Share

Bukan Istri Pemuas Nafsu
Bukan Istri Pemuas Nafsu
Author: Helminawati Pandia

Bab 1. Nafkah Batin  Seminggu Sekali

“Terima kasih, Sayang! Kamu memang pandai memuaskan suami!”  Bagas melemparkan tubuhnya di samping Rinay. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.

“Harus, dong, Mas! Suami udah capek kerja, jauh-jauh pulang ke desa, masa enggak aku servis seistimewa mungkin, iyakan?”  sahut Rinay tersenyum manja. Hatinya berbunga-bunga. Tangan gemulainya lalu menarik selimut yang teronggok  di bagian kaki ranjang, lalu menutupi tubuh polos mereka berdua hingga sebatas dada.

“Tapi jangan lupa minum obatnya secara rutin, ya, Sayang!” Bagas menunjuk pil di atas nakas. Pil anti hamil yang sengaja dia bawa dari kota.

“Itu obat apa, sih, Mas?”  tanya Rinay merubah posisi tidurnya. Wanita itu tidur miring menghadap ke arah  Bagas. 

“Itu vitamin biar rahim kamu subur! Biar cepat hamil. Mas pengen banget kita cepat-cepat punya anak Makanya kamu jangan pernah telat minumnya, ya! Dan satu lagi, jangan sampai Ibu atau Bapak tahu kalau kamu mengkonsumsi itu! Pokoknya siapapun tak boleh tahu, hem!” jawab Bagas sambil memainkan jemarinya di pipi Rinay. Sebuah kecupan kembali dia daratkan  tepat di bibir ranum sang istri.

“Kenapa, sih, Mas? Kok pakai rahasia-rahasia segala?” Rinay lalu menenggelamkan kepalanya di dada Bagas.

“Mas malu, dong, Sayang! Nanti mereka berpikir, kok, mas ngebet banget pengen punya anak! Entar keluarga kamu tersinggung lagi, mengira mas enggak percaya akan kesuburan putri mereka, kan enggak enak!”

“Hem, begitu, ya, Mas?”

“Iya, Sayang.”

“Maaf, ya, Mas! Hingga hari ini, aku belum bisa bahagian Mas Bagas! Padahal kita udah nikah setengah tahun. Jujur aku juga pengen kayak teman-teman aku, Mas! Mereka malah dua bulan nikah langsung hamil. Malah si Ningsih, udah  langsung hamil meski belum  akad nikah. Aku malu, tau, sering diledekin gak pinter gituannya. Ada juga yang bilang Mas Bagas enggak top cer, kan aku panas juga, Mas,” adu  Rinay seraya memainkan jemari di dada sang suami.

“Ya, makanya! Rajin  minum vitaminnya, ya! Itu, udah Mas beli untuk sebulan.”

“Baik, suamiku, hehehe ….”

“Pinter!” Bagas memeluk erat tubuh sang istri.

“Mas, sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan. Bapak sama Ibu yang nyuruh. Boleh, ya, Mas?” tanya Rinay  dengan hati-hati.

“Tentang apa, Sayang? Bilang saja, Mas akan mendengarkan.”

“Eeem, tapi, janji, ya! Mas enggak akan marah?”

“Janji, bilang saja!”

“Sebenarnya aku takut, sih, ngomong ini ke Mas Bagas.”

“Eem, apakah Bapak dan Ibu minta tambahan uang mingguan yang Mas kasih? Ya, udah, besok mas tambah, ya! Udah, jangan dipikirkan! Sekarang kita bobok, mas capek banget!” Bagas lalu melepas pelukannya.

“Bu-bukan tentang uang, Mas! Tapi … anu ….” gugup Rinay semakin gelisah.

“Anu apa, Nay? Ngomong saja!”

“Eeem, Bapak sama Ibu katanya risih mendengar omongan miring tetangga tentang kita, Mas.”

“Omongan miring bagaimana?” Bagas mengernyitkan dahi.

“Bapak sama Ibu malu, karena tetangga sering ngegosip kalau aku ini cuma istri simpanan Mas Bagas. Jangan-jangan Mas Bagas sebenarnya udah punya istri di kota. Buktinya sampai detik ini aku tak pernah Mas bawa ke rumah Mas di kota! Keluarga Mas juga tak pernah datang silaturahmi ke sini. Bapak sama Ibu juga gak pernah Mas ajak bersilaturahmi ke kota, ke rumah orang tua Mas Bagas.”

“Oooh, itu masalahnya!”  Bagas lalu  tertawa, tawa yang sangat dibuat buat. “Kalau masalah itu, kamu jangan khawatir, Sayang! Mas janji,  begitu kamu hamil, mas akan bawa kamu ke kota, bilang sama Bapak dan Ibu, ya!” imbuhnya membelai lembut kepala Rinay. Itu untuk memberi sang istri rasa nyaman agar tak lagi menuntut yang macam-macam.

“Nunggu hamil dulu, ya, Mas?” tanya Rinay  kian gelisah.

“Iya, dong, Sayang! Sekalian kita beri surprise buat keluargaku. Mama dan Papa udah enggak sabar  ingin menimang cucu. Mereka pasti sangat bahagia bila kamu datang dengan kehamilan kamu, iyakan?” bujuk Bagas tak putus asa.

Rinay masih terdiam.

“Mas juga akan segera urus surat nikah kita, begitu kamu hamil. Kamu tentu pengen punya buku nikah kayak orang-orang, kan?  Enggak cuma menyandang status istri siri?  Dengar,  asal kamu hamil, Mas akan mengurus  semua itu. Mas janji,” imbuh Bagas lagi   meyakinkan Rinay.

“Serius? Mas akan mengesahkan pernikahan kita? Kita akan sah di mata hukum dan negara tak hanya di mata agama?”  tanya Rinay mulai terpedaya.

“Iya, Sayang! Kan, memang kamu istri  sah aku. Mas juga sayang banget sama kamu! Makanya, kamu rajin mengkonsumsi obat penyubur rahim itu, ya! Biar harapan dan cita-cita kita segera terlaksana, hem?”

“Iya, Mas, terima kasih!” Wanita lugu itu memeluk suaminya dengan erat. Bahagia membuncah di dalam dada.

**

“Bagas sudah pulang lagi, kan? Kenapa kamu belum dia bawa  juga ke kota?”  tanya Rusni, ibu Rinay   pagi ini.

“Kata Mas Bagas aku boleh, kok, ikut dia ke kota, tapi nanti, kalau aku sudah hamil.  Kami akan memberi kejutan buat keluarganya.  Orang tuanya pengen banget punya cucu. Mas Bagas juga janji akan mengurus surat nikah kami, agar terdaftar di negara,” jawab Rinay dengan wajah berbinar.

“Astaga, Rinay …! Artinya Bagas memang tak ingin membawa kamu! Laki-laki kurang aj*r! Dia cuma mau memanfatkanmu! Omongan tetangga itu benar! Bagas memperlakukan kamu itu tak lebih dari istri simpanan. Datang seminggu sekali untuk tidur sama kamu, lalu setelah  puas di pergi lagi!” Rusni  terlihat geram.

“Ibu, Mas Bagas bukan seperti itu! Dia cinta sama Rinay!”

“Bagaimana kalau kau tidak hamil-hamil?”

“Mas Bagas selalu membelikan aku vitamin penyubur rahim. Aku  mengkonsumsinya dengan teratur, Bu!”

“Vitamin penyubur rahim?”

“Iya.”

“Mana, ibu mau  lihat?”

Rinay tercekat, teringat pesan suaminya, bahwa siapapun tak boleh tahu tentang vitamin itu.

“Mana ibu liat!” Rusni makin memaksa.

Dengan terpaksa Rinay  berjalan ke arah nakas, meraih  lalu menunjukkan pil itu  kepada sang Ibu.

“Ibu akan bawa pil ini ke rumah Bu Bidan, ibu mau nanya, apa betul ini obat  biar cepat hamil!” Rusni buru-buru keluar dari kamar Rinay.

*

“Ini bukan vitamin  penguat rahim,  tapi anti hamil!”

Kalimat Bidan Elsa mengejutkan Rusni dan Rinay.

“Tuh, kan, dugaanku benar! Rinay  … kau telah dibodohi laki-laki itu!” Emosi Rusni langsung tersulut.  Rinay memucat.

“Apakah kalian sengaja  menunda punya anak, Nay?” tanya Bidan  Elsa hati hati.

“Ti-tidak, kok! Saya dan Mas Bagas malah sangat ingin cepat-cepat memiliki momongan,” urai Rinay membuat kedua alis sang bidan saling bertaut.

“Jangan bodoh, Rinay! Kau sudah tertipu! Kalau memang benar dia pengen cepat punya anak kenapa  dia suruh kau minum obat anti hamil?” sergah Rusni dengan wajah merah padam.

“Mas Bagas  enggak mungkin melakukan itu, Bu.” Rinay menunduk.

“Eeeh, enggak usah  kau bela suamimu itu!” Rusni mendelik tajam.

“Enggak mungkin Mas Bagas begitu, Bu. Ibu berprasangka buruk terus sama Mas Bagas. Ya, sudah, biar aku telpon sekarang. Biar Mas Bagas yang jelaskan!” Rinay mulai terisak. Sakit hatinya kalau sang suami selalu dicurigai oleh semua orang.

“Ya, sudah, cepat kau telpon! Ibu juga udah enggak sabar pengen memaki-maki dia! Enggak terima ibu kalau kau dia sembunyikan terus di sini! Malu Bapak sama ibu mendengar cemooh tetangga!”

Rinay mengeluarkan ponsel dari dalam saku rok panjangnya. Menekan nomor Bagas lalu menempelkan benda itu di dekat telinga. Seperti biasa,  panggilannya tak pernah  tersambung bila Bagas sudah kembali ke kota. Entah mengapa, sepertinya Bagas sengaja memblokir nomornya.

“Kenapa? Enggak nyambung, kan? Kenapa coba, kau tak pernah bisa menghubungi dia bila dia sudah pulang ke kota, ha? Kau tau alasannya? Jelaskan sama Ibu!” cecar Rusni semakin emosi.

Sakit hati Rinay karena suaminya selalu dicurigai, namun  jauh lebih sakit hati sang ibu karena  menyadari anaknya telah dipermainkan oleh orang kota itu.

“Cukup, Rinay! Cukup sudah, sekarang juga tetapkan di hatimu, kalau kau harus minta pisah! Paham kau!?” pungkasnya dengan suara bergetar.

“Tidak, aku enggak mau pisah sama Mas Bagas, Ibu! Kami saling cinta! Mas Bagas mencintai aku, enggak benar kalau dia macam-mcam sama aku, Bu!” sergah Rinay mulai berlinang air mata.

“Jangan bodoh, Rinay! Kau telah dipermainkan!”

“Tidak, Bu! Tidak mungkin!”

“Rinay!”

“Tolong, Bu! Jangan suruh aku pisah dengan Mas Bagas! Beri aku kesempatan untuk membuktikan kalau Mas Bagas bukan seperti yang Ibu tuduhkan! Aku akan segera hamil!  Setelah hamil kita lihat, apakah Mas Bagas benar membuktikan janjinya untuk membawa aku ke kota atau tidak!” Rinay bersimpuh di kaki Rusni, memohon sambil memeluk kaki sang ibu.

“Kau … ah, Rinay, kenapa kau senaif ini? Kau masih percaya Bagas akan membawamu ke rumah orang tuanya bila kau hamil? Setelah dia menipumu dengan pil anti hamil itu?” Rusni mengguncang bahu Rinay penuh kecewa.

“Aku yakin Mas Bagas tak sengaja, Bu! Mas Bagas gak mungkin menipu aku. Mas Bagas sngat mencintai aku.”

“Kau sudah dibutakan oleh cinta! Kau bodoh! Ibu kecewa sama kau, Rinay!” Rusni mendorong kasar  tubuh putrinya hingga terjerembab ke lantai.

“Sabar, Bu Rusni!” Bidan Elsa segera menengahi.  Segera dia bantu Rinay bangkit, lalu membimbingnya duduk di sebuah kursi pasien.

“Enggak ada salahnya kita coba penuhi permintaan Rinay. Mungkin memang suaminya khilaf. Tak mungkin seorang suami tega membohongi istrinya dalam hal seperti ini. Saya akan resepkan vitamin agar Rinay cepat hamil. Ibu setuju?” Bidan Elsa memberi saran.

Rusni terdiam lama.

“Boleh, ya, Bu? Aku akan buktikan sama Ibu dan semua warga di kampung ini, kalau Mas Bagas bukan seperti yang kalian tuduhkan! Beri aku kesempatan untuk itu, Bu!” Rinay memelas.

Rusni menghela nafas berat. Pikirannya berkecamuk. “Bagaimana kalau setelah kamu hamil, ternyata Bagas ingkar janji lagi?” tanyanya dengan tatapan gundah.

“Gak mungkin, Bu! Aku percaya sepenuhnya pada Mas Bagas! Aku akan buktikan itu kepada Ibu! Beri aku kesempatan untuk membuktikan ini, Bu! Tolong bilang juga sama Bapak!” lirih Rinay memelas.

“Baiklah, kau konsumsi vitamin dari Bidan Elsa secara diam-diam! Jangan bilang sama suamimu, kau bisa?”

“Baik, Bu.  Terima kasih!” Rinay semringah. Bidan Elsa segera meresepkan vitamin penyubur rahim yang sesungguhnya.

*****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status