HOHOHO Gimana part ini??
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
"Mas Elvano, tolong pelan-pelan jalannya, saya kesusahan membawa koper ini." Pria itu bungkam, membuat Leana mengatupkan bibir. Setelah pulang dari kantor urusan agama, Elvano memang langsung menuju ke kediaman utamanya, Leana yang tak tahu apa-apa hanya pasrah mengikuti sang suami. Tidak ada yang namanya resepsi pernikahan atau pesta besar-besaran, karena mereka menikah di KUA. Dan itu pun hanya keluarga inti serta teman terdekat saja yang mengetahuinya. "Kamar kamu ada di ujung, sedangkan kamar utama saya yang tempati. Jika butuh apa-apa bisa langsung hubungi, Mbok Sumi." Leana mengangguk paham, sedangkan Elvano dengan cepat membuka pintu kamarnya. Dan meninggalkan Leana yang masih mematung di tempatnya. "Oke Lea, ini baru awal. Semangat! Demi adik dan kedua orang tuamu, okay!" Setelahnya Leana berjalan dengan santai menuju kamarnya. Perempuan itu menyeret kopernya dengan sedikit kesusahan, apalagi roda kopernya yang tinggal dua buah. Membuat Leana mengeluarkan tenaga ekstra. S
Leana mematung mendengar pernyataan dari Elvano, apakah dirinya sebegitu tak layak untuk dicintai? “Saya paham,” lirih perempuan itu menunduk, membuat Elvano mengeluarkan smirknya. Dia pun menegakkan kembali tubuhnya seraya melangkah ke arah pintu utama. Tanpa repot-repot berpamitan kepada sang istri. Sedangkan Leana hanya terdiam, menatap punggung Elvano yang sudah menjauh. Katakanlah jika Leana terlalu percaya diri mengatakan hal seperti itu kepada Elvano, tetapi tidak ada yang salah, bukan? Takdir tidak ada yang tahu, bisa jadi orang yang kamu anggap tak berarti saat ini, akan menjadi pusat duniamu suatu hari nanti. Leana mengalihkan atensinya pada jam dinding yang terdapat di sudut ruangan, yang menunjukkan pukul satu dini hari. Leana tak tahu jam kerja seorang dokter, tetapi apakah semua dokter harus berangkat kerja dini hari seperti ini? Perempuan itu menghembuskan nafas pelan, dia yakin hari-hari kedepannya akan lebih berat lagi."Bu Leana." Leana terlonjak kaget saat menden
"Selamat pagi, Dokter Elvano." Elvano yang mendapat sapaan itu hanya mengangguk kecil seraya terus melangkah menuju ruangannya. Elvano tampak sekali sedang menahan kantuk, mengingat dia baru selesai mengoprasi pasien gagal jantung hingga pukul enam pagi. "Dokter Elvano memang tiada duanya ya, beruntung sekali perempuan yang akan mendampinginya nanti," celetuk salah satu perawat setelah melihat Elvano menjauh."Bukannya dia sudah mempunyai tunangan? Kalau tidak salah namnya Sasmita Alera, itu lho ... desainer muda yang cantikanya tiada tara itu," timpal perawat yang ber−name tag, Sita. "Hus! Gosip saja kalian pagi-pagi. Nanti kalau didengar sama Dokter Elvano bisa gawat. Ayo kembali bekerja!" Di sisi lain, Elvano sudah sampai di ruangannya. Pria itu hanya melirik singkat ke arah perempuan yang sedang duduk di kursi kerjanya. "Van, aku sudah nunggu kamu dari tadi. Ternyata baru balik, ya? Gimana oprasinya, lancar?""Lancar, kamu bisa menunggu di ruang tamu. Jangan langsung masuk ke r
"Ma−mas Elvano ...."Elvano tersentak, dan langsung melepaskan perempuan yang ada di pelukannya, pria itu melangkah mundur dan menatap datar Leana. "Aduh ... maaf, ya. Aku tadi kesandung, untung ada Vano yang langsung nolongin." Perempuan cantik itu tersenyum canggung. "Oh, iya. Kamu Leana, 'kan? Kenalin, aku Zelina sahabat Vano yang paling cantik!" Leana tersenyum kikuk seraya menerima uluran tangan perempuan di hadapannya. "Leana," balasnya singkat. "Kemarin pas nikahan kalian aku tidak bisa datang. Maaf, ya. Soalnya masih ada kerjaan di Spanyol." Leana mengangguk, lalu melirik singkat ke arah Elvano yang sedari tadi bungkam. "Mas Elvano, saya mau minta izin ke—" "Ke mana?" potong pria itu cepat. Leana seketika dilanda rasa gugup saat melihat respon Elvano. "Ke rumah Ibu, soalnya ponsel saya disimpan sama beliau." "Kenapa harus malam-malam seperti ini? Besok 'kan bisa." Leana gelagapan, apalagi netra hazel nan tajam itu menyorotnya begitu dalam. "Tidak bisa, Mas. Karena saya