Share

3. Tidak Dianggap

Bibi Anh sedikit terkejut. Anne kembali dengan airmata yang membasahi pipinya. Ia berlari naik ke lantai atas. Isak tangisnya tidak bisa ia tahan. Merasa dirinya menjadi wanita terbodoh yang memiliki harapan. Harapannya yang selalu pupus dan membusuk dalam waktu yang terlalu singkat.

                Anne salah dalam memilih tempat untuk menenangkan diri. Ia malah masuk ke dalam kamar. Ternyata, kamar pengantinnya masih sama seperti semalam. Mengingatkan kembali akan posisinya yang tidak berarti. Bunga-bunga yang menghias indah, kelopak-kelopak yang bertebaran, masih utuh meski sudah layu. Sama seperti perasaan Anne saat ini.

Hiks ... Hiks ... Hiks ...

                Anne menyandarkan punggungnya di daun pintu. Tangisnya tanpa suara. Hanya terdengar rintihan dari sisa-sisa bongkahan rasa.

“Nyonya muda,” panggil Bibi Anh.

                Bibi Anh mengetuk pintu kamar Anne. Ia membawa segelas teh hangat untuk membuat Anne merasa jauh lebih baik. Bibi Anh hanya bisa bisa membantu sebatas itu. Anne segera mengusap airmatanya. Ia tidak ingin siapapun melihat dirinya dalam kondisi rapuh.

“Ada apa, Bi?” tanya Anne sembari membuka pintu. Bibirnya melengkung indah, seolah-olah tidak ada yang terjadi.

“Saya bawa teh untuk Nyonya muda.”

“Terima kasih, Bi. Tolong letakkan saja di atas meja,” pinta Anne.

                Tinggallah Anne seorang diri. Duduk di samping jendela, menatap redup ke dunia luas. Tangannya mencengkeram kelopak bunga yang seharusnya menjadi saksi bisu saat pelepasan masa kesendiriannya. Apa harapannya terlalu tinggi? Pikir Anne.

                Tiba-tiba saja, Elena datang. Ia merangkul bahu Anne dan tersenyum dengan tenang. Duduk di samping Anne, seolah-olah tidak ada luka di hatinya. Padahal, dari sorot matanya sangat jelas kalau ia bahkan terluka lebih dari Anne.

“Aku tahu kalau kau bohong. Kau tidak sedang baik-baik saja, Anne,” ucap Elena. Suaranya terdengar begitu lembut.

“Bagaimana dengan Kak Elena? Apa Kak Elena juga jujur?” balas Anne.

                Anne memeluk lututnya sendiri. Ia tidak ingin membuat Elena mengetahui airmatanya yang mengalir deras. Elena mengusap ujung kepala Anne.

“Bohong, kalau aku mengatakan diriku baik-baik saja, Anne. Istri mana yang baik-baik saja ketika harus berbagi suami?” ucap Elena. “Anne, aku juga terluka bahkan lebih dari dirimu saat ini. Apa aku mengeluh? Tidak. Apa aku merengek? Tidak. Apa kau tahu kenapa?” lanjutnya.

                Anne menggeleng. “Aku tidak tahu,” jawab Anne.

“Karena aku yakin, harapanku tidak ada yang sia-sia,” jelas Elena.

                Anne menoleh. Ia sangat kagum dengan ketegaran Elena. Dirinya bahkan belum apa-apa dibandingkan dengan Elena.

“Kak Elena memiliki semua orang yang berpihak,” ujar Anne.

“Dan kau memilikiku, Anne.”

                Elena mengusap airmata Anne. Ia menyodorkan sebuah dokumen. Memberikan dokumen tersebut kepada Anne.

“Anne, ada dokumen penting yang tertinggal. Maukah kau mengantarnya untuk Austin?” tanya Elena.

“Seharusnya Kak Elena yang—“

“Anne, aku memang cemburu. Namun, kau tahu kenapa aku mengizinkan pernikahan kalian. Aku harus mendukung sampai akhir.” Elena memotong kalimat yang bahkan belum sempurna Anne ucapkan. “Tolong, Anne. Berjuanglah sekali lagi,” sambungnya.

                Elena pergi. Anne menatap lemas. Tidak tahu apakah yang ia lakukan benar atau salah. Anne bergegas bersiap dan mengantarkan dokumen tersebut sebelum terlambat. Ia tidak mau memikirkan apa yang akan Austin lakukan padanya jika bukan Elena yang datang. Anne akan bersikap seperti Elena yang seolah-olah tidak ada hal apapun yang terjadi.

                Anne naik taksi karena ia tidak bisa menyetir. Matahari sangat terik. Jalanan juga begitu padat. Taksi yang Anne tumpangi sama sekali tidak bisa bergerak, padahal waktu yang tersisa sangat sedikit. Tidak ada pilihan lain, selain keluar dari taksi dan berlari karena langkah kakinya bahkan lebih cepat dibandingkan taksi yang merayap karena terjebak.

‘Austin pasti sudah menungguku,’ batin Anne.

                Anne mulai berkeringat. Ia semakin mempercepat langkahnya. Menerjang debu yang sesekali masuk ke dalam matanya. Anne berusaha sebaik mungkin. Akhirnya ia sampai di cafe yang Elena katakan padanya.

                Anne terengah-engah. Austin sudah menunggunya di luar. Anne tersenyum di tengah-tengah kelelahannya. Seperti inikah perasaan senang saat Austin menyambut dia datang? Pikir Anne.

“Kenapa kau yang datang?”

Deg!

                Anne merasa tersentak. Ekspresi Austin tidak lagi hangat. Apalagi, kalimat pembuka yang sangat tidak ramah.

“Aku—“

“Kalau tahu kau yang akan datang, lebih baik aku mengambil sendiri dokumennya,” ucap Austin. Nada suaranya sangat ketus.

“Kak Elena yang memintaku untuk—“

“Anne, kau ingin membuat Elena buruk di mataku?” tanya Austin. Tatapannya menyorot tajam. “Kalau bukan kau yang merengek padanya, Elena tidak akan menyerahkan dokumen penting ini padamu,” imbuhnya sembari merebut kasar dokumen tersebut dari tangan Anne.

“Aku mengatakan yang sebenarnya, Austin,” jelas Anne.

“Kau hanya orang luar, Anne. Kau pikir, aku tidak mengenal baik istriku sendiri?” bentak Austin.

“Austin, bukan itu yang—“

“Aku sangat tidak menyukaimu, Anne. Menyebut namamu berulang kali, sangat-sangat memuakkan.”

                Bukankah reaksi itu sangat berlebihan? Pikir Anne. Di depan semua orang, Austin memaki Anne yang tidak lain adalah wanita yang belum lama ia nikahi. Anne menelan air liurnya. Ia gemetaran melihat ke arah sekeliling yang menatapnya begitu tajam dengan bisikan hina yang terdengar.

“Austin, apa aku pantas kau perlakukan seperti ini? Cafe ini milikmu. Tidak akan ada yang berani menyebarkan rumor apapun, tapi haruskah aku kau anggap sampah, Austin? Aku datang memberikan dokumen untukmu, bukan untuk kau hina seperti ini,” ucap Anne. Ia meremas gaunnya untuk mneghilangkan sedikit kecemasan. Ia menunduk tanpa memiliki keberanian untuk melihat Austin.

“Apa aku meminta bantuanmu? Heh!” Austin tertawa mencibir Anne. “Jangan berpura-pura menyedihkan, Anne. Kau kira, aku tidak tahu tipuan murahanmu itu?” sambungnya.

“Austin, bisakah kau langsung mengusirku saja? Kenapa harus menghinaku? Aku tidak peduli orang lain, tapi kenapa kau yang harus bersikap seperti ini padaku?”

                Austin berjalan mendekat. Ia menggertakkan giginya. Anne merasakan suasana yang mencekiknya. Untuk pertama kalinya, Anne melihat wajah Austin tanpa ekspresi. Datar tapi terasa kejam.

                Austin mendekatkan bibirnya di telinga Anne. Anne diam kaku. Ia memejamkan matanya, menyiapkan diri dengan apa yang akan Austin katakan selanjutnya.

“Kau tanya, kenapa?” tanya Austin. Suara yang lirih berbisik, semakin menambahkan ketegangan yang ada.

“Benar. Kenapa kau perlakukan aku seperti ini?” tanya Anne.

“Karena aku sangat membencimu!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mikayla Azahra
keterlaluan kau austin... ingat suatu saat kau akan menyesalll.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status