Share

7. Pelakor Itu

"Ma-maksudku tadi ...."

"Sudahlah, Mas! Nggak perlu kita lanjutkan lagi!" Aku beranjak dari kasur tanpa mempedulikannya lagi.

"Dek?" Mas Ardi menarik tanganku, tetapi aku sekuat tenaga menariknya kembali.

Segera kuganti baju malamku dengan baju tidur biasa. Aku sudah tidak mau lagi melanjutkan aktivitas tersebut. Di saat berduaan pun, dia menyebut nama Leni dan mengakui cintanya. Siapa yang tidak sakit hati jika mendengarnya?

"Dek, aku minta maaf!"

"Dek, tolong dengarkan aku dulu!"

"Dengar apa?"

"Aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Aku nggak ada niat untuk menyebut namanya."

"Sudah, ya, Mas! Sudah jelas semuanya. Aku sudah berusaha memaafkanmu dan bersikap sebaik mungkin, tapi masih saja Leni yang ada di pikiranmu."

"Tidak bisakah kamu melupakan dia sedetik saja? Berdua bersamaku pun kamu masih bisa menyebut namanya, Mas," kataku lagi. Aku mengambil bantal dan selimut.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku tidur di ruang tengah saja."

"Jangan, Dek! Kita tidur bersama di sini."

"Aku tidak mau tidur denganmu, Mas."

"Oke, kalau kamu marah sama aku, biar aku yang tidur di ruang tengah. Jangan kamu!"

Mas Ardi beranjak dan memintaku untuk kembali ke kasur. "Dek, ini semua salah paham. Aku tidak sengaja tadi, Dek!" ucapnya.

"Keluar, Mas!"

Aku segera mengunci pintu setelah Mas Ardi keluar. Tangisku pecah. Mas Ardi benar-benar keterlaluan. Aku pikir, malam ini akan kami lalui dengan indah dan penuh kenangan manis. Lagi-lagi tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan.

***

Aku harus bangun sepagi mungkin dan meminta Mas Ardi pindah ke kamar sebelum mama tahu. Papa dan mama tidak boleh tahu soal ini. Jika mereka tahu, pasti mereka akan kecewa lagi dan tak akan memaafkan Mas Ardi.

"Dek, aku masih ngantuk."

"Tidur di kamar, Mas! Buruan sebelum mama dan papa bangun! Kamu mau masalah kita diketahui oleh mama dan papa?"

Mas Ardi menggeleng dan segera beranjak dari sofa. Aku memilih untuk membuat sarapan terlebih dahulu.

"Eh, menantu mama pagi-pagi sudah di dapur. Tumben banget, Li? Ini masih pagi banget, loh."

"Lily sudah kebangun dari tadi, Ma. Daripada nggak ngapa-ngapain, 'kan?"

"Mau masak apa, Li?"

"Masak capcay ... enak, kali, ya, Ma?"

"Boleh juga, tuh. Oh, ya, gimana? Ardi suka sama penampilan kamu?"

"Suka, Ma."

"Mulai hari ini dan seterusnya, kamu harus dandan terus di depan dia."

"Em ...." Aku menoleh ke arah mama dan tersenyum. Kali ini aku harus bisa menyembunyikan masalah dari mertuaku.

Aku bersikap seperti biasa ketika Mas Ardi bergabung di meja makan. Tak kutunjukkan kemarahan atau kesedihanku walau sebenarnya hati masih terasa dongkol. Aku melayaninya seperti tak terjadi apa-apa.

"Dek?"

"Kenapa, Mas?"

"Nanti kamu mau nggak menemani aku makan siang?"

"Nanti?"

"Iya. Mau, 'kan?"

Aku melihat ke arah mama dan papa. Mereka mengangguk dan tersenyum bahagia. Sejujurnya, aku malas sekali, tapi jika aku menolak, mama dan papa pasti akan curiga.

"Iya, Mas," ujarku.

Aku mengantar suamiku sampai depan rumah. Dia mengecup keningku. Biasanya Mas Ardi tak pernah melakukan ini ketika akan berangkat bekerja. Mungkin Mas Ardi mengira kalau aku sudah tidak marah lagi.

***

Sambil menunggu waktu siang tiba, aku bermain ponsel. Tak lama kemudian, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[Sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa memiliki Mas Ardi. Sampai kapan pun, dia tidak akan bisa jatuh hati kepada wanita lain selain aku.] Begitu isi pesannya.

[Siapa kamu?] balasku.

[Kamu tidak tahu atau pura-pura tahu?]

Itu pasti Leni. Tidak ada lagi wanita di dunia ini yang mengusik rumah tanggaku selain dirinya.

[Apa maumu, Leni?]

[Baguslah kalau kamu sudah tahu siapa aku. Mau cuma satu, yaitu suamimu.]

[Dasar wanita tidak waras!] balasku kemudian melemparnya ke kasur.

Aku pikir Leni akan jera dengan tamparan yang diberikan oleh mama. Wanita itu ternyata tidak memiliki rasa takut bahkan tidak malu sama sekali. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku menjumpai seorang pelakor.

Leni kembali mengirimiku pesan. [Aku tidak akan pernah melupakan tamparan dari mertuamu itu. Suatu saat aku akan membalas lebih dari tamparan itu.]

"Gila!" gumamku. Dia benar-benar mencari perkara. Pelakor sekarang lebih galak dari istri sah.

"Lily!"

"Iya, Ma?"

"Kenapa masih di situ? Buruan siap-siap! Sebentar lagi jam makan siang Ardi."

"Iya, Ma."

Mama tidak boleh tahu soal ini. Aku harus menghadapinya sendiri.

"Dandan yang cantik dan cetar membahana, ya!"

"Iya, Ma."

Jika berbicara soal penampilan, aku mengakui mama mertuaku memang juara. Walau usianya sudah tak lagi muda, tetapi kulitnya masih kencang. Penampilannya juga selalu memukau. Pantas saja jika papa setia dan tak pernah berpaling dari mama. Aku rasa, aku harus mengikuti jejak mama mertuaku ini.

"Makan siang di mana kata Ardi?"

"Di kafe pelangi, Ma."

"Janjian di sana?"

"Iya, Ma. Tadi Mas Ardi sudah telepon."

"Ya sudah, hati-hati, Li!

***

Kafe pelangi cukup dekat dengan kantor Mas Ardi. Kata Mas Ardi, aku diminta untuk menunggu di kafe saja tanpa harus datang ke kantor. Sudah dua puluh menit aku berada di sini, tetapi Mas Ardi tak kunjung datang.

Aku sudah mengiriminya pesan berkali-kali, tetapi belum dibaca. Panggilan teleponku juga tidak diangkat. "Ke mana Mas Ardi ini? Lama sekali," gumamku.

Aku memutuskan untuk menyusulnya di kantor. Lebih baik aku bertanya kepada rekan-rekan kerjanya saja daripada menunggu sampai mengantuk di sini. Untung saja jarak kantornya tidak jauh. Jadi, aku hanya perlu berjalan kaki saja menuju kantornya.

Ketika hendak sampai, aku melihat Mas Ardi keluar kantor sambil digandeng oleh seorang wanita. Namun, ekspresi wajah Mas Ardi tampak tak senang. Dia seperti berusaha melepaskan genggaman wanita itu.

"Leni?" pekikku. Hatiku kembali memanas ketika melihat wanita tersebut.

Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dari ekspresi wajah Leni, dia seperti marah dengan Mas Ardi. Leni terus saja mengikuti ke mana Mas Ardi berjalan. Tangan Mas Ardi tampak menepis tangan Leni. Sepertinya, mereka bertengkar. Aku ingin mendekat, tetapi aku urungkan.

Aku geli sendiri melihat Leni yang berusaha mengejar suamiku. Dia sama sekali tidak tahu malu. Mas Ardi yang ingin lepas dari wanita itu tampak kesusahan. Terpaksa, aku mendekati mereka.

"Wah, ternyata begini kelakuan Leni?" Mereka terkejut dengan kehadiranku.

"Lily?" Mas Ardi menghampiriku.

"Oh, hai, Lily! Senang bertemu denganmu untuk yang ke dua kalinya," ucap Leni sambil tersenyum kepadaku.

"Leni!" Mas Ardi menatap geram pada wanita itu.

"Kenapa, Mas? Oh, ya, kamu sudah marahin dia dan mama kamu? Tamparan yang diberikan oleh mereka sakit banget, loh, Mas," kata Leni dengan nada manja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status