"Ma-maksudku tadi ...."
"Sudahlah, Mas! Nggak perlu kita lanjutkan lagi!" Aku beranjak dari kasur tanpa mempedulikannya lagi."Dek?" Mas Ardi menarik tanganku, tetapi aku sekuat tenaga menariknya kembali.Segera kuganti baju malamku dengan baju tidur biasa. Aku sudah tidak mau lagi melanjutkan aktivitas tersebut. Di saat berduaan pun, dia menyebut nama Leni dan mengakui cintanya. Siapa yang tidak sakit hati jika mendengarnya?"Dek, aku minta maaf!""Dek, tolong dengarkan aku dulu!""Dengar apa?""Aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Aku nggak ada niat untuk menyebut namanya.""Sudah, ya, Mas! Sudah jelas semuanya. Aku sudah berusaha memaafkanmu dan bersikap sebaik mungkin, tapi masih saja Leni yang ada di pikiranmu.""Tidak bisakah kamu melupakan dia sedetik saja? Berdua bersamaku pun kamu masih bisa menyebut namanya, Mas," kataku lagi. Aku mengambil bantal dan selimut."Kamu mau ke mana?""Aku tidur di ruang tengah saja.""Jangan, Dek! Kita tidur bersama di sini.""Aku tidak mau tidur denganmu, Mas.""Oke, kalau kamu marah sama aku, biar aku yang tidur di ruang tengah. Jangan kamu!"Mas Ardi beranjak dan memintaku untuk kembali ke kasur. "Dek, ini semua salah paham. Aku tidak sengaja tadi, Dek!" ucapnya."Keluar, Mas!"Aku segera mengunci pintu setelah Mas Ardi keluar. Tangisku pecah. Mas Ardi benar-benar keterlaluan. Aku pikir, malam ini akan kami lalui dengan indah dan penuh kenangan manis. Lagi-lagi tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan.***Aku harus bangun sepagi mungkin dan meminta Mas Ardi pindah ke kamar sebelum mama tahu. Papa dan mama tidak boleh tahu soal ini. Jika mereka tahu, pasti mereka akan kecewa lagi dan tak akan memaafkan Mas Ardi."Dek, aku masih ngantuk.""Tidur di kamar, Mas! Buruan sebelum mama dan papa bangun! Kamu mau masalah kita diketahui oleh mama dan papa?"Mas Ardi menggeleng dan segera beranjak dari sofa. Aku memilih untuk membuat sarapan terlebih dahulu."Eh, menantu mama pagi-pagi sudah di dapur. Tumben banget, Li? Ini masih pagi banget, loh.""Lily sudah kebangun dari tadi, Ma. Daripada nggak ngapa-ngapain, 'kan?""Mau masak apa, Li?""Masak capcay ... enak, kali, ya, Ma?""Boleh juga, tuh. Oh, ya, gimana? Ardi suka sama penampilan kamu?""Suka, Ma.""Mulai hari ini dan seterusnya, kamu harus dandan terus di depan dia.""Em ...." Aku menoleh ke arah mama dan tersenyum. Kali ini aku harus bisa menyembunyikan masalah dari mertuaku.Aku bersikap seperti biasa ketika Mas Ardi bergabung di meja makan. Tak kutunjukkan kemarahan atau kesedihanku walau sebenarnya hati masih terasa dongkol. Aku melayaninya seperti tak terjadi apa-apa."Dek?""Kenapa, Mas?""Nanti kamu mau nggak menemani aku makan siang?""Nanti?""Iya. Mau, 'kan?"Aku melihat ke arah mama dan papa. Mereka mengangguk dan tersenyum bahagia. Sejujurnya, aku malas sekali, tapi jika aku menolak, mama dan papa pasti akan curiga."Iya, Mas," ujarku.Aku mengantar suamiku sampai depan rumah. Dia mengecup keningku. Biasanya Mas Ardi tak pernah melakukan ini ketika akan berangkat bekerja. Mungkin Mas Ardi mengira kalau aku sudah tidak marah lagi.***Sambil menunggu waktu siang tiba, aku bermain ponsel. Tak lama kemudian, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.[Sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa memiliki Mas Ardi. Sampai kapan pun, dia tidak akan bisa jatuh hati kepada wanita lain selain aku.] Begitu isi pesannya.[Siapa kamu?] balasku.[Kamu tidak tahu atau pura-pura tahu?]Itu pasti Leni. Tidak ada lagi wanita di dunia ini yang mengusik rumah tanggaku selain dirinya.[Apa maumu, Leni?][Baguslah kalau kamu sudah tahu siapa aku. Mau cuma satu, yaitu suamimu.][Dasar wanita tidak waras!] balasku kemudian melemparnya ke kasur.Aku pikir Leni akan jera dengan tamparan yang diberikan oleh mama. Wanita itu ternyata tidak memiliki rasa takut bahkan tidak malu sama sekali. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku menjumpai seorang pelakor.Leni kembali mengirimiku pesan. [Aku tidak akan pernah melupakan tamparan dari mertuamu itu. Suatu saat aku akan membalas lebih dari tamparan itu.]"Gila!" gumamku. Dia benar-benar mencari perkara. Pelakor sekarang lebih galak dari istri sah."Lily!""Iya, Ma?""Kenapa masih di situ? Buruan siap-siap! Sebentar lagi jam makan siang Ardi.""Iya, Ma."Mama tidak boleh tahu soal ini. Aku harus menghadapinya sendiri."Dandan yang cantik dan cetar membahana, ya!""Iya, Ma."Jika berbicara soal penampilan, aku mengakui mama mertuaku memang juara. Walau usianya sudah tak lagi muda, tetapi kulitnya masih kencang. Penampilannya juga selalu memukau. Pantas saja jika papa setia dan tak pernah berpaling dari mama. Aku rasa, aku harus mengikuti jejak mama mertuaku ini."Makan siang di mana kata Ardi?""Di kafe pelangi, Ma.""Janjian di sana?""Iya, Ma. Tadi Mas Ardi sudah telepon.""Ya sudah, hati-hati, Li!***Kafe pelangi cukup dekat dengan kantor Mas Ardi. Kata Mas Ardi, aku diminta untuk menunggu di kafe saja tanpa harus datang ke kantor. Sudah dua puluh menit aku berada di sini, tetapi Mas Ardi tak kunjung datang.Aku sudah mengiriminya pesan berkali-kali, tetapi belum dibaca. Panggilan teleponku juga tidak diangkat. "Ke mana Mas Ardi ini? Lama sekali," gumamku.Aku memutuskan untuk menyusulnya di kantor. Lebih baik aku bertanya kepada rekan-rekan kerjanya saja daripada menunggu sampai mengantuk di sini. Untung saja jarak kantornya tidak jauh. Jadi, aku hanya perlu berjalan kaki saja menuju kantornya.Ketika hendak sampai, aku melihat Mas Ardi keluar kantor sambil digandeng oleh seorang wanita. Namun, ekspresi wajah Mas Ardi tampak tak senang. Dia seperti berusaha melepaskan genggaman wanita itu."Leni?" pekikku. Hatiku kembali memanas ketika melihat wanita tersebut.Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dari ekspresi wajah Leni, dia seperti marah dengan Mas Ardi. Leni terus saja mengikuti ke mana Mas Ardi berjalan. Tangan Mas Ardi tampak menepis tangan Leni. Sepertinya, mereka bertengkar. Aku ingin mendekat, tetapi aku urungkan.Aku geli sendiri melihat Leni yang berusaha mengejar suamiku. Dia sama sekali tidak tahu malu. Mas Ardi yang ingin lepas dari wanita itu tampak kesusahan. Terpaksa, aku mendekati mereka."Wah, ternyata begini kelakuan Leni?" Mereka terkejut dengan kehadiranku."Lily?" Mas Ardi menghampiriku."Oh, hai, Lily! Senang bertemu denganmu untuk yang ke dua kalinya," ucap Leni sambil tersenyum kepadaku."Leni!" Mas Ardi menatap geram pada wanita itu."Kenapa, Mas? Oh, ya, kamu sudah marahin dia dan mama kamu? Tamparan yang diberikan oleh mereka sakit banget, loh, Mas," kata Leni dengan nada manja.Jadi, Mas Ardi sudah tahu soal pertemuan itu. Pantas saja waktu itu Mas Ardi bersikap agak aneh dan begitu dingin ke mama. Ternyata, selingkuhannya sudah mengadu."Ayo kita pergi, Dek! Jangan dengarkan wanita ini!""Mas! Kamu nggak bisa ninggalin aku begini, dong!"Mas Ardi menarik tanganku dan mengajak masuk ke mobilnya. Tingkah Leni seperti anak-anak. Dia terus mengikuti sampai memukul-mukul kaca mobil. "Nggak ada malu sama sekali," batinku. Baru kali ini aku melihat wanita yang seperti Leni."Katanya mau makan di kafe pelangi, Mas? Jalan kaki saja bisa, 'kan?" tanyaku."Nggak jadi di sana. Leni pasti akan ngikut. Aku risih dan nggak enak dilihatin teman-teman. Dari tadi Leni terus mengikutiku. Kita makan di tempat lain saja nggak apa-apa, 'kan?""Ya, nggak apa-apa, sih. Terserah.""Kamu masih marah soal semalam? Aku minta maaf! Aku benar-benar nggak sengaja dan nggak ada niat untuk berkata begitu. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana sikapku ke Leni barusan?""Ya, Mas.""Iya apa, De
"Mas Ardi?" "Hai, Anda temannya Lily, bukan? Senang bertemu dengan Anda!" kata Mas Ardi."Ya. Maaf, waktu itu kami tidak bisa datang ke acara pernikahan kalian," kata Alan sambil sesekali melihatku."Ya, tidak masalah," ucap Mas Ardi kemudian merangkul bahuku. Entah apa yang membuat Mas Ardi tiba-tiba bersikap begini."Lily, kamu semakin cantik! Pasti hidupmu bahagia terus, ya?" kata Vina. "Wah, terima kasih. Apa pun akan saya lakukan demi membuat Lily bahagia," sahut Mas Ardi. Aku meliriknya dengan sedikit bingung."Kamu juga makin cantik, Vina. Pasti hidupmu juga bahagia bersama Alan," ujarku."Pasti, dong, Sayang. Mereka pasti bahagia. Lihatlah! Aura kebahagiaan terpancar di wajah mereka," timpal suamiku. "Bukan begitu, Tuan Alan?" tanya suamiku sambil menatap Alan."Tentu saja. Kami sangat bahagia," jawab Alan sambil merangkul istrinya. "Iya, 'kan, Sayang?" tanya Alan kepada Vina. Wanita berambut pendek itu mengangguk dan tersenyum bahagia.Aku merasa aneh dengan obrolan ini. Mu
"Siapa, Dek?""Em ... Vina, Mas.""Ngapain lagi?""Nggak ada apa-apa, sih. Cuma nanya aku sudah tidur apa belum.""Coba lihat!"Aku menyerahkan ponselku dengan perasaan yang aku tak tahu. Mas Ardi mengernyitkan dahi saat membacanya. Aku mengigit bibir bawah melihat reaksi Mas Ardi."Tuh, 'kan?""Kenapa, Mas? Kasihan, loh, si Vina.""Ini si Alan nggak bisa mencintai Vina pasti karena dia masih mencintai kamu," tutur Mas Ardi kemudian mematikan ponselku."Eh, Mas, kenapa dimatikan ponselnya?""Pasti ini si Alan masih cinta sama kamu.""Vina belum menceritakan lebih jauh. Kalau kamu matikan ponsel, kasihan dia, dong. Nanti dikiranya aku nggak mau mendengarkan keluh kesahnya."Mas Ardi tak menjawabku. Dia meletakkan ponselku di meja kemudian kembali menarik tanganku. ***Hari sudah berganti, Mas Ardi berangkat kerja seperti biasanya. Aku sibuk belajar dandan untuk diriku sendiri, tetapi dengan bantuan mama. Kami dikejutkan dengan suara bel rumah yang berbunyi."Siapa, ya, Li? Apa ada pak
Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Lebih baik aku menghapusnya sekarang juga sebelum Mas Ardi tahu hal ini. [Aku kangen. Akhirnya, waktu telah mempertemukan kita.] Alan kembali mengirim pesan kepadaku."What?" Aku mengernyitkan dahi tak percaya. Lebih baik aku memblokir nomor teleponnya saja agar tak lagi menggangguku.[Kamu jangan blokir aku, Lily! Semakin kamu menjauh, semakin aku berusaha keras untuk mengejar kamu.] Aku terkejut membaca pesan darinya lagi. Bisa-bisanya dia tahu apa yang akan aku lakukan. Aku pun batal memblokir nomor teleponnya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Si Alan sedang mengemudikan mobil. Tak mungkin jika dia bermain ponsel. Segera aku menghubungi Vina untuk memastikan."Halo, Lily?""Halo, Vina? Kamu lagi di mana?""Ini lagi di jalan. Kita belum sampai.""Kamu masih sama Alan?""Iya, Li. Cuma kita lagi berhenti. Alan lagi terima telfon penting. Dia keluar dari mobil.""Oh, ya sudah, hati-hati, Vin!""Ada apa emangnya, Li?""Nggak ada apa-ap
"Kamu luar biasa," bisik Mas Ardi di telingaku. Aku menggeliat karena geli. Tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Namun, aktivitasnya terhenti karena sebuah pesan yang masuk di ponselnya. Mas Ardi kembali menatap layar ponselnya dengan serius."Ada masalah apa, sih, Mas, teman kamu itu?""Biasa, Dek. Rumah tangga. Istrinya nggak mau tinggal serumah sama orang tuanya temanku.""Kenapa bisa gitu?""Katanya, sih, nggak cocok, Dek."Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapannya. Sama sekali aku tidak merasa penasaran dengan isi pesan tersebut. Aku memberikan waktu kepada Mas Ardi untuk berbalas pesan dengan temannya."Aku merasa beruntung, Dek.""Beruntung kenapa, Mas?""Orang tua dan istriku bisa saling hidup rukun. Aku senang melihat kedekatan kalian. Mama bahkan lebih dekat denganmu daripada dengan anaknya sendiri.""Aku juga merasa beruntung memiliki mertua seperti mama dan papa. Mereka begitu baik dan peduli padaku. Mereka sangat sayang kepadaku, Mas."Mas Ardi kembali sibuk dengan po
"Kamu telah menikahi pria yang salah. Kamu telah mencintai pria yang salah," ujar Alan sambil menatapku."Alan, jangan pernah berkata seperti itu tentang suamiku!" Aku berdiri dari kursi dan ingin pergi.Alan kembali mencekal tanganku. "Suatu saat aku akan membuktikannya. Aku tidak akan membuatmu jatuh dalam pelukan pria sembarangan.""Alan, stop berkata seperti itu tentang suamiku!" Aku menarik tanganku dan pergi meninggalkan Alan. Suasana hatiku yang tadinya senang kini berubah menjadi sedih. Aku tak melanjutkan pencarian kado untuk mama. Aku akan membeli kado esok hari saja. Alan benar-benar membuat suasana hatiku menjadi tidak menentu.Aku keluar dari pusat perbelanjaan dan duduk di taman. Kutenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Aku tak mau mama tahu kalau hatiku sedang kacau.Ingatanku memutar kenangan masa lalu. Saat itu Alan pernah bertanya tentang pertunangan dan pernikahan impianku. Aku menceritakan secara gamblang kepada Alan karena dia adalah teman baikku
Belum sempat aku berbicara, panggilan itu terputus. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk memeriksa ponsel Mas Ardi. Suamiku tertidur dengan pulas. Dia tidak menyadari ponselnya bergetar. "Ha? Dikunci?" Aku sedikit kesal karena layar ponsel Mas Ardi terkunci. Tak biasanya Mas Ardi melakukan ini. Sebelumnya juga tidak pernah terkunci. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Sudah aku coba beberapa kata kunci, tak ada yang berhasil. Aku penasaran dengan si Leo ini. Pantas saja jika sedang berbalas pesan dengan si Leo, Mas Ardi tampak serius. Ternyata Leo adalah seorang wanita.Rupanya, Mas Ardi mau main-main denganku. Aku teringat dengan ucapan Alan kalau cinta Mas Ardi untukku adalah palsu. Mungkinkah Alan telah mengetahui sesuatu? Dia begitu kekeh dengan pernyataannya itu. Aku meraih ponsel dan ingin menghubungi Alan, tetapi aku sadar akan misiku. Ya. Aku ingin membuat Alan agar melupakanku. Untuk saat ini, aku tidak ingin menghubunginya. Biar saja dia terbiasa tanpaku. Kubiarkan M
"Duduk!" pinta mama sambil melotot menatapku.Jujur saja, aku sangat takut dengan sikap mama yang seperti ini. Sangat berbeda dengan sikap mama yang sebelumnya. Baru kali ini aku melihat mama dengan tatapan tajamnya."Selama ini mama selalu menganggap kamu yang terbaik untuk Ardi. Mama percaya bahwa kamu adalah perempuan baik-baik. Ternyata, mama telah salah menilai," ucap mama yang membuatku tak mengerti."Apa maksud Mama?""Jangan pura-pura tidak tahu! Selama ini mama telah tertipu dengan wajah polos kamu, Lily.""Lily nggak ngerti kenapa Mama begini? Ada apa sebenarnya, Ma? Apa Lily membuat kesalahan?""Ya," jawab mama dengan suara yang lantang."Apa, Ma? Kesalahan apa yang telah Lily perbuat?""Kamu yang berbuat salah, masih saja kamu tanya mama.""Lily benar-benar nggak tahu, Ma." Aku mulai berkaca-kaca karena sangat takut melihat amarah mama."Kamu dan Leni sama saja. Tidak ada bedanya. Memang susah, ya, mencari perempuan yang benar-benar baik hatinya.""Apa maksud Mama? Kenapa m