Suara hujan menyamarkan isak tangis Elena. Ia meringkuk, duduk di atas sofa merangkul lututnya. Matanya yang memerah menatap ke arah meja, memperhatikan foto pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu. Pernikahan penuh cinta yang saat ini telah ternoda oleh pernikahan kedua.
“Austin, aku kira hatiku kuat. Ternyata rasanya begitu sakit,” gumam Elena.
Buliran airmata terus mengalir tanpa henti. Elena takut mendengar petir yang bergemuruh, tapi ia lebih takut kalau suatu saat ia tersingkir dari posisinya sebagai Nyonya Austin. Gelar yang selama ini ia jaga dengan sangat baik.
“Elena!”
Suara teriakan yang cukup keras, bersamaan dengan pintu yang dibuka kasar membuat Elena menoleh ke arah sumber suara. Pria yang seharusnya tidak menemuinya, datang dalam keadaan basah kuyub. Ia terlihat sangat khawatir.
Elena turun dari sofa. Berdiri tegap, menatap tidak percaya. Austin berlari ke arahnya. Langsung memeluk Elena sangat erat. Apa yang harus Elena lakukan? Haruskah ia membalas pelukan Austin?
“Maaf! Maafkan aku, Elena. Aku mohon, maafkan aku. Seharusnya aku datang lebih cepat. Kau pasti sangat ketakutan karena aku meninggalkanmu sendirian,” ucap Austin.
“Austin, lepaskan aku,” pinta Elena.
“Tolong Elena, balas pelukanku. Aku tahu kau sedang menahan diri. Jangan berusaha membohongiku,” gumam Austin.
Elena harus menjauh dari Austin demi tujuannya tercapai. Akan tetap, perasaan tidak dapat diputus dalam waktu singkat. Ia mencintai Austin. Ia inginkan Austin menjadi miliknya. Ia tidak ingin berbagi. Itulah keinginannya yang tersembunyi.
“Austin, jangan tinggalkan aku,” ucap Elena. Pada akhirnya Elena dikalahkan oleh perasaannya yang sangat kuat.
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau tidak perlu berpikir yang tidak-tidak, oke.”
Austin menggendong Elena sangat romantis. Membawa Elena masuk ke dalam kamar dan menurunkannya di atas ranjang. Austin mengambilkan baju tidur yang baru karena pakaian Elena ikut basah karenanya.
“Elena, gantilah pakainmu. Aku tidak ingin kau sakit,” ucap Austin sembari mengusap lembut ujung kepala Elena.
Elena mengganti pakaiannya. Ia menoleh saat Austin membuka kemejanya yang basah. Elena berjalan pelan dan memeluk Austin dari belakang. Austin mengusap tangan Elena yang melingkar di pinggangnya.
“Ada apa?” tanya Austin.
“Austin, apa kau akan membuangku setelah Anne bisa mengandung anakmu?” tanya Elena.
Austin tersenyum pahit. Apa yang harus ia jawab? Pernikahannya bersama Anne bahkan bukan keinginannya. Pernikahan keduanya hanya seperti pedang tajam yang menyakiti hati siapa saja.
“Elena, dengarkan aku,” pinta Austin sembari memutar tubuhnya. “Kau adalah satu-satunya wanita yang aku inginkan. Siapa Anne, sampai-sampai mengancam posisimu?” lanjutnya.
Elena tertunduk lesu. Austin berusaha meyakinkan Elena kalau cintanya tidak akan goyah meski Anne memberikan segalanya yang tidak bisa Elena berikan untuknya.
“Elena, aku menikah karena kau memaksaku. Kalau kau memintaku untuk menceraikannya, aku akan lakukan sekarang juga,” ucap Austin.
“Austin, bagaimana bisa kau mengatakannya begitu mudah? Anne, dia baru saja kau nikahi,” kata Elena. Ia sedikit terkejut dengan penuturan Austin. Sorot matanya bahkan tidak memperlihatkan keraguan sedikitpun.
“Anne hanyalah wanita asing bagiku. Selamanya, aku hanya akan mencintaimu, Elena.”
*
Anne duduk di samping jendela. Tirainya sengaja ia buka. Setidaknya, ia tidak terlalu merasakan kesepian dengan melihat keindahan lampu kota. Gemericik gerimis menambahkan luka lara. Anne terlelap dengan membawa kesepian ke dalam mimpinya.
Anne mengernyitkan keningnya. Suara berisik terdengar dari arah dapur, bersamaan dengan mentari pagi yang menyorot matanya. Berapa lama ia tidur? Pikir Anne.
“Siapa yang pagi-pagi datang? Ah!” pekik Anne. “Mungkinkah Austin?”
Anne berusaha tenang. Seorang wanita paruh baya sedang sibuk menyiapkan sarapan. Anne terpaku dan membisu. Bertanya-tanya di dalam benaknya siapa wanita tersebut. Bahkan lantai licin karena terkena gaunnya yang basah semalam, sudah dibersihkan.
“Nyonya muda.” Wanita tersebut langsung menghampiri Anne. Ia sedikit membungkuk memberikan salam.
“Jangan lakukan itu,” pinta Anne. Ia tidak terbiasa dengan kehidupan kelas atas.
“Nyonya muda, nama saya Anh. Saya yang akan menemani Anda di sini,” jelasnya.
“Baiklah, Bibi Anh. Apa Austin yang meminta Bibi untuk bekerja di sini?” tanya Anne.
“Maaf, Nyonya. Saya bekerja atas permintaan Nyonya besar.”
Anne tersenyum menyembunyikan lukanya. Luka yang semakin membesar karena terus bertambah. Rumah seluas itu tidak membuat Anne bisa bernapas lega. Selalu saja merasa sesak.
“Nyonya, saya sudah menyiapkan sarapan untuk Anda.”
“Bibi Anh, terima kasih, tapi aku sedang tidak ingin makan sekarang.”
Anne memalingkan dirinya. Ia keluar dari rumah itu, berharap bisa menghirup udara segar. Akan tetapi, langkahnya berhenti. Ia melihat Austin dan Elena sedang bercengkerama dengan sangat harmonis. Rasanya begitu menusuk. Mengingatkan Anne pada statusnya yang tidak lain hanyalah orang ketiga.
Rumah Anne dan Elena bersandingan tanpa sekat pagar. Anne buru-buru pergi sebelum mereka melihatnya. Akan tetapi, sudah terlambat. Elena menyadari kehadiran Anne.
“Anne, kemarilah. Austin mau berangkat bekerja,” teriak Elena sembari melambaikan tangannya.
Mau bagaimana lagi? Anne tidak bisa mengelak. Ia benar-benar datang tanpa persiapan. Bahkan ekspresi Austin menjadi masam ketika Elena memanggil namanya. Ke mana perginya senyum yang indah dari bibirnya? Pikir Anne.
“Ha—hai,” sapa Anne. Suaranya terbata-bata.
“Bukan aku yang harus kau sapa, tapi Austin. Anne, kau harus terbiasa dengan tugas sebagai Istri,” kata Elena.
Anne memalingkan pandangannya. Ia merasa sangat canggung setelah melihat beberapa tanda merah di leher Elena. Tugas sebagai istri? Ucapan itu terdengar sangat konyol. Bagaimana mungkin Anne berani mendekati Austin jika Austin memandang jijik padanya?
“Sayang, aku berangkat dulu.”
Seperti biasa, Elena mengecup punggung tangan Austin dan Austin akan mencium keningnya. Anne berpikir untuk melakukan hal yang sama. Namun, ketika Anne mengulurkan tangannya bahkan belum mengucapkan sepatah kata, Austin pergi melewati Anne tanpa menoleh ke arahnya.
Anne menarik kembali tangannya yang terasa kosong. Elena juga hanya terdiam. Anne tersenyum getir. Senyum yang sangat pahit.
“Anne, apa kau—“
Anne menepis pelan tangan Elena yang hendak menyentuh bahunya. Anne menggeleng pelan. Embun bahkan berbisik menertawakan penderitaannya.
“Kak Elena, aku baik-baik saja. Iya. Aku sungguh baik-baik saja.”
Bibi Anh sedikit terkejut. Anne kembali dengan airmata yang membasahi pipinya. Ia berlari naik ke lantai atas. Isak tangisnya tidak bisa ia tahan. Merasa dirinya menjadi wanita terbodoh yang memiliki harapan. Harapannya yang selalu pupus dan membusuk dalam waktu yang terlalu singkat. Anne salah dalam memilih tempat untuk menenangkan diri. Ia malah masuk ke dalam kamar. Ternyata, kamar pengantinnya masih sama seperti semalam. Mengingatkan kembali akan posisinya yang tidak berarti. Bunga-bunga yang menghias indah, kelopak-kelopak yang bertebaran, masih utuh meski sudah layu. Sama seperti perasaan Anne saat ini.Hiks ... Hiks ... Hiks ... Anne menyandarkan punggungnya di daun pintu. Tangisnya tanpa suara. Hanya terdengar rintihan dari sisa-sisa bongkahan rasa.“Nyonya muda,
Anne menggigit bibirnya sendiri, melihat Austin yang sudah membelakanginya. Meninggalkannya seorang diri saat semua orang menatapnya dengan tatapan hina. Anne tidak kuasa menahan gejolak luka yang bertubi-tubi menghantamnya. Bisakah ia berbesar hati seperti Elena? Anne memutuskan untuk menghapus buliran cairan bening yang membasahi pipinya. Ia meninggalkan tempat yang sangat melukai hatinya. Posisinya serba salah di mata Austin. Padahal, Anne hanya ingin mendengar kata terima kasih, sayangnya yang Anne dapatkan tidak jauh dari kata kebencian. Anne merenung sembari duduk di dalam taksi. Menyandarkan kepalanya dan mengukir indah harapan baru di atas luka yang masih menganga.
Austin pergi dengan Elena tanpa mempedulikan apakah Anne akan kecewa atau tidak. Awalnya, Elena kepikiran dengan Anne tapi keramaian menghiburnya. Apalagi, Elena sedang berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya. Anne menunggu Austin. Ia tidak menyerah dan terus menunggu seperti orang bodoh. Tidak ada lagi bus malam. Anne sampa ketiduran di halte karena menunggu dan menunggu. Kakinya bahkan terluka karena mengenakan heels dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi.“Nona!” Anne mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada seseorang yang menyentuh bahu dan juga memanggilnya.“Austin!” pekik Anne.“Apa saya menge
Anne berpegangan pada setiap dinding yang ia lewati. Perasaannya begitu hancur. Kalimat dari Austin yang barus saja terlontar terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Tidak ada lagi airmata yang mengalir pada pipinya. Terasa kering dan kosong seperti hatinya.‘Kau pikir, aku sudi menikahimu?’‘Kalau bukan karena Elena yang memohon padaku sampai aku muak karena setiap hari harus mendengar namamu, aku tidak akan pernah menikahimu! Tidak akan pernah, Anne!’‘Wanita kotor!’‘Wanita licik!’‘Jangankan memiliki perasaan untukmu, aku bahkan merasa jijik saat aku berpapasan denganmu!’ Sumpah serapah yang Austin katakan begitu tegas tanpa adanya keraguan. Perasaan Anne sudah hancur lebur
'Apa kau akan terus menggadaikan suamimu, Elena?' Entah kenapa, kata-kata itu tertanam di dalam benak Anne. Terus saja terngiang-ngiang menghantuinya. Nyonya Jean yang tidak lain adalah Ibu kandung Elena, tiba-tiba saja datang berkunjung. Ia muncul dengan cara yang cukup mengejutkan. "Nyonya Jean pasti mendengar semua yang aku bicarakan dengan Kak Elena. Apa maksudnya dengan menggadaikan, ya?" gumam Anne. Nyonya Jean sama sekali tidak menegur Anne dan juga tidak bersikap terlalu sinis. Ia tahu kalau pernikahan antara Anne dan Austin merupakan keinginan Elena. Nyonya Jean membawa Elena pergi. Elena menuliskan semua jadwal dan apa saja yang diperlukan oleh Austin karena kemungkinan Elena tidak akan pulang untuk beberapa hari. Anne menyiapkan makan malam. Ia menghindari makanan yang tidak Austin sukai. Semua hidangan sudah selesai. Elena mengobati tangannya yang terluka karena beberapa sayatan pisau.
Plak! Entah setan apa yang merasuki Anne. Anne menampar Austin cukup keras sampai membekas merah tapak jari-jarinya di pipi Austin. Austin diam membeku. Ia hanya menyentuh pipinya tanpa mengubah posisi. Kesempatan itu digunakan oleh Anne untuk segera menjauh dari Austin yang sedang kehilangan kewarasannya.'Apa? Kenapa pintunya terkunci? Se--sejak kapan?' batin Anne. Anne sangat terkejut. Austin menyembunyikan kunci kamar tersebut entah di mana. Apakah di saku celananya? Pikir Anne."Setelah menamparku, apa kau sudah merasa hebat?" tanya Austin."Austin, buka pintunya!" pinta Anne."Bagaimana kalau aku tidak mau?" ujar Austin."Austin!" teriak Anne. "Apa belum puas kau merendahkanku, hah? Apa aku memiliki salah padamu?" teriak Anne lagi. Sebuah perjanjian menjerat Anne. Menyeretnya masuk ke dalam suatu hubungan yang terjalin sangat erat. Batasan, perlindungan, seperti menyerang Anne dar
Anne melewati malam yang mencengkam tersebut tanpa bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Elena atau bagaimana ia harus berhadapan dengan Austin. Austin tidak kembali. Mungkin saja ia menginap di tempat lain atau menyusul Elena, pikir Anne. Saat makanan tersaji di atas meja, tidak ada sedikitpun selera untuk menyentuhnya. Bayangan Austin terhadapnya terngiang jelas. Tap ... Tap ... Tap ... Suara langkah kaki mulai mendekat. Anne menoleh dan melihat pada sosok yang semakin membuatnya gemetar. "Anne, kenapa wajahmu pucat? Apa kau sakit?" "Kak Elena, aku tidak apa-apa," kata Anne. Anne mengelak menjawab. Menilik sikap Elena yang tulus dan perhatian padanya, membuat Anne semakin dicekik oleh rasa bersalah. Wajah Elena yang menunjukkan sebuah harapan besar, tidak mungkin akan Anne patahkan."Kak, bisakah ajarkan aku memasak makanan yang disuka
Mattew melihat luka-luka di jari-jari Anne. Ia tidak sampai hati mambiarkan Anne mengobati lukanya sendiri."Nona, maaf!" ucap Mattew.Grep!"Akh!" pekik Anne.Setelah mengucapkan kata maaf, Mattew memegang pergelangan tangan Anne dan menariknya keluar dari kantor. Anne benci jika ia menjadi pusat perhatian orang lain. Cara yang Mattew gunakan, tentu saja akan menimbulkan bisik-bisik kebencian.Wanita penggoda, perebut suami orang lain, tidak tahu diri, sekarang sedang menggoda pria lain, tidak cukup hanya dengan satu pria. Yeah ... Anne mendengar semuanya, tapi Mattew bersikap seperti tidak peduli sama sekali."Tuan, tolong lepaskan tangan saya," pinta Anne."Tutup saja telinga Anda. Anda akan merasa sesak, kalau mendengarkan ucapan orang asing yang tidak berguna," balas Mattew.Apa yang Mattew ucapkan memang benar, tapi Anne tidak bisa menampik semua cemooh buruk yang mengarah padanya.Tidak jauh dari