"Mas Ardi?" "Hai, Anda temannya Lily, bukan? Senang bertemu dengan Anda!" kata Mas Ardi."Ya. Maaf, waktu itu kami tidak bisa datang ke acara pernikahan kalian," kata Alan sambil sesekali melihatku."Ya, tidak masalah," ucap Mas Ardi kemudian merangkul bahuku. Entah apa yang membuat Mas Ardi tiba-tiba bersikap begini."Lily, kamu semakin cantik! Pasti hidupmu bahagia terus, ya?" kata Vina. "Wah, terima kasih. Apa pun akan saya lakukan demi membuat Lily bahagia," sahut Mas Ardi. Aku meliriknya dengan sedikit bingung."Kamu juga makin cantik, Vina. Pasti hidupmu juga bahagia bersama Alan," ujarku."Pasti, dong, Sayang. Mereka pasti bahagia. Lihatlah! Aura kebahagiaan terpancar di wajah mereka," timpal suamiku. "Bukan begitu, Tuan Alan?" tanya suamiku sambil menatap Alan."Tentu saja. Kami sangat bahagia," jawab Alan sambil merangkul istrinya. "Iya, 'kan, Sayang?" tanya Alan kepada Vina. Wanita berambut pendek itu mengangguk dan tersenyum bahagia.Aku merasa aneh dengan obrolan ini. Mu
"Siapa, Dek?""Em ... Vina, Mas.""Ngapain lagi?""Nggak ada apa-apa, sih. Cuma nanya aku sudah tidur apa belum.""Coba lihat!"Aku menyerahkan ponselku dengan perasaan yang aku tak tahu. Mas Ardi mengernyitkan dahi saat membacanya. Aku mengigit bibir bawah melihat reaksi Mas Ardi."Tuh, 'kan?""Kenapa, Mas? Kasihan, loh, si Vina.""Ini si Alan nggak bisa mencintai Vina pasti karena dia masih mencintai kamu," tutur Mas Ardi kemudian mematikan ponselku."Eh, Mas, kenapa dimatikan ponselnya?""Pasti ini si Alan masih cinta sama kamu.""Vina belum menceritakan lebih jauh. Kalau kamu matikan ponsel, kasihan dia, dong. Nanti dikiranya aku nggak mau mendengarkan keluh kesahnya."Mas Ardi tak menjawabku. Dia meletakkan ponselku di meja kemudian kembali menarik tanganku. ***Hari sudah berganti, Mas Ardi berangkat kerja seperti biasanya. Aku sibuk belajar dandan untuk diriku sendiri, tetapi dengan bantuan mama. Kami dikejutkan dengan suara bel rumah yang berbunyi."Siapa, ya, Li? Apa ada pak
Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Lebih baik aku menghapusnya sekarang juga sebelum Mas Ardi tahu hal ini. [Aku kangen. Akhirnya, waktu telah mempertemukan kita.] Alan kembali mengirim pesan kepadaku."What?" Aku mengernyitkan dahi tak percaya. Lebih baik aku memblokir nomor teleponnya saja agar tak lagi menggangguku.[Kamu jangan blokir aku, Lily! Semakin kamu menjauh, semakin aku berusaha keras untuk mengejar kamu.] Aku terkejut membaca pesan darinya lagi. Bisa-bisanya dia tahu apa yang akan aku lakukan. Aku pun batal memblokir nomor teleponnya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Si Alan sedang mengemudikan mobil. Tak mungkin jika dia bermain ponsel. Segera aku menghubungi Vina untuk memastikan."Halo, Lily?""Halo, Vina? Kamu lagi di mana?""Ini lagi di jalan. Kita belum sampai.""Kamu masih sama Alan?""Iya, Li. Cuma kita lagi berhenti. Alan lagi terima telfon penting. Dia keluar dari mobil.""Oh, ya sudah, hati-hati, Vin!""Ada apa emangnya, Li?""Nggak ada apa-ap
"Kamu luar biasa," bisik Mas Ardi di telingaku. Aku menggeliat karena geli. Tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Namun, aktivitasnya terhenti karena sebuah pesan yang masuk di ponselnya. Mas Ardi kembali menatap layar ponselnya dengan serius."Ada masalah apa, sih, Mas, teman kamu itu?""Biasa, Dek. Rumah tangga. Istrinya nggak mau tinggal serumah sama orang tuanya temanku.""Kenapa bisa gitu?""Katanya, sih, nggak cocok, Dek."Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapannya. Sama sekali aku tidak merasa penasaran dengan isi pesan tersebut. Aku memberikan waktu kepada Mas Ardi untuk berbalas pesan dengan temannya."Aku merasa beruntung, Dek.""Beruntung kenapa, Mas?""Orang tua dan istriku bisa saling hidup rukun. Aku senang melihat kedekatan kalian. Mama bahkan lebih dekat denganmu daripada dengan anaknya sendiri.""Aku juga merasa beruntung memiliki mertua seperti mama dan papa. Mereka begitu baik dan peduli padaku. Mereka sangat sayang kepadaku, Mas."Mas Ardi kembali sibuk dengan po
"Kamu telah menikahi pria yang salah. Kamu telah mencintai pria yang salah," ujar Alan sambil menatapku."Alan, jangan pernah berkata seperti itu tentang suamiku!" Aku berdiri dari kursi dan ingin pergi.Alan kembali mencekal tanganku. "Suatu saat aku akan membuktikannya. Aku tidak akan membuatmu jatuh dalam pelukan pria sembarangan.""Alan, stop berkata seperti itu tentang suamiku!" Aku menarik tanganku dan pergi meninggalkan Alan. Suasana hatiku yang tadinya senang kini berubah menjadi sedih. Aku tak melanjutkan pencarian kado untuk mama. Aku akan membeli kado esok hari saja. Alan benar-benar membuat suasana hatiku menjadi tidak menentu.Aku keluar dari pusat perbelanjaan dan duduk di taman. Kutenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Aku tak mau mama tahu kalau hatiku sedang kacau.Ingatanku memutar kenangan masa lalu. Saat itu Alan pernah bertanya tentang pertunangan dan pernikahan impianku. Aku menceritakan secara gamblang kepada Alan karena dia adalah teman baikku
Belum sempat aku berbicara, panggilan itu terputus. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk memeriksa ponsel Mas Ardi. Suamiku tertidur dengan pulas. Dia tidak menyadari ponselnya bergetar. "Ha? Dikunci?" Aku sedikit kesal karena layar ponsel Mas Ardi terkunci. Tak biasanya Mas Ardi melakukan ini. Sebelumnya juga tidak pernah terkunci. Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Sudah aku coba beberapa kata kunci, tak ada yang berhasil. Aku penasaran dengan si Leo ini. Pantas saja jika sedang berbalas pesan dengan si Leo, Mas Ardi tampak serius. Ternyata Leo adalah seorang wanita.Rupanya, Mas Ardi mau main-main denganku. Aku teringat dengan ucapan Alan kalau cinta Mas Ardi untukku adalah palsu. Mungkinkah Alan telah mengetahui sesuatu? Dia begitu kekeh dengan pernyataannya itu. Aku meraih ponsel dan ingin menghubungi Alan, tetapi aku sadar akan misiku. Ya. Aku ingin membuat Alan agar melupakanku. Untuk saat ini, aku tidak ingin menghubunginya. Biar saja dia terbiasa tanpaku. Kubiarkan M
"Duduk!" pinta mama sambil melotot menatapku.Jujur saja, aku sangat takut dengan sikap mama yang seperti ini. Sangat berbeda dengan sikap mama yang sebelumnya. Baru kali ini aku melihat mama dengan tatapan tajamnya."Selama ini mama selalu menganggap kamu yang terbaik untuk Ardi. Mama percaya bahwa kamu adalah perempuan baik-baik. Ternyata, mama telah salah menilai," ucap mama yang membuatku tak mengerti."Apa maksud Mama?""Jangan pura-pura tidak tahu! Selama ini mama telah tertipu dengan wajah polos kamu, Lily.""Lily nggak ngerti kenapa Mama begini? Ada apa sebenarnya, Ma? Apa Lily membuat kesalahan?""Ya," jawab mama dengan suara yang lantang."Apa, Ma? Kesalahan apa yang telah Lily perbuat?""Kamu yang berbuat salah, masih saja kamu tanya mama.""Lily benar-benar nggak tahu, Ma." Aku mulai berkaca-kaca karena sangat takut melihat amarah mama."Kamu dan Leni sama saja. Tidak ada bedanya. Memang susah, ya, mencari perempuan yang benar-benar baik hatinya.""Apa maksud Mama? Kenapa m
"Jawab, Lily!" bentak mama yang membuatku terkejut. Tangisku semakin deras."I–iya, Ma." Aku masih berusaha untuk menutupi pertemuanku dengan Alan. "Mama mau ngucapin terima kasih karena kamu telah berusaha mencarikan kado untuk mama, tapi mama kali ini kecewa sama kamu."Aku masih tersedu-sedu. Tak mampu lagi mengatakan apapun. Aku melihat Mas Ardi yang hanya terdiam menatapku. Ingin rasanya aku membongkar kelakuannya, tetapi aku tak memiliki bukti. Jika aku meminta ponselnya, pasti dia akan menolak dengan berbagai alasan. "Ma–maafin, Lily, Ma. Lily ...." Aku tak sanggup lagi berbicara. Jika sudah menangis begini, aku tak mampu mengatakan apapun lagi. "Mama kecewa dan sedih, tetapi mama juga senang," ucap mama yang membuatku bingung. Aku menatap mama sambil mengusap air mata."Sudah, Ma! Kasihan Lily!" kata papa sambil tersenyum."Kejutan!" seru Mas Ardi sambil mengambil sesuatu dari belakang sofa. Beberapa bungkusan yang aku tak mengerti apa isinya. Aku masih menatap mama dan pa