‘Ya Tuhan, ada dia.’
Tak tahu harus berbuat apa, Raya hanya diam berdiri di depan pintu ruang ganti karena terkejut melihat Andro sudah berada dalam kamar mereka, sampai Andro memanggilnya untuk mendekat dengan menepuk sofa di sampingnya.
“Kemarilah.”
Meski ragu, Raya tetap berjalan mendekat sambil meremas-remas tangannya di depan perutnya. Kemudian duduk dengan patuh di sofa yang baru saja di tepuk oleh Andro.
Beberapa detik awal. Andro hanya diam mengawasi Raya dari ujung kepala hingga kaki, yang diawasi, hatinya sudah mulai berlarian tak karuan. Antara takut, malu dan bingung. Membuat Raya serba salah.
Tatapan Andro berakhir pada paras polos tanpa riasan Raya, tapi menurut Andro ini justru sangat menarik, terlihat cantik natural dan imut.
Namun setelah mengamati, hal terbesar yang ada dalam benak Andro adalah rasa penasaran karena sepertinya, wajah Raya tidak asing baginya.
“Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” nada suara Andro diselimuti aura dingin.
“Ah?” Raya terkejut dengan pertanyaan Andro yang tiba-tiba. Dia bingung. “Bertemu?”
Setelah sejenak berpikir apakah benar mereka pernah bertemu, Raya lalu menggelengkan kepalanya dengan ragu, merasa tidak pernah bertemu Andro.
Raya tahu, pria setampan dan sekaya Andro, meskipun keadaannya kurang sempurna, pasti banyak wanita diluar sana yang mengantri untuk sekedar jadi pemanis ranjang baginya. Jadi wajar kalau salah satu wanita Andro ada yang mirip dengan dirinya.
“Tunggu!”
Andro menginstruksi dengan tegas seperti menemukan sesuatu, mengagetkan Raya lagi dan semakin membuat Raya takut karena Andro mulai mendekat, sambil melebarkan matanya menatap wajah Raya.
“Coba mendekat lagi!” Andro berkata sambil meraih bahu Raya, merasa kurang dekat.
“Akh,” tarikan Andro pada bahunya membuat Raya meringis kesakitan, rupanya Raya baru menyadari kalau bekas sodokan Yarina pada bahunya masih terasa sakit ketika dipegang.
“Ada apa?” Tanya Andro bingung, melihat Raya kesakitan.
“Tidak,” Raya menggelengkan kepalanya sambil memegangi bahunya.
Krek!
Tanpa berkata dan aba-aba, andro merobek bagian bahu baju pengantin yang masih melekat di tubuh Raya.
“Ah? Apa yang kamu lakukan?” Raya bereaksi, segera menutupi bahu telan*angnya.
Andro segera menyingkirkan tangan Raya. Dari depan, Andro tak melihat apa-apa. Namun tak putus asa, Andro segera mengecek ke belakang bahu Raya.
Benar saja, ada bekas memar yang hitam menguning di belakang bahunya.
“Memar yang sama dengan di kedua pipimu.” Ucap Andro.
Setelah Andro menyinggung pipi, barulah Raya sadar kalau dia sudah menghapus riasannya dan membuat memar bekas cengkraman Yarina di pipinya terlihat meski sudah memudar dari warna ungu menjadi coklat kekuningan. Tapi apa pentingnya itu semua bagi Andro? Itu yang menjadi pertanyaan di hati Raya.
“Istirahatlah lebih dulu, ganti bajumu, pilih pakaian di lemari. Aku akan kembali nanti.” Tegas Andro pada Raya.
***
Di ruang kerjanya, tepatnya di sebelah kamar mereka. Andro sudah memanggil Hans untuk menghadapnya.
Di balik meja kerja tanpa kursi, Andro diatas kursi rodanya menatap ke arah Hans yang berdiri di depannya.
“Sekretaris Hans.”
“Ya Tuan Muda,” jawab sekretaris Hans dengan sikap tegap.
“Tolong carikan aku data masa lalu istriku, pastikan tidak ada yang terlewat. Detail, sampai hal terkecil termasuk makanan dan minuman kesukaannya, tempat favoritnya, riwayat kesehatannya, juga siapa saja laki-laki yang pernah dekat dengannya.”
“Baik Tuan Muda.”
Kemudian, Andro terdiam cukup lama.
Sekretaris Hans sudah paham luar dalam pada sifat tuan mudanya ini, jeda saat memberi perintah satu dengan perintah lainnya selalu lumayan lama, jadi dirinya harus berdiri cukup lama untuk sabar menunggu sampai tuan mudanya berkata “selesai”.
Banyak orang mengira itu kerena tuan mudanya lambat berpikir. Padahal sekretaris Hans tau betul jika semua itu merupakan sebab dari sifat kehati-hatian dan perfeksionis Andro, ia tak mau bertindak gegabah maupun melakukan sedikit saja kesalahan dalam memutuskan apapun. Tenang, tegas dan penuh integritas.
Andro mengambil pena yang tertancap di atas meja pada tempatnya lalu memainkannya, memutarnya dengan jari-jarinya. Menatap kosong pada satu sudut. Ia berpikir, ‘Aku benar-benar penasaran, apa benar aku pernah bertemu dengannya sebelum ini. Wajah itu sangat familiar, bahkan ada rasa haru saat aku menatapnya. Rayana Lazuardi. Siapa dia…’
“Oh ya. Satu lagi hal yang terpenting.” Imbuh Andro pada sekretaris Hans.
Sekretaris Hans mengangguk.
Masih sambil memainkan pena dengan jari-jarinya, Andro berdiri dari kursi rodanya. Melangkah ke depan mejanya dan mendudukkan sebagian pantatnya di meja tersebut.
“Aku melihat bekas memar di pipi juga di bahu istriku. Selidiki apa yang terjadi padanya!”
“Siap Tuan.” Sekretaris Hans mengangguk lagi.
“Sepertinya itu semua dilakukan seseorang dengan sengaja.” Ucap Andro lagi, “usut sampai tuntas, siapa yang berani-beraninya menyakiti istriku.” Andro menancapkan pena pada tempatnya dengan kasar. “Dia adalah harga diriku, menghinanya sama artinya dengan menghinaku, sakit hatinya adalah amarahku.”
Sekretaris Hans mengangguk tegas. Namun dalam hatinya, ia memiliki keheranan tersendiri pada sikap tuannya. Akankah tuan muda sudah benar-benar jatuh cinta pada gadis ini?
Apa gunung es yang bisa mengaramkan kapal Titanic di hati tuan muda sudah meleleh karena gadis yang baru beberapa jam lalu dinikahinya?
Pasalnya, selama ini antipati Andro pada wanita hampir menyebabkan rumor penyuka sesama jenis menempel padanya, itu salah satu sebab keluarga Prakarsa mendesak Andro untuk segera menikah dengan menagih hutang perjodohan pada keluarga Lazuardi. Meskipun Andro juga memiliki alasannya sendiri kenapa mau menerima pernikahan ini.
Di kamar, Raya sedang berdiri membeku di depan lemari baju yang terbuka. Andro menyuruhnya memilih baju dan berganti pakaian, tapi semua baju di lemari ini membuatnya tak bisa berkata-kata, “Baju kain jaring ikan dan kurang bahan semua?” keluhnya sambil menghembuskan napas kasar. Raya berjongkok, bingung apakah dirinya benar-benar harus memakai baju yang semuanya berbahan satin tipis dengan tali spaghetti dan renda-renda di bagian dadanya, dia tidak biasa. Apalagi jika membayangkan siapa yang akan melihat dirinya memakai baju ini. “Koperku…” rengeknya. Ketika ini, suara ketukan di pintu membuatnya terbangun dari kegundahan. Terperanjat panik, takut kalau-kalau Andro yang mengetuk pintu. Sejenak menenangkan diri, Raya akhirnya sadar, “Tadi dia masuk tidak mengetuk pintu, lagi pula pintu kamar tidak ku kunci. Pasti bukan…” Raya segera bangun dari jongkoknya dan bergegas membuka pintu. “Selamat malam Nona.” Sapa seorang wanita di depan pintu yang penampilannya terlihat formal. Ray
Raya tidak juga bisa memejamkan matanya, di terduduk lagi diatas tempat tidurnya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Sepertinya dia tidak bisa tidur karena merasa lapar, dia pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah melewati tangga. “Apa yang bisa aku makan?” “Nona muda?” “Ah? Jeta, kamu mengagetkanku.” “Kenapa turun, apa anda butuh sesuatu?” “Aku haus…” Jawab Raya dengan suara lirih. “Ada lemari es di kamar anda, Nona.” Raya hanya menggelengkan kepalanya. Dia tahu ada lemari es di kamar, tapi mana mungkin dia berani sembarangan menyentuh barang-barang di dalam kamar yang baru sehari dia tinggali. “Sebaiknya anda memanggil saya jika butuh sesuatu, Nona.” “Sebenarnya aku lapar, Jeta.” “Apa yang ingin anda makan?” “Ada mie instan?” “Tidak boleh ada mie instan di rumah ini, jika anda mau saya bisa membuatkan spaghetti.” “Tidak, tidak perlu,” ucap Raya menahan Jeta melakukannya. “Roti saja kalau ada.” “Baik.” Raya menerima sepotong roti tuna pedas yang
Andro membuka pintu kamarnya, mendapati Raya sudah pulas dalam posisi terlentang dengan jubah tidur tipisnya yang terangkat hampir mencapai pangkal paha. Dia pun panik. Setelah beberapa saat menenangkan diri, Andro berpikir, ‘Oma mau segera punya cicit, mungkin akan lebih baik kalau aku melakukannya saat dia tertidur.’ Malam ini, akan menjadi pertama kalinya bagi Andro menyentuh seorang wanita, untuk mengurangi rasa gugup, ia mematikan seluruh lampu kamarnya hingga ruangan itu hanya diterangi sorotan lampu yang menyelinap dari luar balik tirai jendela kamar. Andro mulai dengan menyibak jubah Raya semakin lebar hingga hampir terlepas. Kemudian perlahan meraba bagian paha Raya yang dibalut dengan dress satin. Perlahan membawanya naik seirama tangan milik Andro. Namun tiba-tiba tangan Andro berhenti, “Ya Tuhan…” gemingnya. Merasakan naluri kelaki-lakiannya, tanpa sadar jantungnya berdegup kencang, ia tak kuasa menahan degupan itu. Sebenarnya Andro sendiri tidak tahu harus berbuat apa
Paginya, Andro terbangun lebih dulu, mendapati Raya masih tertidur di sampingnya tanpa selimut, juga masih dalam balutan pakaian yang sama. Melihat pemandangan itu Andro menyeringai kesal. Dengan gerakan cepat, dia menutupi tubuh Raya dengan selimut hingga ke ujung kepala. Hari ini jadwal Andro cukup padat, pagi-pagi sekali dia sudah harus menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh pamannya, Ayah dari Prabu. Sebelum ke kamar mandi, Andro terdiam sebentar, memikirkan rencana yang dia susun untuk Raya. Terpikirkan sesuatu, Andro membuka laptopnya. Mulai menyusun daftar apa saja yang harus Raya lakukan sebagai seorang istri. Andro menelpon sekretaris Hans. “Halo, Sekretaris Hans. Cek em*il mu, Aku baru saja mengirimkan berkas padamu, koreksi setiap katanya kemudian cetak!” “Baik Tuan Muda. Sekedar mengingatkan, satu jam lagi anda harus menghadiri pertemuan Pak Mirza.” “Ya, aku ingat.” Sambungan telepon terputus. *** Sekitar pukul 9 Raya terbangun karena sorot matahari yang menyelina
Sudah hampir jam makan siang. Oma dan Raya juga baru meneylesaikan kegiatan senam mereka. Oma berkata pada Raya, kalau untuk hari ini, sementara Raya mengikuti senam lansia yang rutin dilakukan Oma bersama instrukturnya saja sebelum instruktur aerobic Raya datang melatihnya mulai lusa. “Ria, kembalilah ke kamarmu dan segera mandi. Oma tunggu kamu di ruang makan. Kita makan siang sama-sama, oke!” Raya mengangguk patuh dan tidak mempermasalahkan lagi tentang Oma yang selalu salah memanggil namanya. Maklum, lidah tua. Mungkin nama Raya terlalu sulit diucapkan baginya. Lagi pula panggilan Ria terdengar lebih baik di telinganya dari pada panggilan “si anak dari rahim hina” yang disematkan oleh keluarganya. Saat sedang mandi dikamarnya, Raya mendengar pintu kamar mandi diketuk dari luar. “Ya…” Raya menyahut. “BIsa lebih cepat, Oma sudah menunggu.” Andro? Dia pulang untuk makan siang? Kenapa Jeta atau siapapun tidak ada yang memberitahuku. “Iya, sebentar lagi aku selesai.” “Apa saja
Raya tersentak, mengerjapkan matanya. Dia seperti bermimpi mendengar orang berteriak memenaggilnya. Rasa kantuk masih menguasai pelupuk mata itu setelah melalui hari ini yang cukup melelahkan. “Hoam,” dia menguap lebar, menggelengkan kepalanya berulang, mencoba menyadarkan diri. Duduk bersandar pada headboard tempat tidur. “Nona muda!” Panggilan nyaring itu muncul dari balik pintu kamarnya, disusul dengan suara ketukan. “Nona muda!” Saat dirinya kembali dipanggil, Raya memaksakan menyeret tubuhnya, membuka pintu. Melihat Pak Sam berdiri disana. “Maaf sudah mengganggu tidur anda selarut ini, Nona.” Pak Sam menundukkan kepalanya. “Ada apa Pak Sam?” Raya masih setengah sadar, bicara dalam kebingungan sambil menguap berulang-ulang. “Tuan muda sudah pulang. Lima menit lagi akan sampai,” ucap Pak Sam. “Hah? Lalu?” Lalu kenapa kalau dia pulang? Raya berpikir sejenak. “Astaga!” Dia terperanjat. Apa aku harus menyambutnya pulang seperti dalam daftar aturan? Memangnya sudah berlaku
05:30, Raya sudah bangun seperti saat dirinya masih tinggal di rumah kelaurga Lazuardi. Di dapur hanya ada para pelayan yang sibuk mempersiapkan makanan. Di setiap sudut rumah besar ini, dia juga melihat pelayan sedang beberes rumah. Sepertinya penghuni rumah ini bnayak juga, gumamnya sambil melangkah memasuki dapur. “Selamat pagi, Nona Muda,” sapa Pak Sam. “Selamat pagi Pak Sam.” Raya tersenyum, “Apa yang bisa saya bantu di dapur, Pak Sam?” Pak Sam terkejut mendengar pertanyaan Raya, bgaiamana bisa seorang nona muda mau membantu urusan dapur, sedangkan sudah banyak pelayan yang menangani itu semua. “Memang apa yang mau Nona lakukan di dapur, kita sudah punya koki profesional untuk melakukan itu semua, Nona.” “Begitukah?” “Iya, Nona. Sebaiknya anda kembali ke kamar. Saya akan mengantarkan teh hangat kalau anda mau, sembari menunggu waktu sarapan.” “Tidak perlu repot. Baiklah kalau begitu Pak Sam, akju kembali ke kamar saja.” Raya berbalik melangkahkan kakinya. Ketika tidak
“Raya, mana dasinya?”Inilah yang harus dilakukan Raya sekarang, mempersiapkan segala keperluan Andro ke kantor.Raya menyerahkan sehelai dasi pada Andro.“Warnanya tidak matching,” keluh Andro.“Tapi ini sama dengan warna kemejanya, hitam.”“Dasinya tidak akan terlihat.”Raya kembali ke lemari pakaian, mengambil dasi lain.“Pasangkan!” Andro menunjuk lehernya.Raya enggan memulai, karena dia tidak biasa memasang dasi di leher orang lain. Dia biasa memasang dasi di lehernya sendiri saat masih bersekolah dulu.“Cepat lakukan!”Dengan ragu, Raya melingkarkan dasi di leher Andro, karena Andro duduk di kursi roda, Raya jadi tak perlu susah payah untuk meraih lehernya. Bayangkan kalau laki-laki ini bisa berdiri dengan tingginya yang mencapai 187 sentimeter, sedangkan Raya hanya setinggi 165 senti meter. “Brgini?” Tanya Raya.“Terbalik.”“Seperti ini?”Andro tak melepaskan tatapan matanya dari wajah Raya, dia tidak terlalu cantik. Tapi entah mengapa dia sangat menarik untuk dilihat.“Oke, g