"Sekarang menyerahlah, pergi dan jangan pernah usik hidupku." Risa merengkuh tubuh Dika kemudian berbisik sambil mengelus lembut kepala lelaki tersebut. Tubuh lelaki itu bergetar, ke dua tangannya mengepal kuat, amarah yang belum padam pun semakin tersulut dengan ucapan Risa. "Akan kubuktikan semua kebusukan kalian!" Ancam Dika sembari mendorong tubuh Risa kasar hingga tubuh wanita itu terjatuh setelah sebelumnya membentur sebuah meja yang terdapat vas bunga. Prang! vas bunga itu pun terjatuh lalu menimpa kepala Risa. Darah segar pun mengalir bersamaan dengan hilangnya kesadaran Risa. Nazwa histeris, ia berteriak, memaki, bahkan berusaha untuk bangkit dari kursi rodanya demi menolong Risa. Beruntung, Arya sigap menahan tubuh Nazwa agar tak terjatuh. Dika bergeming menatap pemandangan di depan matanya, saat Arya dengan sigap memeluk dan menenangkan Nazwa di situ hatinya kembali bekeping-keping. "Selamatkan, Risa. Aku mohon selamatkan sahabatku!" pekik Nazwa sambil terus memohon k
Sekelebat bayangan Risa yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit kembali mengobarkan amarah Arya kepada Dika. Dia mengayunkan pukulan tepat di wajah tampan Dika, dan saat itu juga Dika tersungkur karena tak siap menerima serangan tiba-tiba. Darah mengucur dari sudut bibir Dika, "Seharusnya saya yang menghajarmu!" ujar Dika sambil menyeka darah lalu kembali bangkit berhadapan dengan Arya. "Kamu telah menyebabkan, Risa terluka!" Arya mencengkram kuat kerah kemeja Dika, tapi tak ada balasan darinya. Lelaki tampan itu hanya terbahak melihat tingkah Arya yang terlihat konyol di matanya. "Kamu terlihat sangat konyol, Tuan Arya!" Dika tersenyum sinis. "Berhenti tersenyum bajingan!" Bugh! Satu pukulan kembali Arya layangkan ke wajah Dika. Namun, bukannya membalas dia justru pasrah menerima setiap pukulan demi pukulan yang dilayangkan Arya. Napas Arya mulai tersenggal, dan dia pun menghentikan pukulannya terhadap Dika. Dia terduduk sambil sesekali mengatur napas. "Jika terjadi
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Arya masih saja terjaga, bayangan wajah Risa yang tengah terluka terus menari-nari dalam benaknya. Sore tadi, selepas kepergiannya dari rumah Dika dia hendak langsung ke rumah sakit. Namun, saat berada dalam perjalanan, perawat yang selalu menemani Nazwa menghubunginya. Wanita itu berkata jika Nazwa mulai cemas dan beberapa kali meracau tak karuan, mendengar hal itu Arya berputar arah dan memilih untuk kembali ke rumah. "Apa kamu baik-baik saja?" batin Arya cemas. Hatinya begitu menggebu untuk segera menghampiri Risa dan menemani wanita tersayangnya itu, tapi apalah daya dia pun tak mungkin meninggalkan Nazwa dalam keadaan yang seperti saat ini. ***"Sayang, hari ini aku ingin menemui, Risa. Apakah kamu mau menemaniku?" tanya Nazwa antusias saat ke-duanya tengah menikmati hidangan sarapan. Arya hampir tersedak mendengar pertanyaan Nazwa. Buru-buru dia meraih segelas air lalu meminumnya hingga tandas. "Apa kamu serius?"Nazwa mengang
Langkahnya gontai meninggalkan rumah sakit, meskipun tubuhnya masih lemas tapi Risa memaksa untuk segera meninggalkan rumah sakit. Sepanjang malam ia terus termenung, hatinya hancur tak terrsisa saat mengetahui kenyataan jika Arya bahkan tak menghubungi dirinya walau hanya sekadar pesan singkat. Ponsel berdering. Risa hanya menatapnya sekilas tanpa niatan untuk menjawab panggilan itu. "Aku benci kamu, Mas," batin Risa sedih. ***Sebelum tengah hari, Risa tiba di rumah yang memang sengaja Arya belikan untuknya. Tak ingin membuang-buang waktu, Risa bergegas untuk mengemas baju dan segala keperluan pribadi. Namun, belum sempat Risa membereskan semuanya, pintu kamar terbuka dengan kasar. Tubuh jangkung itu terpaku dengan pandangan tajam menatap Risa. "Jika ingin pergi setidaknya beritahu aku!" tegas Arya sambil berjalan mendekati Risa. Risa masih terdiam, bahkan ia menunduk saat Arya terus menatapnya intens. "Risa, kita sudah berhasil menyingkirkan, Dika. Jadi kamu tak perlu lagi
Malam ini, bulan tampak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Langit terlihat lebih kelam dari biasanya, hanya ada beberapa bintang saja yang masih setia berkelip menghiasi malam. "Sepi sekali malam ini," gumam Risa sambil menengadah menatap langit. Sendiri, dan terbelenggu sepi. Hanya itulah kata yang pas menggambarkan kondisi Risa saat ini. Jiwanya haus akan kasih sayang dan cinta yang tak pernah ia rasakan sekalipun dari ke dua orang tuanya. Risa masih termenung di beranda kamarnya, sesekali ia menatap potret dirinya bersama Arya. Seulas senyum terbit di wajah cantiknya itu. "Aku tak pernah bosan untuk terus berharap agar kamu selalu jadi lelakiku satu-satunya," gumam Risa penuh harap. Ponsel berdering. Risa hampir menjatuhkan ponsel itu dari genggamannya, beruntung ia masih bisa menguasai ponsel itu agar tak jatuh. "Nazwa?" Setelah berdeham beberapa kali, Risa langsung menerima panggilan suara itu. "Halo, Nazwa?" sapa Risa dengan suara serak. "Apa kamu baik-baik saja, Ri
"Ini bukan omong kosong, ini adalah peringatan terakhir.""Berhenti atau mati!"Ucapan Dika terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya bagaikan kaset yang diputar secara berulang-ulang. Beberapa kali Risa mengembuskan napas kasar, berusaha untuk mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menderanya. Sisa jam kerjanya pun dihabiskan Risa dengan sekadar membuka lembaran demi lembaran di hadapannya, dan tak satu pun ia kerjakan. "Hei, apa kamu baik-baik saja? Aku lihat dari tadi kamu hanya melamun." Tegur salah satu rekan kerjanya. "Ah, hmmm aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing."Risa tidak berbohong dengan kondisinya yang tiba-tiba pusing, ancaman dari Dika benar-benar menjadi beban tersendiri untuknya. Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga. Namun, Risa memilih untuk segera meninggalkan perusahaan. Hati serta pikirannya sedang tidak baik-baik saja, beruntung izin didapatkan dengan mudah. Rupanya atasan Risa masih berpikir jika luka di kepalanya masih belum sembuh total. Langkahnya gon
Risa terpaku dengan raut wajah pucat. Tulisan di sebuah kertas dengan tinta semerah darah itu membuatnya teramat ketakutan. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel kemudian cepat menghubungi Arya. Panggilannya tersambung, tapi Arya tak menerima panggilan itu, membuat Risa semakin cemas dan ketakutan. Bayangan-bayangan buruk pun terus berkelindan dalam benaknya. Dalam sekejap Risa menjerit saat ia terbayang jika saat ini Arya tengah bersimbah darah di tangan Dika. "Enggak, enggak mungkin! Dasar, Dika brengsek!" pekik Risa histeris. Untuk beberapa saat Risa tenggelam dengan perasaan kalutnya. Rumah besar yang sengaja Arya berikan untuknya seakan berubah menjadi rumah menyeramkan berisi para psikopat yang tak segan-segan untuk menghabisi nyawa dirinya. Risa menutup kedua mata, dan telinga, berharap apa yang dibayangkannya akan menghilang. Namun, semakin ia mencoba wajah Dika justru semakin jelas menghantui. "Kamu gak akan pernah bisa buat nyakitin aku!" pekik Risa, sembari mele
Risa tertidur pulas dalam dekapan Arya. Namun, lelaki itu masih terjaga. Dia terus menatap lekat wajah cantik sang kekasih. Bulu mata lentik, hidung mancung, dan bibir tipis semerah delima itu tampak indah dipandang. Layar ponselnya berkedip, Arya beringsut lalu meraih ponsel yang berada di atas nakas. Nama Nazwa terlihat di layar itu. Dia menghela napas dalam sebelum meraih dan menerima sambungan telepon dari sang istri. "Iya, Sayang?" ucap Arya sesaat setelah dia berada di luar kamar. "Apa kamu sudah makan, Sayang?" tanya Nazwa penuh perhatian di ujung telepon. "Aku sudah makan, dan sekarang aku merasa sangat lelah."Kebohongan demi kebohongan lain terus terlontar sempurna dari mulut Arya. Tujuannya hanya satu, dia tak ingin Nazwa curiga kepadanya. Dan terus berpikir jika dirinya adalah seorang suami pekerja keras yang penuh tanggung jawab. "Kalau begitu istirahatlah, Sayang. Besok kita berjumpa di rumah."Arya mengembuskan napas lega mendengar Nazwa mengatakan hal itu. "Kamu