Share

02

Aruna tersenyum miring dengan satu tangannya yang ia gunakan untuk memgangi pipi sebelah kanan.

Rasa perih juga panas yang menjalar di pipinya saat ini tidaklah sebanding dengan rasa sakit hati yang dirasakannya saat ini. 

Meski sudah sejak dulu ia mendapat perlakuan kurang menyenangkan juga dibedakan oleh orang tuanya, namun kali ini semuanya terasa jauh lebih jelas.

Untuk pertama kalinya, selain kekerasan secara lisan ia juga mendapatkan kekerasan secara fisik. 

“Dasar anak tidak tahu diri. Harusnya kau merasa beruntung aku mau merawat mu hingga kini, kau harusnya berterima kasih dan menganggap apa yang ku katakan tadi sebagai bentuk balas budi!” seru Nyonya Rini dengan marah.

Aruna hanya diam dengan kepala tertunduk dalam. Ia tidak memiliki tenaga bahkan hanya intuk sekadar membalas apa yang sudah dikatakan sang Ibu.

Gadis itu mendongakkan kepalanya pelan. Mata sayu nya menatap ke arah tiga orang lainnya yang juga tengah melihat ke arahnya dengan ekspresi yang berbeda-beda.

Sang Ayah hanya melihat ke arahnya selama beberapa saat, pria dengan kemeja lengan pendek itu kemudian mengalihkan wajahnya ke arah lain.

Marsha Febriani. Anak sulung keluarga Wijaya hanya diam melihat ke arah adik bungsunya. Sedangkan Kinan, gadis dengan rambut berwarna terang itu justru tersenyum kecil melihat bagaimana Aruna saat ini.

“Sebaiknya kau masuk sekarang. Aku muak melihat wajahmu,” ujar Nyonya Rini dengan mengalihkan wajah. Enggan melihat Aruna.

Dengan menahan isak tangis, Aruna berdiri dan mulai beranjak menuju kamarnya.

Namun saat gadis itu sampai di depan pintu kamarnya, terdengar lagi suara Nyonya Rini menginterupsi.

“Kami tidak perlu persetujuan mu atau mendengarkan penolakan darimu, yang jelas mau tidak mau kau akan kami jadikan jaminan untuk Tuan Hendra sampai kami bisa melunasi semua hutang yang ada.”

Dengan gerakan cepat, Aruna segera membuka pintu kamar miliknya dan masuk ke dalam.

Di dalam kamar, gadis itu bisa menumpahkan apa yang dirinya rasakan. Hanya dalam kesendirian ia bisa bercerita pada angin soal rasa sakit yang ia dapatkan dari orang-orang terdekatnya bahkan sejak ia masih muda.

Aruna ingat betul dengan perkataan sang Ibu saat ia masih muda dahulu. Lebih tepatnya saat ia baru saja memenangkan perlombaan sains tingkat nasional.

Bukan pelukan hangat ataupun ucapan selamat yang didapatkannya. Melainkan tatapan sinis juga caci maki yang berasal dari Ibunya sendiri. 

Orang yang harusnya bisa mendengarkan apa yang ingin ia ceritakan soal hari-hari yang dilewatinya, justru jadi orang yang paling berperan besar menaburkan garam di atas luka menganga yang telah ia punya.

Dari sekian banyak kata yang dilontarkan oleh sang Ibu, ada satu hal yang selalu dan akan membekas di hati Aruna. Karena itu adalah alasan mengapa sikap sang Ibu begitu berbeda terhadap dirinya juga saudaranya yang lain.

Sang Ibu mengatakan jika kehadiran Aruna tidaklah diinginkan. Saat itu mereka hanya menginginkan dua anak dalam keluarga mereka.

Namun disaat sang Ibu akan melakukan prosedur KB di rumah sakit, sang Dokter mengatakan jika ada satu kehidupan yang tengah tumbuh dalam rahimnya.

Dan semenjak kelahiran Aruna yang saat itu dalam keadaan prematur membuat nyawa Nyonya Rini terancam dengan pendarahan hebat yang dialaminya.

Belum lagi setelah kelahiran Aruna, bisnis restoran yang saat itu tengah dirintis keluarga Wijaya terpaksa harus gulung tikar. 

Kehidupan keluarga Wijayakian memburuk tiap harinya, hingga dengan terpaksa Tuan Wijaya berhutang pada rentenir dan berakhir dengan gagalnya mereka membayar hutang beserta bunga yang terus membengkak.

Selain itu, Nyonya Rini juga menganggap jika keberadaan Aruna hanyalah sebagai pembawa sial dalam keluarga mereka. Berbeda dengan sewaktu kelahiran Kinan yang justru membuat usaha mereka maju kian pesat.

***

Waku berjalan dengan cepat. Hari dimana Tuan Hendra kembali datang untuk menagih keputusan apa yang akan diambil keluarga Wijaya terkait dengan kesepakatan mereka sebelumnya.

Pria paruh baya itu kembali datang dengan segerombol anak buahnya. Mereka sempat membuat kekacauan dengan merusak beberapa barang sebelum kemudian menyampaikan apa yang memang jadi tujuan mereka sebenarnya.

“Bagaimana dengan keputusanmu?” tanya Tuan Hendra dengan menghembuskan rokok yang diapit diantara jari telunjuk juga tengahnya.

Tuan Wijaya terdiam selama beberapa saat, ia nampak ragu dengan apa yang akan diutarakannya.

Melihat sang suami yang ragu-ragu, Nyonya Rini dengan cepat mengambil alih keadaan.

“Kami bersedia menjadikan salah satu puteri kami sebagi jaminan,” ucapnya cepat.

Tuan Hendra nampak memicingkan matanya sejenak, bertanya lewat sorot mata soal keseriusan wanita di depannya ini.

“Kalian serius?”

Anggukan tegas jadi jawaban yang lebih dari sekadar cukup untuk Tuan Hendra. Pria itu kemudian kembali bertanya pada sepasang suami istri tersebut.

“Baiklah, jadi siapa yang akan kalian jadikan jaminan?” 

Tanpa ragu dan menunggu lama, Kinan juga Marsha segera membawa Aruna menuju ke ruang tengah dimana orang tua mereka juga Tuan Hendra berada.

“Dia adalah putri bungsu kami. Aruna. Dia yang akan menjadi jaminan,” terang Nyonya Rini dengan cepat.

Tuan Hendra nampak memperhatikan Aruna dengan lekat. Pria itu memperhatikan si gadis dari atas ke bawah dan mengulanginya beberapa kali dengan tatapan kurang pantas.

“Kalian rela menjadikan putri bungsu kalian sebagai jaminan hutang?’ tanya Tuan Hendra masih dengan tatapan yang tertuju ke arah Aruna.

“Ya. Lagipula dia juga harus menunjukan baktinya kepada orang tua, dia harus membalas jasa-jasa yang sudah kami lakukan untuknya, bukan?” sahut Nyonya Rini dengan cepat.

Tuan Hendra mengangguk. Saat pria tua itu ingin menyentuh dagu Aruna, ialebih dulu menghindar dan menatap Tuan Hendra dengan tatapan tajam.

“Kau suka jual mahal rupanya,” ujarnya dengan senyum miring.

Disaat Tuan Hendra kembali akan melakukan hal kurang sopan pada Aruna, gadis itu kembali menolak. Dan hal itu membuat Tuan Hendra merasa geram.

Tangannya sudah siap melayang di udara ingin memberikan sebuah pukulan ke arah Aruna sampai satu suara menghentikan aksinya.

Jika kau berpikir suara yang terdengar adalah suara manusia atau lebih tepatnya perkataan layaknya dalam drama, maka kau salah.

Itu hanya sebuah ketukan pitu biasa yang berasal dari seorang pria muda dengan senyum menawan. Ia kemudian melangkah mendekat masih dengan senyum yang terumbar apik di wajah tampan juga imutnya itu.

Laki-laki dengan jas yang membalut pakaian hitamnya itu menghampiri Aruna yang juga terheran dengan kehadirannya saat ini. 

Pria misterius itu tersenyum kian lebar di hadapan Aruna sebelum kemudian berujar.

“Nona Aruna. Kau mau ikut denganku?” 

Aruna yang mendengar hal itu tidak memberikan reaksi apapun. Ia hanya terdiam dengan wajah kebingungan sampai kemudian terdengar suara Tuan Hendra yang bertanya dengan nada tidak suka.

“Siapa kau? Ada urusan apa kau kemari?”

Pria muda itu menoleh, ia kembali tersenyum dan menjawab.

“Aku? Perkenalkan, Chandra Adiguna.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status