Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu.
"Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya. "Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias. "Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal." Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya. "Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu. "Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak." Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin tahu alamatnya." "Saya tidak memiliki wewenang untuk itu, Pak. Anda bisa menghubungi Dokter yang kemarin menangani Ibu Raya." "Siapa nama dokternya?" "Dokter Prizka." *** Tiga jam menempuh perjalanan dari Bogor kota ke kampung halaman dengan menaiki angkutan umum membuat Raya sedikit kelelahan. Namun meski pun begitu, ia berusaha melangkahkan kaki menuju rumah Wati tempat tinggalnya saat ini, setelah menikah dengan Raihan. Empat hari pasca melahirkan, Raya sudah terlihat segar, tidak seperti ibu melahirkan pada biasanya. Tok tok tok! "Assalamualaikum, Ma." Raya mengetuk pintu ketika telah sampai di rumah Wati. Begitu pintu dibuka, bukanlah sambutan hangat yang didapat, melainkan cacian dari Wati pada Raya. "Masih berani kamu pulang ke sini ya?!" Lagi-lagi Wati kembali mendorong kening Raya dengan jari telunjuknya, membuat Raya mundur satu langkah. "Dimana bayiku, Ma?" Suara gemetar Raya langsung bertanya. "Jangan pura-pura lupa! Kamu sudah membunuh cucuku. Cucuku sudah dimakamkan empat hari lalu," sentak Wati. Makin pedih saja isi dada Raya. "Mengapa Mama tak memberi aku kesempatan untuk melihat bayiku? Padahal aku ingin sekali melihat wajah bayiku," lirihnya. "Dasar memang kamu wanita bodoh! Kamu pingsan, Raya! Mana bisa kamu melihat bayimu." Wati menipiskan bibirnya saat berbicara. Terlihat kesal pada Raya. "Setidaknya tunggu aku bangun, Ma." Raya masih saja protes. "Halah sudah, Raya!" Wati mengibaskan sebelah tangannya. "Lebih baik kamu pergi. Semenjak kamu membunuh cucuku, kamu sudah tak diakui menantu di rumah ini," usir Wati kemudian. Raya menelan ludah kecewa. "Aku harus pergi kemana, Ma? Aku ini yatim piatu." "Itu bukan urusanku! Aku sudah tidak sudi memelihara benalu yang susah diatur seperti kamu!" geram Wati sambil nenujuk-nujuk wajah Raya tanpa sopan santun. Brugh! Pintu utama di kediaman Wati dibanting cukup keras. Tak dibiarkannya Raya masuk. Padahal mereka tahu, sekitar tiga bulan lalu kedua orang tua Raya meninggal akibat kecelakaan. Lalu, harus kemana Raya pergi sekarang? Raihan? Dimana Raihan? Harusnya Raihan menolong Raya. Pria itu bahkan tak memberikan kabar apa-apa setelah perselingkuhannya terbongkar. Dada Raya kian terasa sesak. Ia membalikan badan. Air matanya sempat kembali tumpah di pipi, namun Raya segera mengusapnya dengan jemari tangan. 'dimana bayiku dimakamkan?' gumamnya dalam hati. Perlahan, Raya mulai melangkah meninggalkan rumah Wati, meski ia belum tahu harus kemana. "Raya?" Salah seorang tetangga Wati menghampiri Raya yang tengah kebingungan. "Ibu Siti." Raya menyeringai, segera menghapus air matanya yang terus merembes di pipi. "Apakah Ibu Siti tahu, dimana bayi saya dimakamkan?" tanyanya kemudian. "Saya tahu, Raya. Bayi kamu di makamkan di pemakaman umum. Di sana ada kuburan bayi yang masih baru. Tepatnya di dekat kuburan suami Bu Wati." Siti langsung menjelaskan. "Memangnya kamu dari mana saja?" imbuhnya nampak penasaran. "Saya baru pulang dari rumah sakit, Bu," jawab Raya sendu. "Oh iya, apakah saat pemakaman Ibu sempat melihat Mas Raihan?" Siti langsung menganggukkan kepala. "Raihan yang menggendong bayi kamu, Raya. Kata Raihan dan Wati, kamu telah membunuh bayimu hingga meninggal." Raya sangat terkejut mendengar fitnah itu. Ia langsung menggelengkan kepalanya. "Itu tidak benar, Bu," bantahnya. Siti mengusap bahu Raya. "Saya juga gak percaya. Mana mungkin kamu membunuh bayimu. Yang sabar ya, Raya. Kita semua sudah tahu watak Bu Wati." Raya menelan saliva yang dipenuhi rasa pedih. Tega sekali Wati dan Raihan menuduhnya sekezi itu. Sepertinya Raya lebih baik pergi dari rumah mertua yang selama ini bagaikan di dalam neraka. "Saya permisi, Bu Siti. Terima kasih atas informasinya." Usai berpamitan, Raya bergegas menuju makan bayinya. Di makam kecil yang tanahnya masih merah itu, Raya menekuk kedua kakinya. Ia ingin sekali menangis dan menjerit di sana, namun sadar itu tidak pantas dilakukan. Ia berusaha mengatur napas, menelan air mata yang sedari tadi sudah tumpah di pipi. "Maafkan Mama, Nak. Mama telah lalai dalam melahirkanmu. Seandainya Mama tak pergi ke Jakarta, mungkin semua ini tak akan terjadi. Maafkan Mama," sesal Raya. Di atas kepala, langit terlihat mendung, pertanda hujan akan segera turun. Kondisi alam seolah paham dengan keadaan Raya yang tengah berduka. Berbanding terbalik dengan kediaman Wati saat ini. Wanita paruh baya itu terlihat berselimut amarah. Wati paruh baya itu sama sekali tak memberi tahu Raihan tentang kedatangan Raya. Wati pula yang mengatakan pada Raihan, kalau bayinya telah mati akibat kesalahan Raya. "Sudahlah, Ma. Jangan mondar-mandir seperti itu. Kepalaku jadi pusing." Adik Raihan—Winda nampak protes pada ibunya yang sedari tadi mondar-mandir sambil berkacak pinggang. "Mama kesal pada si Raya. Menjaga kehamilan saja tidak becus. Padahal itu cucu pertama Mama. Harusnya dilahirkan dengan selamat." Wati semakin terlihat murka. "Ya mau bagaimana lagi, mungkin ini takdir," tukas Winda. "Halah jangan sok tahu, Winda! Takdir pun tergantung syariat!" Wati tetap tak terima. Di tengah percakapan panas antara ibu dan anak itu, pintu utama di depan kembali terdengar diketuk seseorang. Tok tok tok! "Sepertinya ada tamu, Ma." Winda bangkit dari tempat duduknya. Adik Raihan itu akan membuka pintu, namun dengan cepat Wati menarik tangannya. "Itu pasti Raya. Wanita miskin itu tak punya tempat tinggal, pasti akan minta kembali ke sini. Jangan buka pintunya!" kata Wati. Tok tok tok! Untuk yang kesekian kalinya pintu utama rumah Wati terus berbunyi. Membuat Wati semakin jengkel. "Ma..." Winda terlihat bingung. "Sudah, Winda. Masuk kamar," titah Wati pada putri bungsunya. "Biar Mama yang buka pintunya. Mama akan kembali mengusir benalu tak tahu malu itu." Setelah Wati membuka pintu. Bola matanya dibuat terbelalak karena yang datang ternyata bukanlah Raya. Yang datang bertamu adalah seorang pria tampan berkulit putih, memakai setelah jas berwarna abu-abu. Dipandangnya pria di depan Wati dari ujung kaki sampai ujung rambut, pria itu terlihat seperti konglomerat. Wati pun melirik ke depan rumahnya, nampak terparkir kendaraan roda empat berwarna hitam yang nampak mewah. "Maaf, cari siapa ya, Pak?" Wati bertanya dengan sopan. Pria tampan itu menautkan kedua tangannya dengan sopan. "Maaf, Bu. Nama saya Aditya. Apa benar ini kediaman Raya?" Wati terkejut. "Untuk apa Anda menanyakan Raya?" "Saya ingin bertemu dengan wanita bernama Raya," pinta Aditya dengan sopan. "Untuk apa?" Wati mengerutkan dahi. "Apa Raya berhutang uang pada Anda? Jika benar, saya tidak sudi membayar tagihan hutang Raya. Dia sudah bukan menantu di rumah ini." "Tidak, Bu. Bukan seperti itu." Aditya segera membantah. "Lalu untuk apa?" Wati mulai terlihat sinis. Belum sempat Aditya menjawab, suara Winda tiba-tiba memotong percakapan keduanya. "Siapa yang datang, Ma? Kok rame?" Winda menghampiri. "Raya! Apa kamu adalah Raya?" Aditya tak menunda kesempatan. Ia langsung bertanya pada Winda yang berdiri di dekat Wati. "Raya saya minta tolong. Saya bersedia membayar berapa pun nominal uang yang kamu pinta, asalkan kamu bersedia membantu saya." "Apa!" Wati terkejut.Raya kini sudah berganti pakaian dengan lingerie berwarna merah muda pemberian Aditya. Tapi dia kembali memakai pakaian piyama menutupi lingerinya yang seksi. "Loh kok malah pakai piyama?" Aditya mengerutkan keningnya ketika melihat Raya keluar dari kamar mandi."Saya pakai lingerie kok, tapi di dalam piyama." Raya menjawab sambil menahan senyumnya. Aditya pun menepuk keningnya sendiri. Padahal ia menginginkan Raya keluar dengan lingeri seksinya tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh."Saya malu, Pak." Raya menggaruk kening yang tak gatal."Ya sudah. Sini." Aditya menepuk kasur, memberikan kode agar Raya segera duduk di sampingnya.Dengan langkah yang cukup pelan, Raya berjalan mendekati Aditya. Dia duduk di samping Aditya sebagaimana perintah barusan. Tubuh Raya tercium aroma sangat wangi, itu karena Raya sudah mempersiapkan tubuhnya, khusus untuk suaminya malam ini. Suruh area tubuh Raya sudah memakai lotion dan pewangi, termasuk rambutnya yang digerai dan tercium aroma wangi
Fatih terbangun dari tidurnya. Sontak Raya dan Aditya terperanjat saling menjauh. "Fatih!" Raya segera menghampiri Fatih di tempat tidur. Dia juga segera membuatkan susu untuk Fatih, lalu menina bobokannya kembali. Sebenernya Raya ingin tertawa mengingat kejadian lucu barusan. Namun dengan susah payah, tawa itu ditahannya.Sungguh konyol. Bisa-bisanya mereka melupakan keberadaan Fatih di kamar itu.Sudah 1 tahun lebih Aditya menduda, wajar saja jikalau dia tidak bisa membendung hasratnya. Lagi pula sekarang mereka sudah sah kok. Memadu kasih di malam pertama sudah gagal. Pagi ini Aditya bangun dari tidurnya dengan raut wajah sedikit lesu. "Pengantin kok lesu begitu, kecapean yah gara-gara semalam?" Aditya yang baru saja tiba di ruang makan, tersipu saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Anita kepadanya. "Mamah, apaan sih." Aditya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nggak usah malu-malu begitu kali, Mamah juga paham, namanya juga pengantin baru."Aditya hanya mengulum senyu
"Ehh sutt!" Raya meluruskan jari telunjuknya tepat di depan bibir Aditya, sebagai kode agar Aditya tidak melanjutkan kalimatnya. Dia juga mengerjapkan matanya agar Aditya paham. Aditya menggaruk kepala yang tak gatal. Dia manggut-manggut kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya. Aditya melihat Raya menina bobokan Fatih. Namun anak laki-lakinya itu nampak tidak bisa langsung tidur untuk malam ini. Fatih terlihat memeluk erat Raya, seperti takut ditinggalkan. "Bubu jangan ke mana-mana," pintanya."Iya, Sayang. Bubu tidak akan kemana-mana kok. Kita tidur bersama di sini ya," balas Raya dengan suara lembutnya. Sebelah tangan terlihat menepuk-nepuk paha Fatih dengan pelan, begitulah Raya saat hendak menina bobokan Fatih. Aditya memandang Raya dari atas sofa, sambil melayangkan senyuman. Tatapan Aditya nyatanya membuat Raya tersipu malu. Wanita berbulu mata lentik itu menjadi salah tingkah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kam
Aditya segera menepikan kendaraannya.Memilukan, bener dugaan Raya, korban kecelakaan yang tewas di tempat itu adalah Raihan—mantan suaminya.Nyawa Raihan sudah tidak tertolong lagi. Di lokasi kejadian Raihan sudah tak bernyawa. Raya ingin sekali membantu, tapi dia tidak memiliki kuasa. Raya hanya memerintahkan pada seseorang untuk mengurus jenazah Raihan.Raya tidak pernah menyangka kalau Raihan akan pergi meninggalkan dunia secepat itu. Sebagai mantan istri, Raya hanya bisa mendoakan, semoga Raihan pergi dengan tenang. ***Kehidupan yang Raya rasakan saat ini seperti berbanding terbalik dengan sebelumnya. Saat ini dia tengah dikelilingi orang-orang yang baik. Calon mertua yang baik, dan juga termasuk calon suami yang baik. Raya juga sudah bertemu dengan kakak angkat, beserta keluarganya yang baik. "Ya Tuhan, betapa besar nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Jadikanlah hamba manusia yang selalu bersyukur kepada-Mu. Berkahkanlah hidup hamba, Ya Tuhan." Di sepertiga malam,
Tidak lama setelah Aditya menelepon, Rahmat Hidayat tiba di kediaman Fadillah dengan waktu yang begitu cepat. Pria paruh baya yang berasal dari Kalimantan itu terlihat masuk ke ruang tamu dan bersalaman dengan semuanya. Kedatangan Rahmat Hidayat membuat orang tua almarhum Sarah tercengang. Papahnya Sarah sangat tahu betul profil Rahmat Hidayat, pemilik perusahaan batubara yang sangat terkenal. Papanya salah berpikir, mungkin kedatangan Rahmat Hidayat karena sebagai partner bisnis dengan Fadillah group."Maaf telah mengganggu Pak Rahmat. Tapi tujuan Saya memanggil Pak Rahmat ke rumah ini, karena ada hal penting yang harus Pak Rahmat jelaskan kepada mertua saya," tutur Aditya dengan sopan kepada Rahmat Hidayat yang baru saja duduk di sofa yang berada di sampingnya. "Katakan saja, apa yang bisa saya bantu. Saya akan membantu Pak Aditya sebisa mungkin, kalaupun saya tidak bisa, akan saya usahakan." Rahmat berbicara dengan yakin. "Pak Rahmat, perkenalkan ini adalah mertua saya." Adity
Raya mematung dalam beberapa menit. Dadanya kembang kempis menahan perasaan sedih. Bibirnya nampak bergetar. Raya menatap ke arah Rahmat—sang kakak angkat yang sedari dulu sangat ia rindukan. Raya hafal betul mengenai watak dan sifat Rahmat dari dulu yang selalu baik kepadanya, tapi Raya juga merasa tidak akan pernah tega untuk meninggalkan Fatih—anak yang dia sayangi sejak lahir. "Saya tidak akan memaksakan kehendak, Raya. Tujuan Saya mencari kamu adalah ingin membahagiakan kamu. Karena kamu adalah adik saya. Jika ikut dengan saya hanya menambah beban dan kesedihan, maka jangan lakukan." Rahmat bersuara ketika Raya terlihat bimbang.Setelah itu Raya melihat ke arah Aditya. Ditatapnya sang presdir tampan itu. "Saya juga tidak akan memaksakan kehendak. Lakukan apapun yang membuat kamu bahagia. Karena itu adalah yang paling utama." Aditya berbicara kepada Raya sambil berkaca-kaca. Tidak bisa dipungkiri, jauh dari lubuk hatinya dia merasa sangat takut kehilangan Raya.Tidak lama kemudi
"Saya tengah mencari seorang wanita bernama Raya Maulida yang merupakan putri dari bapak Abdul Rozak." Raya terkejut begitu namanya disebut oleh Rahmat Hidayat."Bukankah itu nama lengkap kamu, Raya?" Aditya sampai bertanya kepada Raya untuk kembali memastikan. Sejak pertama bertemu dengan Raya, Aditya sudah tahu nama lengkap Raya yakni Raya Maulida."Iya benar. Nama lengkap saya memang Raya Maulida," jawab Raya sedikit gugup.Namun nyatanya bukan hanya Raya dan Aditya yang terkejut, Rahmat pun terlihat kaget. "Raya Maulida yang saya cari adalah satu-satunya putri dari Bapak Abdul Rozak. Mereka tinggal di sebuah kampung yang berada di kecamatan nanggung yakni kampung pongkor. Apa kamu tahu sesuatu?" Rahmat hidayah dengan sangat serius. Mulut Raya sedikit menganga karena terkejut. "Itu adalah nama Bapak saya. Saya tinggal di daerah yang Pak Rahmat sebutkan barusan. Untuk apa Pak Rahmat mencari Bapak saya?" Kali ini tangan Raya terlihat gemetar. Wanita berbulu mata lentik itu khawati
"Pikirkan baik-baik ucapan papah barusan. Jangan kamu mempermalukan keluarga besar kita. Jangan pernah kamu mempermalukan Fatih di masa dewasanya nanti. Jangan sampai Fatih memiliki seorang ibu pengganti yang berprofesi sebagai pembantu seperti dia!" Jadi telunjuk papahnya Selin terlihat menggaris lurus ke wajah Raya.Raya hanya bisa mematung sambil membendung sendu. Ia menundukan kepala. Sadar dengan dirinya yang tidak punya tahta di hadapan mereka. "Saya permisi." Raya akhirnya beranjak dari tempat duduknya, dia melangkah dengan cepat meninggalkan ruang tamu. Raya masuk ke dalam kamarnya, meluapkan rasa sedih yang tidak bisa lagi ditahan. Dari balik pintu kamar, Raya terduduk di atas lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Air matanya seketika menganak sungai di pipi. Keadaan wajahnya yang sempat rusak oleh noda bekas minyak panas memang telah sembuh, tapi kini hatinya yang terasa sangat sakit bagaikan tertusuk belati."Seharusnya dari awal aku sadar, siapa diriku. Bisa-bisanya ak
Raya terkejut. "Itu daerah saya, Pak."Aditya sampai menaikkan kedua alisnya. "Oh ya! Saya pikir kamu tinggal di daerah dekat rumah mertua kamu," balasnya. "Dulu waktu saya masih kecil banget, saya dan orang tua saya tinggal di daerah kecamatan nanggung yang berada di Bogor Barat. Saya adalah anak tunggal, tapi dulu saya punya kakak angkat." Raya menjelaskan. "Berarti kamu bisa bantu saya untuk mencari orang tua yang tengah dicari oleh Pak Rahmat," ajak Aditya. "Saya sih bersedia untuk membantu, tapi kalau Fatih terlalu sering ditinggal-tinggal kasihan juga. Apalagi besok lusa saya akan melakukan perawatan kembali ke dokter," kata Raya."Oh iya, kasihan juga Fatih kalau terlalu sering ditinggal. Ya sudah tidak apa-apa, kamu tetap di rumah ya. Saya pergi bersama Pak Rahmat hari ini. Jaga diri baik-baik, jaga Fatih juga ya." Aditya terlihat mengangkat sebelah tangan kanannya, diusapnya pucuk rambut Raya dengan lembut. Duda tampan itu juga terlihat mengukir senyum manis kepada Raya.P