Share

Bab 2. Rinay Hamil, Sang Suami Menghilang

“Mas Bagas, Mas datang? Alhamdulillah!” Rinay membuka pintu kamar, lalu menghambur ke pelukan  Bagas. “Kenapa minggu lalu Mas enggak datang? Mas, kan, udah janji akan datang seminggu sekali,” rajuknya menenggelamkan tubuh di dada sang suami.

“Maaf, ya! Minggu lalu Mas enggak bisa datang. Mas sibuk banget urusan kantor,” sahut Bagas mengeratkan pelukan.

“Biasanya juga sibuk kantor. Tapi, kan, enggak sampai bolos datang! Aku kangen, Mas!”

“Iya, Sayang, Mas juga kangen. Maaf, ya!”

Bagas terpaksa berdusta, minggu lalu dia tak datang karena sibuk dengan pernikahannya. Tatiana, putri sang Big Bos yang telah lama diincarnya kini sudah sah menjadi istrinya.   Istri sah, bukan istri siri seperti Rinay yang sengaja dia sembuyikan di desa.

Malam ini dia sengaja mencuri waktu, diam-diam mendatangi Rinay di desa. Padahal baru empat hari yang lalu dia menikahi Tatiana.  Mereka bahkan masih dalam suasana bulan madu. Bulan madu yang dia rasakan sangat hambar.  Setiap detik memang mereka lewatkan bersama. Namun, keinginan Bagas untuk menuntaskan hasrat tak pernah mencapai puncaknya.  Tatiana tak bisa memuaskan dahaganya.

Bagas merindukan Rinay, keinginannya pada istri sirinya itu makin membuncah. Dia tak bisa menahan lagi. Dengan alasan bertemu client penting, dia pamit kepada Tatiana sore tadi.

“Iya, tapi, kenapa, sih, Mas, aku enggak bisa telpon atau chat nomor Mas Bagas? Mas Blokir nomorku, ya? Lalu Mas buka blokirannya pada saat Mas perlu saja sama aku? Kenapa?” Rinay meruncingkan bibirnya, bergelayut manja di lengan Bagas.

“Sayang, aku, kan, kerja! Dengar, ya! Kita, kalau mau hubungan ini langgeng, kita  harus saling percaya. Kamu harus percaya sama Mas. Begitu juga sebaliknya.  Udah, ayolah, enggak usah bahas yang enggak penting, aku kangen, sa … ngat kangen,” bujuk Bagas membingkai wajah Rinay.

Rinay mengangguk, menyungging senyum manis, siap melayani keinginan sang suami. Dan saat Bagas mulai mengecup bibirnya, wanita polos itu membalas dengan penuh gairah. Menuntaskan segenap kerinduan yang terpendam. Memasrahkan diri dengan segenap cinta, diiringi harapan agar benih yang ditanamkan suaminya kali ini akan membuahkan hasil. Rinay ingin cepat-cepat hamil agar bisa ikut Bagas ke kota. Vitamin penyubur rahim dari Bidan Elsa, akan membantu menggapai harapannya. Itu doanya.

“Kenapa berhenti, Mas?” tanya Rinay, saat Bagas menghentikan gerakan di atas tubuh polosnya.

“Vitaminnya masih diminum, kan, Sayang?”  tanya Bagas  mengagetkannya. Di saat permainan hampir mencapai puncaknya begini, kenapa Bagas malah menanyakan hal itu.  Tidak bisakah nanti saja?

“Masih, Mas? Kenapa? Ayolah, jangan berhenti! Bentar lagi aku sampai, nih!”

“Syukurlah, mas cuma mengingatkan, Sayang. Mas mau tak sia-sia  usaha kita malam ini, Mas ingin sekali istri tersayang Mas ini cepat hamil.” Bagas mengarang dusta.  Sesungguhnya dia sangat berharap agar Rinay tak pernah hamil agar tak menjadi masalah kelak untuk pernikahannya. Rinay hanyalah istri pemuas nafsu semata, bukan calon ibu bagi anak-anaknya.

“Iya, Mas, aku tak pernah lupa minum vitaminnya.  Tolong fokuslah!”

“Iya, Sayang. Terima kasih kamu tak pernah lalai minum vitaminnya. Mas lega mendengarnya. Kita lanjut, ya?”

“Hem, tolong gerakannya dipercepat!  Aku sudah tak tahan! Pengen keluar, nih, cepat, Mas!” rengek Rinay sengaja mengalihkan pembicaraan. Betapa dia ingin mengatakan kalau vitamin penyubur rahim yang dia konsumsi sekarang bukan yang diberikan oleh sang suami, melainkan   dari Bidan Elsa. Tapi ingat pesan ibunya, Rinay urung mengatakannya.

“Iya, Sayang, nikmati, ya!”  Bagas tersenyum lega, kenikmatan yang dia rasakan semakin sempurna. Penuh semangat dia bergerak liar di atas tubuh Rinay, makin bergairah saat mendengar  erangan nikmat dari bibir sang istri. 

*

Dua bulan sudah Rinay mengkonsumsi vitamin pemberian Bidan Elsa. Cita-cita Rinay akhirnya terwujud. Bidan Desa memastikan kalau dia positif hamil. Rinay langsung sujud syukur,  sedangkan Rusni, hanya tersenyum tipis. Nalurinya mengatakan, perjuangan putrinya belum selesai. Entah kenapa, dia merasakan firasat buruk. Ada keraguan, kalau Bagas akan memenuhi janjinya. Naluri seorang ibu.

“Bidan Elsa yakin kalau kamu hamil?” Kembali Rusni menelisik wajah putrinya.

“Iya, Bu. Tadi aku dia suruh pipis, disuruh tampung dikit air pipisnya. Nah, Bu Bidan mencelupkan entah apa itu ke pipis aku. Nunggu bentar, gak lama, ada gars dua, warna agak merah gitu, Bu di alat itu.” Rinay menjelaskan dengan penuh semangat.

“Itu namanya testpek!” Rusni menyela.

“Gak ngerti namanya. Tapi kata Bu Bidan, itu artinya aku hamil. Langsung dikasih vitamin. Kata Bu Bidan biar janinnya kuat.”

“Ya, baguslah! Ibu juga akan buatkan ramuan buat kamu! Jangan lasak-lasak lagi mulai sekarang! Kandunganmu maish rentan di tiga bulan pertama ini.”

“Baik, Bu. Makasih. Enggak sabar nunggu Mas Bagas datang.”

“Iya, besok jadwalnya datang, kan? Sebaiknya kau siap-siap! Masukkan pakaianmu ke dalam tas! Supaya besok dia datang tinggal berangkat. Kamu yakin, kan, dia gak akan ingkar janji?”

“Yakinlah, Bu. Mas Bagas  sangat senang saat tau aku hamil.”

“Bagas sudah tahu?” Rusni mengernyitkan kening. “Bagaimana dia bisa tahu, bukannya kau tak pernah bisa menghubunginya kalau dia sedang kerja di kota?” tanyanya penasaran.

“Iya, pakai nomor hapeku memang gak bisa. Tapi, tadi aku sengaja minkam hape Bu Bidan Elsa. Sengaja memberi Mas Bagas kejutan.”

“Pakai hape Bidan Elsa? Dan … Bagas mau ngangkat telponmu?”

“Iya, mau. Awalnya Mas Bagas  gak mau angkat karena nomor tak dikenal. Tapi karena aku manggil berpuluh kali, dia pensaran. Akhirnya dia angkat. Ibu tahu, dia bilang apa saat aku beritahu bahwa aku hamil?” Rinay bercerita dengan penuh semangat.

“Apa?” tanya Rusni masih tak tenang. Curiga dan berbagai prasangka tetap menghantui pikirannya.

“Mas Bagas tak bisa bicara sangkin senangnya, Bu. Iya, Sayang, besok mas akan datang jemput kamu,katanya gitu. Kami akan segera berangkat ke kota, ini benar-benar kejutan buat orang tuanya. Doa in lancar, ya, Bu!”

Rusni mengangguk, meski di benak  keraguan masih berkecamuk.

*

Rinay berdiri dengan gelisah di depan pintu. Membuang pandangan jauh ke ujung jalan, menanti sebuah mobil datang. Mobil Bagas, sang suami yang tengah sangat dia rindukan.

“Bagas belum datang?” Rusni menghampiri. Sama gelisahnya, sang ibu turut merasakan kerisauan hati putrinya.

“Iya, Bu.  Aku khawatir Mas Bagas kenapa-napa di jalan,” lirih Rinay. Sebuah ponsel dia genggam erat di tangan. Menunggu kalau-kalau benda itu berbunyi.  Siapa tahu ada info tentang Bagas untuknya.

“Berdoa saja, semoga perjalanannya lancar. Udah makan dulu, sana! Masuk angin nanti kalau enggak makan! Ingat, kamu itu hamil muda!” Rusni mengingatkan.

“Nanti saja, Bu, bareng Mas Bagas.”

“Iya, kalau dia datang. Kalau enggak? Apa kamu enggak makan sampai pagi?”

“Nantilah, Bu. Enggak selera, kalau belum ada kabar dari Mas Bagas.

“Terserahlah!” Rusni mengkat bahu, menghentak nafas dengan kasar. Prasangka buruk kembali berseliweran di dalam benak.

Jam terus berputar, Rinay masih menunggu di ambang pintu.  Pukul dua belas malam, sang ibu memaksanya masuk ke dalam.

Rinay melemparkan tubuhnya di pembaringan. Mencoba menelpon sang suami berkali kali. Namun, ponsel Bagas  tetap tak aktif, chat yang dia kirim lewat aplikasi hijau tetap centang satu. Bagas memblokir nomornya. Rinay mulai menangis, terisak tapi tak bersuara, karena khawatir ibunya murka. Belum lagi kalau sampai dipaksa makan, sedang dia tak selera apa-apa. Wanita ituakhirnya tertidur dalam tangisnya.

*

“Ayo bangun, kamu harus sarapan, Nay! Ayolah, jangan kau tambahi beban pikiran Bapak sama ibu! Kalau kamu sakit, kami yang stress!”  Rusni membujuk Rinay di kamarnya.

Sebulan sudah Bagas menghilang. Tak ada kabar berita sama sekali. Rinay  makin terpuruk karenanya. Tubuhnya kian kurus. Wajah cantiknya memucat kehilangan tenaga.

“Ini yang ibu takutkan dulu! Bagas akan mengingkari janjinya. Benar dugaan ibu, kan? Kamu terlalu percaya sama dia!” sungut Rusni lagi.

“Mas Bagas bukan mengingkari janji, Bu! Dia hanya sedang sangat sibuk! Empat hari yang lalu dia ngirim pesan ke WA-ku, kok. Dia nyuruh sabar. Dia pasti datang.” Rinay  berdusta, dia tetap tak terima kalau orang lain berprasangka buruk tentang suaminya.

“Kalau begitu, kamu jangan seperti orang prustasi begini! Kalau kau memang percaya pada Bagas, ayo, makan! Bangun, Nay!” Rusni menarik lengan putrinya secara paksa.

“Bentar lagi, Bu. Aku masih enggak selera.” Rinay tetap menolak. Selera makannya benar-benar sirna. Sesungguhnya hatinya  juga sangat gundah gulana. Namun, dia tak mau siapapun berprasangka buruk pada suaminya.

“Nay, Bapak udah dapat alamat Bagas di kota!” Terdengar suara ayah Rinay  memasuki kamar.

“Bapak dapat alamatnya? Syukurlah!”  Rinay langsung bangkit dari baringnya. Wajah pucatnya terlihat semringah.

“Bapak dapat di mana?” tanyanya seraya menyenderkan tubuh di bagian kepala tempat tidur.

“Dari Pak Kepala Kampung. Untung beliau masih menyimpan kartu nama Kepala proyek pembangunan jembatan dulu. Ini, coba kau baca! Ini nama ayahnya si Bagas, kan?” Lelaki paruh baya itu menyodorkan sebuah kartu nama.

“Ir. Robinson.  Benar, ini nama papanya Mas Bagas,” seru Rinay begitu gembira.

****

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status