Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Arya masih saja terjaga, bayangan wajah Risa yang tengah terluka terus menari-nari dalam benaknya. Sore tadi, selepas kepergiannya dari rumah Dika dia hendak langsung ke rumah sakit. Namun, saat berada dalam perjalanan, perawat yang selalu menemani Nazwa menghubunginya. Wanita itu berkata jika Nazwa mulai cemas dan beberapa kali meracau tak karuan, mendengar hal itu Arya berputar arah dan memilih untuk kembali ke rumah. "Apa kamu baik-baik saja?" batin Arya cemas. Hatinya begitu menggebu untuk segera menghampiri Risa dan menemani wanita tersayangnya itu, tapi apalah daya dia pun tak mungkin meninggalkan Nazwa dalam keadaan yang seperti saat ini. ***"Sayang, hari ini aku ingin menemui, Risa. Apakah kamu mau menemaniku?" tanya Nazwa antusias saat ke-duanya tengah menikmati hidangan sarapan. Arya hampir tersedak mendengar pertanyaan Nazwa. Buru-buru dia meraih segelas air lalu meminumnya hingga tandas. "Apa kamu serius?"Nazwa mengang
Langkahnya gontai meninggalkan rumah sakit, meskipun tubuhnya masih lemas tapi Risa memaksa untuk segera meninggalkan rumah sakit. Sepanjang malam ia terus termenung, hatinya hancur tak terrsisa saat mengetahui kenyataan jika Arya bahkan tak menghubungi dirinya walau hanya sekadar pesan singkat. Ponsel berdering. Risa hanya menatapnya sekilas tanpa niatan untuk menjawab panggilan itu. "Aku benci kamu, Mas," batin Risa sedih. ***Sebelum tengah hari, Risa tiba di rumah yang memang sengaja Arya belikan untuknya. Tak ingin membuang-buang waktu, Risa bergegas untuk mengemas baju dan segala keperluan pribadi. Namun, belum sempat Risa membereskan semuanya, pintu kamar terbuka dengan kasar. Tubuh jangkung itu terpaku dengan pandangan tajam menatap Risa. "Jika ingin pergi setidaknya beritahu aku!" tegas Arya sambil berjalan mendekati Risa. Risa masih terdiam, bahkan ia menunduk saat Arya terus menatapnya intens. "Risa, kita sudah berhasil menyingkirkan, Dika. Jadi kamu tak perlu lagi
Malam ini, bulan tampak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Langit terlihat lebih kelam dari biasanya, hanya ada beberapa bintang saja yang masih setia berkelip menghiasi malam. "Sepi sekali malam ini," gumam Risa sambil menengadah menatap langit. Sendiri, dan terbelenggu sepi. Hanya itulah kata yang pas menggambarkan kondisi Risa saat ini. Jiwanya haus akan kasih sayang dan cinta yang tak pernah ia rasakan sekalipun dari ke dua orang tuanya. Risa masih termenung di beranda kamarnya, sesekali ia menatap potret dirinya bersama Arya. Seulas senyum terbit di wajah cantiknya itu. "Aku tak pernah bosan untuk terus berharap agar kamu selalu jadi lelakiku satu-satunya," gumam Risa penuh harap. Ponsel berdering. Risa hampir menjatuhkan ponsel itu dari genggamannya, beruntung ia masih bisa menguasai ponsel itu agar tak jatuh. "Nazwa?" Setelah berdeham beberapa kali, Risa langsung menerima panggilan suara itu. "Halo, Nazwa?" sapa Risa dengan suara serak. "Apa kamu baik-baik saja, Ri
"Ini bukan omong kosong, ini adalah peringatan terakhir.""Berhenti atau mati!"Ucapan Dika terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya bagaikan kaset yang diputar secara berulang-ulang. Beberapa kali Risa mengembuskan napas kasar, berusaha untuk mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menderanya. Sisa jam kerjanya pun dihabiskan Risa dengan sekadar membuka lembaran demi lembaran di hadapannya, dan tak satu pun ia kerjakan. "Hei, apa kamu baik-baik saja? Aku lihat dari tadi kamu hanya melamun." Tegur salah satu rekan kerjanya. "Ah, hmmm aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing."Risa tidak berbohong dengan kondisinya yang tiba-tiba pusing, ancaman dari Dika benar-benar menjadi beban tersendiri untuknya. Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga. Namun, Risa memilih untuk segera meninggalkan perusahaan. Hati serta pikirannya sedang tidak baik-baik saja, beruntung izin didapatkan dengan mudah. Rupanya atasan Risa masih berpikir jika luka di kepalanya masih belum sembuh total. Langkahnya gon
Risa terpaku dengan raut wajah pucat. Tulisan di sebuah kertas dengan tinta semerah darah itu membuatnya teramat ketakutan. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel kemudian cepat menghubungi Arya. Panggilannya tersambung, tapi Arya tak menerima panggilan itu, membuat Risa semakin cemas dan ketakutan. Bayangan-bayangan buruk pun terus berkelindan dalam benaknya. Dalam sekejap Risa menjerit saat ia terbayang jika saat ini Arya tengah bersimbah darah di tangan Dika. "Enggak, enggak mungkin! Dasar, Dika brengsek!" pekik Risa histeris. Untuk beberapa saat Risa tenggelam dengan perasaan kalutnya. Rumah besar yang sengaja Arya berikan untuknya seakan berubah menjadi rumah menyeramkan berisi para psikopat yang tak segan-segan untuk menghabisi nyawa dirinya. Risa menutup kedua mata, dan telinga, berharap apa yang dibayangkannya akan menghilang. Namun, semakin ia mencoba wajah Dika justru semakin jelas menghantui. "Kamu gak akan pernah bisa buat nyakitin aku!" pekik Risa, sembari mele
Risa tertidur pulas dalam dekapan Arya. Namun, lelaki itu masih terjaga. Dia terus menatap lekat wajah cantik sang kekasih. Bulu mata lentik, hidung mancung, dan bibir tipis semerah delima itu tampak indah dipandang. Layar ponselnya berkedip, Arya beringsut lalu meraih ponsel yang berada di atas nakas. Nama Nazwa terlihat di layar itu. Dia menghela napas dalam sebelum meraih dan menerima sambungan telepon dari sang istri. "Iya, Sayang?" ucap Arya sesaat setelah dia berada di luar kamar. "Apa kamu sudah makan, Sayang?" tanya Nazwa penuh perhatian di ujung telepon. "Aku sudah makan, dan sekarang aku merasa sangat lelah."Kebohongan demi kebohongan lain terus terlontar sempurna dari mulut Arya. Tujuannya hanya satu, dia tak ingin Nazwa curiga kepadanya. Dan terus berpikir jika dirinya adalah seorang suami pekerja keras yang penuh tanggung jawab. "Kalau begitu istirahatlah, Sayang. Besok kita berjumpa di rumah."Arya mengembuskan napas lega mendengar Nazwa mengatakan hal itu. "Kamu
Rencana untuk segera kembali ke rumah kembali Arya urungkan. Setelah merebahkan tubuh Risa di sofa, Arya bergegas menuju halaman."Brengsek! Berani-beraninya dia melakukan ini!" gumam Arya sambil meremas poster dengan gambar menyeramkan itu. Dia melangkah ke luar pagar sambil mengedarkan pandangan keseluruh arah, dia berharap ada sesuatu hal yang bisa menjadi bukti untuk menangkap sang peneror. Meskipun dalam hatinya dia meyakini jika Dika lah yang menjadi biang kerok dari semua teror itu, tapi jika tidak ada bukti itu hanya akan menjadi sebuah tuduhan tak berarti. "Lihat saja aku akan menangkapmu cepat atau lambat!" Arya mengepal kuat, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam penuh bara amarah. ***Tubuh Risa kembali menggigil, wajahnya pucat karena terus terbayang gambar menyeramkan di poster tadi. Meskipun Arya terus memeluknya, tetap saja rasa takut itu tak kunjung pergi meninggalkannya. "Hari ini kamu tidak perlu masuk kantor, ikutlah bersamaku ke rumah."Risa menoleh, menatap
Risa hampir saja membuka mata karena terkejut dengan perkataan Arya. Beruntung, ia masih mampu menahan diri meskipun degup jantungnya kini berdetak tak karuan. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan, Risa?" tanya Nazwa dengan raut wajah yang terlihat sangat cemas. "Apa kita perlu menghubungi, Dokter?" lanjut Nazwa cemas. Perlahan Arya merebahkan tubuh langsing Risa di ranjang, setelah itu dia membawa Nazwa keluar kamar. "Aku ingin bersama sahabatku, Sayang," protes Nazwa. Namun, Arya tak mengindahkan ucapan sang istri. Dia terus menjauh dari kamar yang kini ditempati Risa, dan membawa Nazwa untuk berbicara hanya berdua saja di taman. Nazwa menatap Arya dengan tatapan sendu, dan ia hampir saja menangis. "Aku hanya ingin bersama dengan dia," lirih Nazwa berucap. "Sayang, biarkan dia istirahat dan beri kesempatan, Risa untuk menenangkan diri," bujuk Arya sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Nazwa. Arya menggenggam tangan Nazwa erat, tatapannya lembut dan seakan penuh cinta. Lagi-la