika ikut dengan saya hanya menambah beban dan kesedihan, maka jangan lakukan." Rahmat bersuara ketika Raya terlihat bimbang.Setelah itu Raya melihat ke arah Aditya. Ditatapnya sang presdir tampan itu. "Saya juga tidak akan memaksakan kehendak. Lakukan apapun yang membuat kamu bahagia. Karena itu adalah yang paling utama." Aditya berbicara kepada Raya sambil berkaca-kaca. Tidak bisa dipungkiri, jauh dari lubuk hatinya dia merasa sangat takut kehilangan Raya.Tidak lama kemudi
"Saya tengah mencari seorang wanita bernama Raya Maulida yang merupakan putri dari bapak Abdul Rozak." Raya terkejut begitu namanya disebut oleh Rahmat Hidayat."Bukankah itu nama lengkap kamu, Raya?" Aditya sampai bertanya kepada Raya untuk kembali memastikan. Sejak pertama bertemu dengan Raya, Aditya sudah tahu nama lengkap Raya yakni Raya Maulida."Iya benar. Nama lengkap saya memang Raya Maulida," jawab Raya sedikit gugup.Namun nyatanya bukan hanya Raya dan Aditya yang terkejut, Rahmat pun terlihat kaget. "Raya Maulida yang saya cari adalah satu-satunya putri dari Bapak Abdul Rozak. Mereka tinggal di sebuah kampung yang berada di kecamatan nanggung yakni kampung pongkor. Apa kamu tahu sesuatu?" Rahmat hidayah dengan sangat serius. Mulut Raya sedikit menganga karena terkejut. "Itu adalah nama Bapak saya. Saya tinggal di daerah yang Pak Rahmat sebutkan barusan. Untuk apa Pak Rahmat mencari Bapak saya?" Kali ini tangan Raya terlihat gemetar. Wanita berbulu mata lentik itu khawati
"Pikirkan baik-baik ucapan papah barusan. Jangan kamu mempermalukan keluarga besar kita. Jangan pernah kamu mempermalukan Fatih di masa dewasanya nanti. Jangan sampai Fatih memiliki seorang ibu pengganti yang berprofesi sebagai pembantu seperti dia!" Jadi telunjuk papahnya Selin terlihat menggaris lurus ke wajah Raya.Raya hanya bisa mematung sambil membendung sendu. Ia menundukan kepala. Sadar dengan dirinya yang tidak punya tahta di hadapan mereka. "Saya permisi." Raya akhirnya beranjak dari tempat duduknya, dia melangkah dengan cepat meninggalkan ruang tamu. Raya masuk ke dalam kamarnya, meluapkan rasa sedih yang tidak bisa lagi ditahan. Dari balik pintu kamar, Raya terduduk di atas lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Air matanya seketika menganak sungai di pipi. Keadaan wajahnya yang sempat rusak oleh noda bekas minyak panas memang telah sembuh, tapi kini hatinya yang terasa sangat sakit bagaikan tertusuk belati."Seharusnya dari awal aku sadar, siapa diriku. Bisa-bisanya ak
Raya terkejut. "Itu daerah saya, Pak."Aditya sampai menaikkan kedua alisnya. "Oh ya! Saya pikir kamu tinggal di daerah dekat rumah mertua kamu," balasnya. "Dulu waktu saya masih kecil banget, saya dan orang tua saya tinggal di daerah kecamatan nanggung yang berada di Bogor Barat. Saya adalah anak tunggal, tapi dulu saya punya kakak angkat." Raya menjelaskan. "Berarti kamu bisa bantu saya untuk mencari orang tua yang tengah dicari oleh Pak Rahmat," ajak Aditya. "Saya sih bersedia untuk membantu, tapi kalau Fatih terlalu sering ditinggal-tinggal kasihan juga. Apalagi besok lusa saya akan melakukan perawatan kembali ke dokter," kata Raya."Oh iya, kasihan juga Fatih kalau terlalu sering ditinggal. Ya sudah tidak apa-apa, kamu tetap di rumah ya. Saya pergi bersama Pak Rahmat hari ini. Jaga diri baik-baik, jaga Fatih juga ya." Aditya terlihat mengangkat sebelah tangan kanannya, diusapnya pucuk rambut Raya dengan lembut. Duda tampan itu juga terlihat mengukir senyum manis kepada Raya.P