Tidak hanya Radinka yang merasakan hati bagai tersayat-sayat. Kemilau juga sama. Sepanjang penerbangan ke London dia tidak berhenti menangis. Mengorbankan hidupnya ke dalam tangan Amar yang bahkan tidak dia kenal dengan baik, adalah satu hal besar yang sesungguhnya tidak ingin dia lakukan. Tapi dia tidak berdaya ketika Amar dan Adam selalu menerornya lewat pesan. Mengancam akan benar-benar menjatuhkan Saska jika dia tidak bersedia ikut ke London.Mila bahkan tidak tau apa tujuan sepasang orang tua ini membawanya ke sana. Bukankah itu tindakan yang terlalu berani? Sepanjang perjalanan Kemilau tidak bersuara. Sedikitpun tidak berkenan menjawab pertanyaan Amar dan Pratiwi. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan, Mila masih betah dengan segala kebungkamannya.“Tersenyumlah. Karena itu membuatmu jauh lebih cantik.” Pratiwi mencoba menghibur cucunya. Namun jelas itu tidak penting. Kemilau tidak membutuhkannya. Yang ada di pikirannya sekarang adalah Radinka. Entah bagaimana kabar pria
Selama dua tahun terakhir, Bali dan segala isinya adalah momok yang sangat menakutkan bagi seorang Radinka Kevan Saskara. Setelah Mila meninggalkannya di tempat itu dengan cara yang tragis, dia berjanji tidak akan pernah menginjakkan kaki di sana lagi. Hidupnya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Radinka kembali ke setelan pabriknya. Dingin dan tak tersentuh. Selama dua tahun memegang pemerintahan di Saska, dia berhasil menaikkan omset tahunan lima kali lipat dari jaman kejayaan ayahnya. Kepergian Mila membuatnya tidak punya pilihan selain fokus pada Saska. Radinka harus mengakui, kata-kata Mila sangat benar tentang Saska adalah tanggung jawabnya. Setelah dipikir-pikir kembali, alangkah bodohnya dia saat berniat melepaskan Saska demi hal lain yang belum tentu layak untuk diperjuangkan. Seperti Mila salah satunya. Hingga sekarang, sama sekali tidak ada kabar dari perempuan itu. Radinka juga tidak berusaha untuk mencari tau keberadaannya. Hati yang sudah membatu, membuat
Lima tahun yang lalu, di gedung perkantoran Saska T&G.“Berapa banyak korban meninggal?”“Sejauh ini yang sudah masuk dalam pendataan, ada tiga puluh, Pak.”Pria berambut putih itu mengusap pelipisnya. Terlalu banyak. Bisa-bisa dia bangkrut hanya untuk menutupi biaya asuransi. “Apa masih ada kemungkinan akan bertambah?”Asistennya terlihat berpikir sejenak. “Sepertinya masih ada, Pak. Karena sekitar lima belas orang lagi yang masuk di shift malam itu, dilaporkan belum ditemukan sampai sekarang.”Pria tua itu kembali terdiam. Memikirkan apa yang harus mereka lakukan. “Tutup sampai di sini saja. Yang lima belas orang, kalau sudah ketemu, laporkan secara pribadi ke saya. Kita akan selesaikan dengan cara kekeluargaan.”***Jordhy Saskara. Pemilik sebuah pabrik tekstil bernama Saska T&G, diman brand produknya sudah cukup dikenal di seluruh lapisan masyarakat di Nusantara. Tiga hari yang lalu, salah satu pabrik miliknya mengalami musibah kebakaran dan cukup banyak korban luka dan juga kor
Tahun sekarang.Seorang gadis cantik, dengan tinggi tubuh sekitar seratus lima puluh senti, dengan rambut yang terurai hingga setengah punggungnya, terlihat berusaha meraih sebuah buku dari rak yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia sedang berada di perpustakaan jurusan karena ada tugas mata kuliah yang harus segera dia selesaikan.“Woy, Cahaya Kemilau!” Buku yang barusan sudah berhasil diraih oleh perempuan itu langsung terjatuh ke lantai karena kaget.“Deva! Apaan sih? Ngagetin loh!” Tubuhnya membungkuk untuk memungut buku itu kembali. “He-he-he. Lo serius bener. Lagi ngapain?”“Nggak liat ini lagi ambil buku? Masak lagi makan? Dah, gue mau ngerjain tugas dulu, Dev. Jangan ganggu.” Wanita itu kembali ke meja yang sudah dia tempati sejak tadi. Deva mengekor.“Tugas lo ada yang belum beres? Kok nggak bilang ke gue? Biar gue pinjemin.”“Nggak kebalik? Ishh, udah sih, Dev. Sana dulu. Gue nggak fokus kalau lo di sini!” “Galak banget sih, Mil! Awas loh, nanti nama lo gue ganti jadi s
Pemakaman Jordhy Saskara berlangsung dengan khidmat. Banyak rekan bisnis yang datang untuk menyampaikan belasungkawa. Begitupun dengan teman arisan Nadya dan juga rekan-rekan satu angkatan Greta. Semuanya datang untuk memberi penghiburan dan kekuatan. Kini tanggung jawab Radinka semakin besar. Jika sebelumnya dia masih bisa berduksi dengan sang ayah tentang banyak hal, terutama tentang perusahaan, kini dia sendiri. Semua keputusan ada di tangannya. Terus terang itu cukup berat. Dia takut tidak akan sanggup menjadi pemimpin yang persis seperti ayahnya, yang bijaksana dan dicintai seluruh karyawan. Yang dermawan dan suka menolong. Radin masih harus banyak belajar dan berbenah. “Mas.” Seseorang masuk ke dalam ruangan kerjanya yang sengaja dibuat minim cahaya. Radin memang masih dalam suasana berduka. Greta berjalan ke arah Radin yang berdiri tanpa tujuan di tepi jendela. Adik perempuannya itu tiba-tiba memeluknya.Greta menangis pilu. Menumpahkan kesedihannya di dalam pelukan Radinka,
“Bu, ini nggak serius ‘kan??”“Ibu serius, Nak. Sini dengar dulu. Ibu belum selesai.”Kemilau menolak untuk melanjutkan pembicaraannya dengan ibu Sulis yang menurutnya sedikit gila. Perjodohan? Apa-apaan? Dia masih kuliah. Pacaran saja nggak mau, apalagi menikah. “Ini nggak masuk akal, Bu. Aku nggak mau menikah!”“Ini amanah orang yang sudah pergi duluan meninggalkan kita, Mil. Kalau nggak dilaksanakan, Ibu takut kualat.” Sulis berusaha membujuk. “Tapi kenapa harus Mila, Bu? Kenapa nggak Gisel? Gisel jauh lebih cantik, barangkali putera pak Jordhy lebih tertarik. Lagian aku masih kecil, Bu. Pleaseee.” Mila tidak tau bagaimana lagi caranya untuk menolak. Dia memang beberapa kali mengobrol dengan pria tua bernama Jordhy Saskara itu, tapi rasanya tidak bisa dibilang sangat dekat sampai-sampai dia berniat menjadikan Kemilau sebagai menantunya. Tolong masuk akal lah sedikit.“Ibu juga nggak tau, Mil. Permintaan ini sudah lama disampaikan almarhum ke Ibu. Beliau adalah donatur terbesar ki
“Masih jauh lagi nggak sih?” Greta melihat map yang ada di dashboard mobil Radin. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah panti asuhan. Katanya calon istri Radinka itu tinggal di sana. Satu fakta lagi yang membuat mereka semua pesimis akan sosok perempuan yang digadang-gadang alamarhum ayah mereka cukup pantas menjadi pendamping seorang penerus Saska T&G.“Nanti mentok di depan, trus belok kiri. Sampai.” Radinka menjawab. Kata map sih begitu.“Awas aja kalau nggak ada hasil.”Sheza yang duduk di sebelah Radinka menoleh ke belakang. “Kamu beneran berhenti jadi dokter, Gre?” Dia mencoba melanjutkan obrolan yang sudah berhenti sejak lima belas menit yang lalu. By the way, Sheza lebih tua enam tahun dari Greta. Dia sudah menganggapnya sebagai adik.“Beneran, Kak. Aku trauma. Pegang papa malah ko’it.”“Nggak gitu juga, Gre. Udah takdir, mau diapain? Sayang loh ilmunya.”“Nanti deh, Kak. Aku mau rehat dulu. Mau liat calon istri mas Radin kayak apa dulu. Gatel pengen nindas.”“
“Bu, jujur sama aku. Apa pak Jordhy menyimpan rahasia lain yang aku nggak tau?” Setelah yang ada di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua, Kemilau kembali mempertanyakan kebenarannya. Dia yakin, anggota keluarga Jordhy yang kaya raya itu, tidak mungkin menyukainya begitu saja. Dibandingkan mereka semua, Mila tak lebih dari seorang upik abu. Mustahil mereka mau menerima Kemilau sebagai menantu.“Nggak ada rahasia-rahasiaan, Mil. Tuan Jordhy itu sungguhan kagum sama kamu. Katanya kamu pantas menjadi istri untuk Radinka. Ibu juga kurang paham, Mil, tapi Ibu memilih untuk percaya saja sama omongan alamarhum.” Sulis kembali duduk di sofa. Selama lima tahun mengenal Jordhy, Sulis tau pria itu tidak pernah salah dalam menilai sesuatu. “Atas dasar apa, Bu? Aku masih muda. Bandingin om Radinka, umur aku jauh di bawah dia. Aku juga masih kuliah. Apa yang mereka harapin dari aku, Bu?” Kemilau ikut duduk dan memegang kedua tangan Sulis. Wanita ini sudah dia anggap sebagai ibu sendiri. Dia berh