Share

6. Gagalnya Malam Pertama

"Tante? Apa kabar?" sapa wanita tersebut.

"Ini ...." Dia memperhatikanku dengan saksama.

Mama menarik tangan wanita itu dan membawanya ke luar salon. Aku mengikuti di belakang mereka.

Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu. Aku terkejut, tetapi aku baru menyadari sesuatu. Dia seperti ... Leni.

"Dasar wanita murahan! Tidak tahu diri!" Lagi. Mama menampar wanita itu.

"Ma, sudah, Ma!" Aku berusaha untuk menenangkan mama.

"Awas kalau kamu berani mendekati Ardi lagi! Ardi sudah menikah. Jadi, jangan pernah kamu mengusik rumah tangga mereka!" kata mama kepada wanita itu. Aku semakin yakin kalau dia adalah Leni. Dia pergi meninggalkan kami sambil terus memegangi pipinya.

"Ma, apa itu tadi Leni?" tanyaku memastikan.

"Ya, Li. Itu Leni."

Mama begitu emosi melihat perempuan itu. Nafasnya tersengal-sengal. Taksi online yang kami pesan sudah tiba. Aku segera mengajak mama masuk ke mobil.

Aku berusaha menenangkan mama walau hatiku sendiri tiba-tiba mendidih. Wanita bertubuh mungil itu memang begitu cantik. Pantas saja jika suamiku tak bisa melupakannya. Namun, aku akan berusaha membuat Mas Ardi berpaling dari wanita tersebut.

"Rasanya mama pengin mencabik-cabik perempuan kegatelan itu," ujar mama geram.

"Sudah, Ma! Tenangkan diri Mama!"

***

Tiba di rumah, aku diminta mama untuk menunggu kedatangan Mas Ardi. Aku diharuskan bersikap manis kepada suamiku. Mama melarangku untuk bercerita kejadian yang tadi.

Tak lama kemudian, Mas Ardi sudah datang. Wajahnya seperti lesu. "Sini, aku bantu, Mas!" kataku sambil meraih tasnya.

"Kamu?" Mas Ardi menatapku tanpa berkedip. Dia terus saja melihat penampilanku.

"Kenapa, Mas?"

Mas Ardi mengucek-ucek matanya dan memutar tubuhku. Dia membelai rambut coklatku yang bergelombang ini.

"Kenapa, Mas?" tanyaku lagi.

"Kamu cantik banget, Dek!"

"Biasanya nggak cantik, ya, Mas?"

"Cantik, kok. Cuma hari ini lebih cantik dari biasanya."

"Oh." Aku berlalu ke kamar. Sekejap saja Mas Ardi sudah di belakangku.

"Dek?"

"Kenapa, Mas?"

"Kamu habis keluar sama mama?"

"Kok, tahu, Mas?"

"Itu baju kamu—baru. Oh, iya, sekalian aku mau tanya."

"Tanya apa, Mas?"

"Tadi ...." Mas Ardi tiba-tiba diam dan tak melanjutkan kata-katanya.

"Tadi apa, Mas?"

"Em ... tadi ...." Mas Ardi menggaruk-garuk kepalanya dan menatapku seperti orang bingung. "Belanja, ya?"

"Iya, Mas. Katanya disuruh belanja?"

"Iya, Dek. Terserah kamu mau belanja apa saja yang penting kamu senang. Tolong masakin ayam kecap, ya! Aku lagi pengin ayam kecap."

"Iya, Mas."

Tingkah Mas Ardi sedikit aneh. Apa mungkin dia mengetahui pertemuanku yang tak sengaja dengan Leni tadi? Bisa saja Leni yang memberitahunya soal ini.

***

Ketika sedang makan malam bersama, Mas Ardi tampak diam. Dia tidak mengajak mama atau pun papa berbicara. Biasanya, Mas Ardi akan membicarakan apa saja dengan mereka saat di meja makan.

"Ardi?" panggil mama memulai pembicaraan.

"Hm?"

"Enak?"

"Enak."

"Istri kamu yang masak ini. Mama dilarang bantuin."

Mas Ardi hanya mengangguk dan tak mengatakan apa pun lagi. Tak biasanya Mas Ardi begini.

"Kamu beruntung punya istri seperti Lily. Cantik, rajin, pinter masak lagi."

Kulihat Mas Ardi hanya melempar senyum dan melanjutkan makannya. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Mama menatapku bingung. Aku hanya menggeleng pelan.

"Ardi?"

"Ya, Pa?"

"Kamu nggak ingin ngajak istrimu liburan?"

"Liburan, Pa?"

"Iya. Ya ... bulan madulah."

Mas Ardi terbatuk-batuk mendengar ucapan papa.

"Minum dulu, Mas!" pintaku sambil menyerahkan segelas air untuknya.

"Nanti Ardi akan pikirkan itu, Pa."

"Ardi?"

"Kenapa, Ma?"

"Mama pengin cepat punya cucu."

"Iya, papa juga." Mas Ardi tampak memikirkan sesuatu kemudian melanjutkan makannya kembali.

Setelah makan malam, Mas Ardi memintaku untuk menemaninya di kamar. Dia ingin aku memijit kepalanya. Ponsel Mas Ardi yang ada di meja berdering. Belum sempat aku melihatnya, Mas Ardi sudah meraih dan membalikkan ponsel itu.

"Kenapa nggak diangkat, Mas?"

"Aku lagi capek. Nggak sanggup kalau ngurusin pekerjaan terus. Aku pengin nyantai dulu," terangnya. Aku tidak lagi seperti dulu yang mudah sekali percaya dengan perkataannya.

"Siapa tahu bukan masalah pekerjaan, Mas."

"Ah, sudahlah, Dek! Itu nggak penting." Aku tak lagi menyahutinya. Aku curiga jika itu adalah telepon dari Leni.

"Dek, kamu tadi belanja apa saja?"

"Banyak, sih. Mama juga ngajak aku ke salon. Kenapa emangnya?"

"Nggak apa-apa. Cuma tanya saja."

"Aku beli beberapa baju dan baju malam, Mas."

"Baju malam?" Mas Ardi mendongak.

"Iya."

"Nanti dipakai, ya! Aku pengin lihat," katanya pelan.

Aku hanya mengangguk. Mungkinkah aku melayaninya malam ini? Kami pengantin baru, tapi belum pernah merasakan yang namanya malam pertama. Semoga saja malam ini aku dapat melayaninya dengan sepenuh hati.

Sesuai perintahnya tadi. Setelah memijit kepalanya, aku segera mengganti pakaianku. Baju ini terlihat lebih seksi daripada baju malamku yang sebelumnya. Sejujurnya aku malu memakai baju yang satu ini, tapi demi suamiku agar tidak berpaling ke wanita lain, aku akan melakukannya.

"Lily?" bisiknya sambil mendekapku. Dadaku berdebar sangat hebat. Tidak pernah aku merasakan hal ini sebelumnya. Ciuman pertama pun mendarat dengan sempurna di bibirku.

Ponsel Mas Ardi kembali berdering, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Mas Ardi kembali mencumbuku, tetapi ponselnya berdering lagi.

"Angkat saja, Mas! Siapa tahu penting," kataku.

"Mengganggu saja itu. Nggak penting juga."

"Angkat saja, Mas!"

Mas Ardi meraih ponselnya. Dia mematikan panggilan telepon itu kemudian mematikan ponselnya.

"Kok, dimatikan, Mas?"

"Biar nggak ada yang mengganggu kita. Aku sama sekali belum pernah menyentuh istriku yang cantik ini," ucapnya sambil mengusap daguku.

"Sekarang, biarkan aku melakukannya! Rasanya aneh kalau pengantin baru belum melakukan malam pertamanya," lanjutnya kemudian mendekapku lagi.

Mas Ardi terus menggiring tubuhku hingga jatuh ke kasur. Wajah tampannya begitu dekat denganku. Walau jarak usianya sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi dia terlihat muda.

Ponsel kembali berdering. Namun, kali ini ponselku. Mas Ardi terlihat sangat kesal. Dia mengambil ponselku dan melihat nomor tak dikenal di layar benda pipih itu.

"Siapa, Mas?"

"Nggak tahu. Mengganggu saja. Nomor tak dikenal." Mas Ardi mematikan ponselku juga.

"Ya sudah, abaikan saja, Mas! Mungkin orang salah sambung."

"Dek?"

"Iya, Mas?"

"Maaf, ya, dulu kita belum sempat melakukan apa pun. Kamu bahkan sudah memberi kode, tapi aku selalu menolak karena capek."

"Nggak apa-apa, Mas."

"Aku akan merencanakan jadwal bulan madu untuk kita."

"Ke mana, Mas?"

"Terserah kamu. Sekarang ...." Mas Ardi kembali mendaratkan kecupannya di bibirku.

Aku dapat merasakan hembusan napasnya yang memburu. Jantungku berdebar amat kencang. Kali ini, kecupannya beralih ke leher dan telingaku. Aku hampir tidak bisa mengendalikan diriku. Sensasinya sungguh luar biasa. Mas Ardi pun berbisik, "Aku mencintaimu, Leni."

Seketika aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Virafdylan S Saban
cuuuuuiih,Lili sperti lonte murahan sj
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status