Danu menggigit bibirnya. Bohong jika Danu tidak menyayangi Alana. Bahkan mungkin rasa itu lebih dari sayang. Danu sudah jatuh hati pada Alana saat pertama kali ia melihatnya.
Danu semakin semangat ketika tahu Alana membesarkan anaknya seorang diri. Tanpa ada suami. Hanya Winarti yang membantunya. Alana nampak kuat dan tegar di mata Danu. Sosok Alana yang lembut dan penyayang, juga penuh cinta pada Rehan. Membuat Danu semakin yakin, jika Alana adalah wanita yang sangat tepat untuk hidupnya.
Tetapi sangat disayangkan, dua kali Danu menyatakan cinta pada Alana. Dan dua kali pula ia ditolak. Alasannya tetap sama.
‘Aku masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Jangan terlalu berharap padaku, Danu. Karena aku tidak bisa memberimu kepastian apapun.’ itulah yang selalu Alana katakan saat Danu ingin serius padanya.
Meski sudah ditolak, tak lantas membuat kegigihan Danu untuk mendapatkan hati Alana luntur begitu saja. Ia akan tetap berusaha, hingga wanita itu jatuh hati padanya.
"Ayah?"
Mendengar ucapan Rehan, Danu pun mengangguk membenarkan pertanyaan anak kecil itu.
“Tentu saja. Ayah sayang sama mama kamu. Sama seperti Rehan yang sayang sama Mama Alana.”
“Kalau Ayah juga sayang sama Mama Alana, kenapa Ayah tidak tinggal di sini saja? Kenapa tidak tidur dengan Mama Alana? Aku juga suka tidur dengan Mama,” tanya si kecil Rehan dengan kritis.
Kali ini Danu mengusap tengkuknya. Ia bingung harus menjawab apa. Rehan memang tidak tahu jika hubungan yang terjalin di antara Danu dan Alana hanyalah sebatas teman.
Rehan hanya mengerti kalau ia memanggil Danu dengan sebutan Ayah. Itu artinya ia punya ayah dan ibu. Sama seperti teman-temannya di sekolah.
Tanpa Rehan tahu yang sebenarnya. Jika Danu bukanlah ayah biologisnya. Danu hanyalah seorang dokter yang berhati malaikat.
“Oh iya. Ayah lupa tadi membelikanmu sesuatu di jalan sebelum ke sini,” ucap Danu memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Sebelum Rehan akan bertanya hal yang lebih kritis lagi padanya.
“Yang benar? Ayah beli apa?”
“Cake cokelat.”
“Wah. Aku mauu! Aku mauu!” Rehan berseru senang.
Membuat Danu terkekeh geli melihatnya. “Ya sudah. Ayo cepat keluar. Kita habiskan cake cokelatnya. Kalau Mama Alana tahu pasti dia akan marah.”
Rehan mengangguk dan turun dari tempat tidur Alana, mengikuti langkah Danu yang menuntunnya menuju ruang tamu.
Dua orang yang begitu menyayangi Alana itu tampak bahagia.
Sayangnya, kebahagiaan Danu berakhir kala mendengar penuturan Alana saat selesai makan di restoran.
“Kamu yakin dengan keputusan yang sudah kamu buat ini, Alana?”
Saat ini, hanya ada Danu dan Alana karena Rehan nampak asyik main seluncuran di halaman bersama anak-anak pengunjung lain.
“Iya, Danu. Aku sudah yakin. Aku akan kembali ke Jakarta,” jawab Alana, yakin.
Selama delapan tahun ini Alana memang nghabiskan waktunya di Jogja bersama ibunya demi menghindari Andra dan orang tua lelaki tersebut.
Tapi, gaji di sini tak cukup jika Alana ingin mencari pendidikan terbaik untuk Rehan.
“Tapi kenapa? Rehan sekolah di sini, ‘kan? Anak itu juga sepertinya betah tinggal di Jogja.”
“Temanku yang tinggal di jakarta memberitahuku, kalau ada sebuah perusahaan besar yang sedang membutuhkan seorang sekretaris. Aku pikir, tidak ada salahnya aku mencoba. Jika diterima, aku akan mencari rumah kontrakan dan tinggal di sana. Membawa Rehan dan ibu. Dan Rehan mungkin akan pindah sekolah.”
“Lalu jika kamu tidak diterima? Apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku akan kembali ke sini. Dan mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.”
“Kalau begitu, apa aku terlihat kejam jika seandainya aku mendoakan kamu agar tidak diterima bekerja di sana? Jujur saja, Alana. Aku tidak ingin jauh dari kamu dan Rehan.”
Alana melengkungkan senyum lembutnya mendengar ucapan Danu. Ia lalu menundukan kepala, seraya memainkan jari-jemarinya yang lentik.
“Rehan semakin besar, Danu. Dan kemarin aku baru saja dirumahkan dari pabrik roti tempatku bekerja karena mengalami kebangkrutan. Aku harus pergi untuk tetap bertahan hidup. Aku tidak mau terus menyusahkanmu. Kamu sudah terlalu banyak membantu keluargaku.”
Danu menampilkan raut keberatan di wajahnya.
“Ayolah, Alana. Aku masih bisa membantu biaya hidup kalian. Kalian sudah seperti keluargaku sendiri. Dan Rehan juga sudah seperti anakku,” tawar Danu yang tidak ingin Alana pergi ke Jakarta.
Sayangnya, keputusan Alana sudah tidak bisa diganggu gugat. Wanita itu berkeras akan mencoba peruntungannya di Jakarta. Meski sebenarnya Alana juga tidak tega dengan Danu yang harus berpisah dengan Rehan. Tapi mau bagaimana lagi? Alana dan keluarganya sudah banyak menyusahkan Danu.
“Maaf. Keputusanku benar-benar sudah bulat. Besok, aku akan ke sekolah Rehan untuk mengurus surat pindah sekolahnya. Kamu sudah sangat baik pada aku dan Rehan, Danu. Aku tahu kamu tidak merasa keberatan membantu kami. Tapi aku mohon, jangan tahan kepergian kami. Jika nanti aku diterima bekerja di Jakarta, aku dan Rehan akan sangat senang kalau kamu mau berkunjung ke tempat tinggal kami di sana.”
“Baiklah. Kalau kalian memang harus pergi..” ucap Danu tertahan saat ia menarik napasnya pelan. Lalu Danu kembali menatap Alana.
“Tapi aku hanya mau pesan satu hal. Jaga diri kalian baik-baik selama di Jakarta. Kabari aku kalau kamu sudah dapat rumah sewa di sana. Dan ... jika ada masalah apapun, jangan sungkan untuk memberitahuku.”
Alana tersenyum seraya menganggukan kepalanya.
“Tentu. Aku sangat berterimakasih karena kamu tidak keberatan kami pergi. Kamu memang sahabat yang sangat baik,” ucap Alana yang dibalas Danu dengan senyum miris.
‘Bahkan sampai detik ini pun, kamu masih menganggapku hanya sebatas sahabat, Alana,’ desah Danu dalam hati, 'apakah tidak bisa berubah?'
Tanpa terasa, hari ini Alana, Rehan dan Winarti–ibu kandung Alana telah sampai di Jakarta. Seorang teman Alana yang tinggal di Jakarta, membantu mencari rumah sewa untuk mereka tinggali. “Al, sorry ya. Cuman ada rumah ini yang bisa aku sewakan untuk kamu dan keluarga kamu. Ini sudah harga yang paling murah. Tapi letaknya tak terlalu jauh ke kantor.” Virny berkata sambil membukakan pintu rumah untuk Alana. Alana dan keluarganya melangkah masuk. Dan melihat sekeliling ruangan yang ada di rumah itu. “Tidak apa-apa, Vir. Rumah ini sudah cukup untuk kami. Terimakasih sudah membantuku mencari rumah sewa. Maaf sudah banyak merepotkanmu,” ujar Alana dengan raut tidak enak. Sementara Rehan sudah diajak oleh Winarti untuk masuk ke dalam kamar. Membereskan baju-baju mereka ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. “Kamu ini seperti bicara dengan siapa saja. Aku ini ‘kan temanmu. Sudah pasti akan membantu saat kamu perlu bantuan. Oh iya, besok datang ke kantornya jam sembilan pagi ya.
Pantas saja Alana tak asing saat mendengar suaranya. Di sisi lain, Andra tersenyum menyeringai. "Wah, ternyata kamu masih ingat namaku," kata Andra pura-pura antusias. "Apa kabar, mantan istri?" lanjutnya lagi.Alana sendiri masih mencoba menormalkan detak jantungnya. Saat ini ia melihat sosok Andra yang terlihat berbeda di hadapannya. Tatapannya tak lagi selembut dulu. Tentu saja! Bukankah Alana sudah meninggalkannya? Maka wajar saat Alana kini hanya bisa melihat tatapan benci dan penuh hinaan yang dilayangkan oleh Andra padanya. "Kenapa kamu diam saja, Alana? Apa kamu terkejut melihatku yang ternyata adalah boss mu saat ini? Heum?" Andra bangkit dari duduknya. Kaki panjangnya melangkah mendekati Alana. Hati Alana merasa bahagia, saat ia melihat pada kedua kaki Andra yang sudah bisa berjalan dengan baik. Tapi Andra mendengus menyadari Alana menatap pada kakinya. "Kenapa dengan kakiku, Alana? Kamu heran ternyata aku tidak lumpuh? Kamu terkejut melihatku bisa berdiri da
Sekeluarnya dari perusahaan Andra, Alana berlari sambil mengusap air matanya. Ucapan Andra begitu tajam, seperti sebilah pisau yang siap menusuk dadanya. Semua hinaan, tuduhan, serta sikap ketus Andra padanya, telah mematahkan hati Alana. Laki-laki itu sungguh menjelma menjadi sosok Andra yang berbeda. Alana tak lagi kenal dengan perangainya. Begitu naik ke dalam minibus, segera Alana duduk menyandarkan punggungnya di kursi yang kosong. Air mata kembali meluruh selaras dengan relung hatinya yang terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. 'Kamu tidak tahu apapun, Ndra. Kamu tidak tahu apapun. Yang kamu tahu, hanya setiap kebohongan yang diumbar oleh kedua orang tua kamu tentang aku. Mereka berdua yang memaksaku pergi. Mereka lah yang paling berperan atas luka yang kamu derita delapan tahun yang lalu,' desah Alana dalam batinnya. Manik matanya berlari keluar jendela, menatap pada jalanan yang tampak sedikit lenggang. Kaca minibus sedikit terbuka, membuat rambut Alana yan
Alana tersenyum miris.Laki-laki itu ternyata sudah kembali menjatuhkan hati pada wanita lain dan melupakan pernikahan mereka. Dengan berusaha tetap tenang, Alana berbalik dan melangkah menuju tempat dimana Andra masih memangku wanita itu dengan mesra. Maka dengan cepat Alana memilih keluar dari ruangan itu. Sedikit berlari, lantas menutup pintunya dengan segera. BRAK! Kini Alana mempercepat larinya. Ia tak bisa lagi menahan tangis. Alana butuh ruangan yang senyap untuk menumpahkan isakannya. Kakinya yang ramping berhenti di sebuah kamar kecil khusus karyawan. Alana mematut dirinya pada sebuah cermin besar yang memantulkan bayanganya sendiri. "Ya Tuhan! Rasanya hatiku sakit melihat Andra bercumbu dengan wanita lain. Aku tahu dia sudah bukan suamiku. Tapi rasa cinta di hatiku masih tetap sama. Aku masih mencintainya sebesar dulu." Alana mendesah sambil menangis di depan cermin. Air mata sudah meluruh membasahi kedua belah pipinya yang seputih pualam. Hari ini, Andra betu
Tak terasa, jam kantor sudah habis. Alana kini menunggu sebuah taksi di pinggir jalan. Namun jam sembilan malam begini, angkutan umum sudah tidak ada. Terpaksa Alana harus merogoh kocek lebih agar bisa pulang menggunakan taksi. Namun, lagi-lagi tak ada!Sementara itu, Andra yang baru akan pulang dengan mobilnya, menaikkan sebelah alis saat mendapati tubuh ramping Alana hanya berdiri resah di samping jalan. "Kenapa dia belum pulang? Pasti dia sedang menunggu taksi. Ah! Untuk apa aku peduli! Terserah, mau dia berdiri selama berjam-jam pun di sana. Itu bukan lagi urusanku!" ujar Andra sambil mengangkat dagunya. Ia lalu kembali menjalankan mobil, mencoba tak peduli terhadap Alana yang dilewatinya begitu saja. Tentu saja melihat mobil Andra yang berlalu di hadapannya membuat hati Alana sakit. Alana menunduk saat langit mulai muram dan menjatuhkan titik-titik airnya yang menderas. "Aku lupa kalau saat ini kamu sudah menjadi orang asing, Ndra. Seharusnya aku sadar dengan siapa
"Pasti Sherly 'kan yang sudah memberitahu Mama tentang Alana yang bekerja di perusahaanku?" tebak Andra. Tapi, Nita mengibaskan sebelah tangannya di udara. "Tidak penting Mama tahu dari siapa. Yang penting sekarang adalah kamu harus tendang dia dari perusahaan! Titik!" tegas Nita tak mau ada tawar-menawar. Andra hanya mengusap wajah. Lalu menggeleng sebagai jawaban. "Maaf, Ma. Aku tidak akan memecat Alana dari kantor." Bola mata Nita membeliak mendengar ucapan Andra. "Kenapa, Ndra? Kenapa kamu tidak bisa?" tuntut Nita penuh tanya. "Karena aku sendiri yang sengaja mempekerjakan Alana. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengannya yang sudah menorehkan banyak luka dalam hidupku. Aku ingin membalas rasa sakit yang kualami delapan tahun yang lalu. Setelah aku puas, maka aku berjanji pada Mama, kalau aku akan memecatnya. Dan menendangnya keluar dari perusahaan seperti yang Mama minta," jelas Andra sedikit berbisik sambil menekankan suaranya. Mulut Nita terbuka, tampak raut te
"Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah. Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini. Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar. Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor. "Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan. Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer. Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Ala
“Danu!” pekik Alana. Dia terkejut melihat Danu yang telah berada di rumahnya. “Kapan kamu datang?” tanyanya lagi. Mendengar itu, Danu tersenyum sembari mengusap tengkuknya. Ia memang sengaja ingin membuat kejutan untuk Alana dan Rehan. Makanya datang tanpa ingin memberitahu. “Aku baru datang jam enam sore tadi. Aku memang sengaja, Alana. Aku ingin memberikan kejutan untuk Rehan. Aku sudah sangat merindukan bocah laki-lakiku ini. Dan sekarang aku senang bisa bertemu dengannya,” sahut Danu yang mengusap pelan rambut Rehan yang hitam legam. “Kamu habis lembur, Alana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Danu dan Alana menjawab dengan anggukan pelan. “Ya. Aku habis lembur. Pekerjaanku di kantor sangat menumpuk, makanya harus segera diselesaikan malam ini juga,” jawab Alana. “Aku pikir Rehan sudah tidur. Tapi ternyata dia masih asyik bermain denganmu. Tapi tidak baik membiarkannya tidur terlalu larut, Danu. Rehan harus sekolah besok pagi.” Danu segera menepuk keningnya setelah mendeng