"Brani-braninya kamu menyiksa putri saya! Membuat tekad saya sudah bulat untuk berpisah saja dari kamu!" Bagus datang dengan kilatan murka, pria paruh baya itu begitu marah melihat keadaan sang putri. "Lea, mana yang sakit, Sayang." Leana terisak sembari memeluk ayahnya begitu kencang. Sedangkan Rosita semakin berang karena Leana semuanya menjadi kacau."Selalu saja, dari dulu kamu mengutamakan Leana dalam segala hal. Bahkan lebih dari istrimu sendiri!" teriak Rosita dengan air mata yang berderai."Bahkan kamu ingin cerai gara-gara aku mukul anak kesayanganmu ini! Tidakkah kamu pikir jika Sasmita dan Arsen akan terluka jika melihat perceraian kedua orang tuanya?" "Kalau berpisah lebih baik, aku mendukung keputusan, Ayah. Dan tidakkah Ibu juga berpikir jika selama ini yang Ibu utamakan hanya, Sasmita? Bahkan disaat kak Lea sudah mengorbankan segalanya, Ibu tetap bersikap ketus padanya." Arsen menelan ludah susah payah, menatap ibunya kecewa."Dulu aku sering melihat kak Lea menangis ten
"Zelina, kenapa tidak bersama Vano, Sayang?" Zelina tersenyum lembut, lalu memeluk Sania pelan. "Vano tidak balas pesan aku, Tante. Jadinya aku ke sini sendiri." Sania bedecak, dia menuntun Zelina untuk duduk di sofa. "Anak Tante itu benar-benar, padahal ada acara keluaraga seperti ini. Bisa-bisanya dia acuh tak acuh, kebiasaan sekali memang. Nanti tante jewer kalau dia sudah datang." Zelina tertawa kecil. "Oh, iya. Tante, aku bawa brownies, kebetulan ada resep baru, jadi aku coba-coba deh." Sania berbinar kala melihat beberapa box brownies yang Zelina sodorkan."Astaga! Apa yang tidak kamu bisa lakukan, sih, Sayang? Mingggu depan kita masak bareng, yuk?" Seketika raut wajah Zelina berubah sendu, dia menatap Sania dengan pandangan bersalah. "Maaf, Tante. Untuk kedepannya aku ada pemotretan di luar kota. Atau gini aja, aku langsung ke sini setelah pulang. Bagaimana?" Bukannya menjawab, Sania justru memeluk Zelina erat. "Tidak apa-apa, Sayang. Bisa kapan-kapan. Andai Tante punya ana
Leana mengikuti langkah Elvano dalam diam, perempuan itu sama sekali tak membuka suara. Membuat Elvano sedikit bingung akan perubahan sikapnya. "Kamu langsung ke dalam saja, ada Mama sama Zelina. Saya menemui Papa dulu." Leana mengangguk singakat, lalu melangkah ke arah ruang tamu. "Mbak Leana!" Leana menoleh ke arah sumber suara, terlihat gadis cantik yang sedang tersenyum ke arahnya. "Maaf, kamu mengenal saya?" tanya Leana pelan. "Iya, Mbak, kebetulan Ibu ngasih tau kalau Mbak Leana akan datang ke sini." Leana terlihat masih bingung, membuat gadis cantik itu terkekeh pelan. "Saya Mera, anak dari Mbok Sumi" Leana terkesip, lalu menatap penampilan gadis muda di hadapannya. Tidak mungkin, bukan. Gadis manis ini bekerja di sini, dia terlihat masih remaja. "Maaf, saya tidak tahu," balas Leana canggung. "Tidak apa-apa, Mbak. Kita juga tidak pernah bertemu, karena waktu Mbak menikah saya sedang ujian sekolah." "Kamu kelas berapa?" tanya Leana refleks."Saya baru kelas sebelas, Mbak."
Setelah pembahasan mengenai anak saat mereka makan malam tadi, Leana menjadi lebih pendiam. "Jangan terlalu dipikirkan mengenai ucapan, Tante Denis,"kata Elvano pelan, "jika nanti kita kumpul keluarga lagi, dan kamu tetap diam tak membalas semua orang yang menyudutkanmu. Saya tidak akan membela kamu lagi." Leana terpaku, lalu menatap Elvano dengan tatapan tak terbaca."Hidup ini keras, Leana, Jika kamu tidak mampu berdiri di kaki kamu sendiri. Orang-orang akan dengan bebas menginjak harga dirimu." Elvano melanjutkan kalimatnya kala melihat Leana yang tetap bungkam."Terima kasih, Mas Elvano," Leana berujar lirih setelah lama terdiam, perempuan itu menghembuskan nafas pelan, dia tersenyum menatap Elvano yang sedang mengemudikan kendaraannya dengan tenang. "Terima kasih sudah membela saya malam ini, untuk kedepannya saya akan menghadapinya sendiri." Elvano mengangguk singkat. "Bagus, memang seharusnya seperti itu." Elvano membelokan mobilnya, dari kejauhan terlihat gerbang menjulang ti
Leana melangkahkan kakinya secara perlahan, suasana rumah tampak sepi. Maklum saja karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rapat yang dia duga hanya beberapa jam saja ternyata menyita banyak waktu, karena perdebatan yang sangat alot. Serta harus mendiskusikan berbagai hal, alhasil dia baru sampai rumah.Leana tersetak kaget kala melihat Elvano yang bersedekap dada di ujung tangga. "Maaf, saya kira bukan, Mas Elvano." Elvano terdiam, aura di sekelilingnya tampak mencekam, jangan lupakan ekspresi wajahnya yang tak bersahabat. "Pulang jam berapa ini, Leana?" Leana tertegun mendegar nada dingin itu. "Ja-jam sembilan, Mas," jawab Leana pelan, dia meremas tangannya pertanda gugup. "Bukankah saya pernah memberi tahu kamu mengenai peraturan di rumah ini, ingat Leana—jangan pernah melampaui batas," balas Elvano dengan raut dingin tak tersentuh. Setelahnya pria itu melenggang pergi, meninggalkan Leana yang masih terpaku. Padahal Elvano sendiri yang mengatakan jangan mencampuri u
Sepulangnya dari kantor, Leana dengan cepat menju ke rumahnya. Mengetuk pintu pelan, sembari menaruh barang-barang belanjaannya di depan pintu. "Kak Lea," ucap Arsen dan langsung memeluk singkat Kakak perempuannya itu. "Ayah sama ibu di dalam, 'kan?" Leana berujar lembut. "Ada Kak, Kebetulan lagi duduk di ruang tamu." Leana tersenyum singkat sebagai respon, tetapi atensinya terus mengamati wajah Arsen. Membuat lelaki remaja itu mengalihkan pandangannya. "Mata kamu sembab, kamu baik-baik aja?" tanya Leana seraya mengusap surai adiknya, sedangkan Arsen hanya mengangguk pelan. "Ayo Kak, udah ditunggu sama Ayah dan Ibu." Arsen mengambil tiga buah kantong plastik yang Leana bawa, lalu tangan yang satunya menuntun sang kakak ke dalam. "Lea, kamu sudah datang?" Bagus menghampiri putrinya dan mengecup singkat kening Leana. "Iya, Ayah." Leana mencium punggung tangan sang ayah, dan beralih mencium punggung tangan ibunya. Walaupun sempat ada penolakan dari wanita paruh baya itu. "Ayo du
Leana mengatur nafasnya perlahan, setelah menerima telepon dari Sania, perempuan itu bergegas pamit kepada keluarganya. Karena tak ingin membuat mama mertuanya semakin murka. "Bu Leana." Leana lagsung menoleh ke sumber suara, terlihat mbok Sumi yang sedang memegang bak kecil berisi air, yang Leana yankini bekas mengompres Elvano. "Malam, Mbok." Mbok Sumi tersenyum sebagai respon. "Bu Leana suka sekali lari -larian, apakah ada sesuatu yang urgent?" tanya mbok Sumi diselingi candaan ringan. "Mau cek keadaannya Mas Elvano, Mbok." Mbok Sumi terdiam sejenak, sebelum membuka suara. "Kebetulan ada Ibu Sania di kamar, Pak Elvano." Leana semakin meremas kedua tangannya. "Baik, Mbok. Saya ke atas dulu, ya." Mbok Sumi mengangguk ringan, lalu melangkah menuju dapur. Leana menghembuskan nafas berat, kali ini dia akan kembali menebalkan rasa sabarnya. Karena pasti Sania akan menyalahkannya. Terlepas dari rasa kesalnya yang masih menumpuk pada Elvano, dan mau seperti apapun Leana menjelaskan j
Pagi harinya, Leana beraktifitas seperti biasa. Karena ini hari minggu, perempuan itu sudah berada di dapur. Mempersiapkan sarapan untuk Elvano dan juga mama mertuanya. "Astaga, saya kira siapa!" Mbok Sumi memegang dadanya, dan Leana hanya tersenyum simpul melihat mbok Sumi serta beberapa asisten rumah tangganya."Pagi semuanya, maaf mengejutkan kalian. Untuk seharian ini saya yang akan menyiapkan menu makanan. Jadi, Mbok Sumi sama yang lainnya bisa kerjakan pekerjaan rumah yang lain." "Pagi, Bu Leana. Baik, Bu. Tetapi apakah tidak apa-apa?" Mbok Sumi kembali memastikan. Leana tersenyum tipis sembari menggeleng pelan. "Kalau begitu kami permisi, Bu." Melihat anggukan singkat dari sang majikan, mbok Sumi serta beberapa asisiten rumah tangga yang lainnya langsung bergegas pergi. Sedangkan Leana kembali fokus pada hidangan yang dibuatanya. "Lagi apa?" "Eh!" Leana tersentak kaget dan langsung menoleh ke belakang punggunya, terlihat Elvano yang sedang bersedekap dengan wajah bantalnya