Share

Pertengkaran Aida dan Ihsan

Ihsan Pov ... 

Pernikahan ku dengan Aida tak pernah terasa bahagia, bagaimana tidak? Setiap hari, kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Kami hanya bertemu di waktu malam saja, itupun kalau Aida tak sibuk dengan pemotretan nya. Terkadang, dia harus pulang menjelang subuh, aku tak bisa menghalangi nya, karena memang itu semua menjadi kesepakatan kami. 

Tapi, setiap kali aku membahas perihal anak, Aida selalu mengatakan bahwa ia belum siap. 

'Jika aku sampai hamil, maka aku akan dikeluarkan dari dunia model, Mas. Dan, aku belum siap untuk keluar. Aku harap Mas Ihsan akan mengerti,'

Mengalah! 

Hanya mengalah lah yang selalu aku lakukan. Hingga 4 tahun pernikahan, tapi Aida tetap tak berubah. Aku juga tak bisa melepaskan Aida begitu saja, karena aku menginginkan pernikahan satu kali dalam hidupku. 

Ara-- adik perempuan ku selalu menyarankan padaku untuk berpisah. Tapi, berulang ku tepis keinginan nya itu. Aku tau, dia mengatakan hal itu, karena dia masih sakit hati dengan apa yang Aida lakukan 2 tahun yang lalu. 

"Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah? Disatu sisi, aku sangat mencintai Aida. Tapi, disisi lain, aku tak bisa terus bertahan seperti ini. Aku juga menginginkan anak dari Aida. Aku juga ingin merasakan menjadi seorang Papa, tapi Aida tak pernah mau menuruti keinginan ku," lirih Ihsan. 

******

Karena hari sudah agak siang, aku memutuskan untuk pulang kerumah. Ditengah perjalanan, aku melihat gadis yang tempo hari aku tabrak tengah menyandarkan tubuhnya ditiang, kulihat dia memegang sesuatu seperti surat lamaran. Aku terus mengamati gerak-geriknya, ternyata dia masuk ke perusahaan cabang milikku yang berada di kota kecil ini. 

"Sebaiknya, aku langsung pulang saja. Pak Ibra pasti bisa menanganinya," ujarku. 

Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya aku sampai dirumah. Aku bergegas masuk ke kamar untuk beristirahat, karena jujur saja badanku terasa remuk sekali. 

Aida membuka pintu kamar, dan langsung melempari ku dengan ponselnya. 

"Apa maksud dari semua ini, Mas?" tanya Aida dengan nada tinggi. 

Aku mengambil ponselnya, dan melihat beberapa foto saat aku tengah memberikan uang pada Mama dan Ara. 

"Berani ya kamu, Mas! Memberikan uang pada mereka, tanpa bertanya dulu padaku. Dan kau juga menginap disana tanpa persetujuan dariku," ujar Aida dengan nada memburu. 

"Apanya yang salah Aida? Mereka bukan orang asing, mereka adalah keluargaku. Semenjak, Papa meninggal, tanggung jawab menjaga dan menjamin semua kebutuhan mereka itu menjadi tanggung jawab ku. 

Lagipula, aku memberikan mereka menggunakan uangku, tak nada sedikitpun aku memakai uangmu itu," aku menatap Aida dengan tatapan malas. 

"Itu semua salah, Mas. Seharusnya, kau bertanya dulu kepadaku, jangan asal ambil keputusan. Adikmu itu sudah besar, dan dia juga sudah bekerja. Biarkan dia yang merawat Mamamu, dan membiayai semua kebutuhan mereka berdua." ujar Aida enteng. 

Memang aku akui Ara telah bekerja, tapi meski begitu aku tetap berkewajiban memberikan mereka nafkah sebagai anak laki-laki satu-satunya pengganti Papa. 

"Ada apa denganmu, Aida? Mengapa kau terlihat tak menyukai Mamaku dan juga adikku? Apa mereka pernah punya salah kepadamu?" aku mencerca Aida dengan beberapa pertanyaan itu. 

"Mereka tidak salah apa-apa. Hanya saja, aku tidak mau punya keluarga benalu! Kenapa sih, keluargamu tidak seperti keluargaku. Kau tau sendiri, kan? Keluarga ku tak pernah sedikitpun merepotkan aku sebagai anak mereka. Mereka juga, tak pernah minta kiriman uang. Tidak seperti Mamamu itu," ujar Aida dengan nada ketus. 

"Keadaannya berbeda Aida! Keluarga mu masih lengkap, Ayahmu juga masih hidup. Tentu saja, mereka tak akan meminta uang padamu. Sedangkan, Mamaku. Dia hanya punya aku, dan Ara. Jika bukan padaku, kemana Mama akan memenuhi kebutuhan sehari-hari nya," ujarku. 

"Halah, bilang saja Mamamu itu pemalas. Usaha kan bisa? Emang dasarnya benalu, ya benalu aja!" Aida mengucapkan dengan nada mengejek. 

Kemudian dia pergi meninggalkan kamar. Aku memijat pelipis ku karena pusing. Entah sampai kapan Aida akan seperti ini. Dan, entah sampai kapan juga dia mampu bertahan menjalani rumah tangga dengan Aida

*****

Aku turun untuk sarapan, di meja makan telah tersaji beberapa makanan yang menggugah selera. Aku lihat Mbok Darmi yang sudah kelelahan, aku memintanya untuk makan siang bersamaku, tak lupa kuajak Sari dan kang Dadang juga. 

"Kamu apa-apaan sih, Mas! Kenapa ngajakin mereka makan dimeja makan ini? Mereka tuh tidak cocok makan disini," ujar Aida. Sementara, Mbok Darmi, Sari, dan Kang Dadang beranjak dari duduknya. 

"Kalian lanjutkan makan saja! Jangan perdulikan dia. Aku yang membeli meja makan ini, jadi aku jugalah yang berhak menentukan siapa yang boleh makan disini dan siapa yang tidak boleh."

Aida menatapku dengan tatapan tajam, aku tau saat hatinya sedang kesal, karena melihatku tak menuruti keinginannya sama seperti biasanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status