Beberapa hari sejak kecanggungan itu terjadi, Anne maupun Elena tidak pernah bertemu. Mereka masih berusaha untuk menenangkan diri sampai menemukan titik temu apa yang akan mereka bicarakan lagi.
Anne kesepian. Ternyata, tidak mendengar suara lembut Elena lebih menyakitkan dibandingkan kenyataan yang harus ia terima. Anne hanyalah yatim piatu yang tidak memiliki siapapun di sisinya dan Elena adalah orang pertama yang memperlakukannya dengan baik.Tidak mudah membuat keputusan. Anne membuang semua egonya. Ia mendatangi Elena saat Austin sudah pergi bekerja.Langkahnya pelan, perlahan, dan ada sedikit keraguan. Rasa takut memenuhi lubuk hatinya."Bi, di mana Kak Elena?" tanya Anne pada salah satu pekerja di rumah Elena."Nyonya ada di kamarnya, Nyonya kedua," jawabnya."Terima kasih!"Kamar Elena tentu saja kamar yang dipakai bersama Austin. Apakah Anne harus masuk atau menarik niatnya? Namun, kaki membawanya mendekat danElena mendapatkan pesan singkat dari Austin kalau ia tidak akan makan malam di rumah. Namun, sebelum jam makan malam Austin sudah tiba di rumah, sedangkan Elena tidak menyiapkan apapun di atas meja."Sayang, kenapa kau terlihat bingung?" tanya Austin. Ia melemparkan tasnya di atas sofa.Elena terlihat lemas. "Katanya tidak akan makan di rumah?" tanya Elena.Austin mengusap ujung kepala Elena. "Tentu saja karena kita akan makan malam di luar," ucap Austin."Sungguh?" Elena langsung tersenyum kegirangan."Iya, serius. Sekarang minta Anne untuk bersiap juga," ujar Austin.Deg!Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Mungkinkah itu cemburu? Dada Elena terasa sesak. Sakit mulai menusuknya. Austin yang biasanya tidak peduli Anne masih bernapas atau tidak, sekarang malah memperhatikannya.Elena memalingkan wajahnya. Ekspresi masam sembari tawa seperti biasanya."Ada apa?" tanya Austin sembari memeluk Elena dari be
Elena hanya memperhatikan sekilas saat Austin dan Anne yang sedang bicara di luar mobil. Ia tidak ingin rasa cemburu itu menggerogoti moodnya. Lagipula, Elena tidak akan bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Elena menunggu, tapi Anne tetap berdiri mematung sedangkan Austin sudah masuk ke dalam mobil. Austin menginjak pedal gas mobilnya. Mobil tersebut melaju santai keluar dari pekarangan rumah dan menembus malam. "Aku melihat mobil Mattew. Apa aku salah lihat?" tanya Elena. "Hm ..." Austin menunjukkan senyumnya yang manis. "Memang Mattew datang," sambungnya. Elena mendelik sembari menatap Austin. "Austin, kau membiarkan Anne dan Mattew berduaan? Bibi Anh tidak ada di rumah," pekik Elena. Austin sedikit kesal. Ia menghentikam mobilnya di pinggir jalan. Hah! Austin menghela napasnya. "Elena, bisakah jangan membahas wanita itu? Aku muak mendengar namanya," pinta Austin. "Aku hanya
Malam pertengkaran telah usai. Elena berdiri di dekat jendela. Menatap lekat ke luar, menikmati keindahan tengah kota. Hatinya tidak merasa tenang. Elena selalu saja dihantui oleh penolakan yang Austin berikan tentang hubungannya dengan Anne. Elena terlihat egois di satu sisi, tapi juga mementingkan orang lain di sisinya yang tersembunyi. Elena sadar kalau pernikahan Austin dengan Anne adalah hubungan paksa yang didasari oleh keinginan dirinya."Apa kau tidak menyukai hotel yang aku pilih?" tanya Austin sembari memegang bahu Elena dari belakang. Elena menoleh dan tersenyum. "Aku selalu menyukai apa yang kau pilih," jawab Elena."Elena, aku merindukanmu," bisik Austin. Napas Austin berhembus mengenai tengkuk Elena. Elena memejamkan matanya. Kehangatan dari pelukan Austin yang begitu erat, membuat Elena hanyut ke dalam gairah.Elena membuka matanya. Ia bisa merasakan kalau bibir Austin sudah berada di atas bibirnya. Elena sedikit mendorong Austin dan memalingkan wajahn
Elena meninggalkan hotel pada pagi hari. Elena sudah menghubungi Mattew untuk mengetahui keberadaan Austin. Austin yang tidak menerima panggilan telepon darinya, membuat Elena khawatir. Namun, Mattew juga tidak mengetahui di mana Austin singgah.Deg!Elena sedikit tersentak. Hatinya sesaat terasa teriris-iris ketika bayangannya menjurus pada Austin yang menghabiskan malam bersama Anne."Mattew bilang kalau Austin tidak tidur di rumahnya atau di kantor. Aku sudah cek semua hotel dan Austin juga tidak melakukan cek in. Apa Austin benar-benar bersama Anne?" gumam Elena.Elena menengadah menatap langit yang begitu cerah. Bahkan matahari sudah berada tinggi di atas kepalanya.Elena memegang dadanya yang terasa sesak. Ia tidak membawa mobil dan hanya duduk diam menikmati luka yang ia buat sendiri di dalam taksi. Pandangannya kosong, sedangkan di benaknya dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang terus mengusik hatinya."Nyonya, sudah sampai," ucap sopir taksi membangunkan Elena dari lamunannya.
Anne ketakutan karena semalam Austin hampir memaksanya untuk menyerahkan mahkota kesucian yang ia jaga. Ia butuh ketenangan sehingga menunggu Elena. Sayangnya, respon yang Elena berikan diluar bayangannya.Anne merasa sesak tanpa bisa berkata-kata. Kakinya yang lemas semakin tidak mampu menompang tubuhnya.Elena menuduh Anne dengan sengaja menemuinya untuk memamerkan apa yang telah dilakukan Anne dengan Austin tanpa mengetahui seberapa takutnya Anne dan memilih untuk kabur.Anne bingung. Ke mana ia harus bersandar? Elena menatapnya dengan kebencian. Bahkan, Elena masuk ke dalam rumah tanpa menolah sedikitpun.'Bagaimana bisa jadi seperti ini?' batin Anne.**Elena menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Kakinya juga lemas dan berangsur turun hingga Elena merasakan dinginnya lantai.Elena memeluk lututnya. Ia mulai tenggelam ke dalam emosi. Elena begitu egois. Ia merasa hanya dirinya sendiri yang terluka tanpa ingin tahu bagaimana stress dan frustasinya Anne maupun Austin.Elena meli
19Elena duduk meringkuk memeluk lutut di depan jendela. Menatap rintik hujan yang mengguyur bumi sejak sore hari membuat hati Elena sedikit tenang.Dua sisi dirinya terus bermonolog mengatakan bahwa sikapnya pada Anne salah. Tapi sisi lain dirinya juga mengakui bahwa Elena cemburu. Dadanya terasa kian sesak, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya.Kenapa ia meminta Austin menikah lagi, sementara pria itu tidak pernah menuntut anak darinya.Pikiran Elena melayang pada saat mereka sedang berdebat kala itu."Austin, aku ingin kau menikah lagi," ucap Elena menatap lekat pada Austin yang duduk di hadapannya."Apa maksudmu, Elena?" Austin mengernyitkan dahi keheranan."Aku tidak akan bisa mengandung anakmu, tapi kau bisa memiliki keturunanmu." Elena mengubah posisi duduknya."Kau pikir, apa definisi kebahagiaan bagiku?" Austin meradang hingga nada bicaranya mulai sengit."Austin, pikirkan untuk masa depan kita. Kau harus memiliki keturunan yang akan meneruskan semua bisnismu. Bukankah rum
Pagi hari, Elena keluar dari rumahnya untuk menghirup udara segar. Malam panjang bersama Austin sudah ia lalui meski hanya sekadar saling menatap di atas ranjang.Elena melirik ke arah rumah Anne. Rumah itu nampak sepi. Hatinya bertanya-tanya, apakah Anne baik-baik saja dalam kesunyian itu? Ada rasa khawatir di benak Elena, tapi ia masih enggan menemui Anne.Tidak berselang lama, Anne keluar dari rumah. Mereka saling menatap dengan perasaan canggung. Sebelum kemudian saling memalingkan wajah."Ternyata, kesalahanku fatal. Kak Elena pasti membenciku sekarang," gumam Anne lirih.Anne melangkahkan kakinya dan berniat bicara pada Elena. Namun, belum sampai tangannya menggapai, Elena sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Hati Anne berdenyut nyeri, sikap dingin Elena begitu menyiksanya.Elena berdiri di balik pintu. Wanita itu melihat dari celah jendela. Anne masih berdiri mematung, wajahnya nampak gelisah. Elena merasa bersalah, tapi ego nya menahan Elena untuk bicara pada Anne.Elena ber
21Cukup lama Elena terbelenggu dalam perasaan cemburu yang membutakan mata hatinya. Hingga ia tidak ingin lagi bertegur sapa dengan Anne.Kali ini, mata hatinya terbuka lagi untuk memulai semuanya kembali. Elena mencoba menghilangkan rasa sakit yang terus melukai hatinya.Elena bersiap pergi menemui Anne. Namun, kakinya baru saja menuruni tangga, ia harus berhadapan dengan Austin."Elena, kau mau ke mana?" tanya Austin menoleh pada istrinya. Padahal, ia sedang merapikan pakaiannya di depan cermin besar dekat kamar tamu.Elena diam sesaat. Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuannya. "Tidak, aku hanya sedikit lapar Austin," elaknya."Oh, aku kira mau menemui wanita itu," desis Austin."Tidak." Elena tersenyum tipis. "Elena, nanti malam ada acara keluarga di rumah Ayah. Aku harap, kau tidak punya alasan untuk menolak datang ke sana," kata Austin."Aku akan usahakan, Austin," jawab Elena."Oke." Austin melangkah mendekati Elena. Manik mata hitam mereka saling beradu. Tangan Austin mengus