"Gimana, Dok, keadaan suami saya?" tanya Adara pada pria yang mengenakan pakaian bebas karena jam kerjanya di rumah sakit sudah selesai."Hanya kelelahan dan banyak pikiran, Bu. Saya sudah meresepkan vitamin agar kondisinya semakin membaik. Nanti kalau infusnya sudah habis, bisa langsung dilepas. Atau kalau nanti Ibu kesulitan, bisa panggil saya lagi.""Baik, Dok. Terima kasih sudah mau datang malam-malam begini. Mari saya antar ke depan," ucap Adara sungkan. Dia berjalan mendahului sang dokter lalu mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih ketika mereka sudah sampai di pagar depan. Wanita itu kembali masuk untuk memeriksa keadaan Ansel. Namun langkahnya terhenti ketika di depan pintu kamar suaminya. Mungkin dia perlu membuat sesuatu. "Bubur?"Adara mengira membuat bubur semudah merebus air. Dia menuang beras ke dalam air mendidih yang ukurannya hampir sepanci penuh. Dia merebusnya hingga setengah matang lalu menambahkan potongan daun bawang dan garam dua sendok makan. "Apa segi
"Ah, maksudnya kamu datang hanya karena diundang? Bodoh atau gimana sih? Orang dia bilang kalau ingin ditemani sama istrinya bukan sama wanita lain," sentak Adara berani. Dia tidak mau lagi diinjak-injak oleh wanita itu. "Berikan Aku buktinya kalau memang benar suamiku yang mengundang kamu ke sini."Adara mengulurkan telapak tangannya ke depan, sikapnya menantang berusaha membalikkan keadaan. Beraninya wanita itu menginjak rumahnya dengan sikap yang seolah dia bukan siapa-siapa. Emma diam saja, tidak bisa berkutik. 'Mampus aku. Aku kan nggak punya bukti konkrit. Gimana ini? Aku harus mengarang cerita yang gimana lagi?' batinnya bingung. Melihat Emma yang hanya menggigit bibir bawahnya, membuat Adara yakin bahwa Emma hanya membohonginya. Tapi yang jadi pertanyaan dari mana dia tahu kalau Ansel sedang sakit?"Kamu nggak bisa memberikan bukti kan? Pergi kalau gitu. Daripada kamu semakin malu," ucap Adara lagi. Emma mendesis geram. Dia menghentakkan kakinya keras-keras sebelum pergi.
"Kamu tahu kamu nggak boleh begini, Sel. Aku bukan istri yang menginginkan kamu sebagai suami. Aku juga sudah bilang kalau kita sudah nggak punya hubungan yang lebih dari status suami istri," tegas Adara. Dia mencengkeram salah satu lengan Ansel karena tangan kanannya masih memegang piring berisi ayam bumbu kecap tersebut.Ansel semakin mengeratkan pelukannya. Dia tidak mungkin membiarkan Adara pergi darinya setelah apa yang Adara lakukan. Perhatian wanita itu lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. "Aku tahu tapi aku menolak untuk melepaskan kamu. Berikan aku waktu agar aku bisa membuat kamu mengerti bahwa semuanya sudah berubah. Dari awal memang kita menikah atas dasar paksaan tapi sekarang aku mulai mencintaimu.""Cinta? Kamu lebih mirip anak SMA yang mendesak pacar kamu untuk tidur sama kamu," ucap Adara asal."Nggak masalah. Apapun yang kamu pikirkan, aku tetap menerimanya. Selagi kita bersama, aku ingin menggetarkan hati kamu, Dara. Cintai aku juga, please! Kamu mau hidup s
"BRENGSEK! KAMU MENYEBALKAN SEKALI. KENAPA SIH HARUS BERCANDA? NGGAK LUCU! AKU BENCI SAMA KAMU, ANSEL! BENAR-BENAR BENCI!" Teriak Adara kesal. Adara benar-benar takut setengah mati. Takut jika terjadi sesuatu pada Ansel. Setelah ditinggal pergi oleh Dianti, dia tidak ingin lagi melihat orang yang dekat dengannya tiba-tiba pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Rasanya penyesalan dalam dirinya teramat sulit untuk disingkirkan. Andai saja dia bisa memutar kembali waktu, dia ingin mengucapkan selamat tinggal dan memberikan kesan terbaik untuk neneknya. Ansel tidak pernah menyangka jika Adara akan semarah itu. Dia berusaha memeluk istrinya supaya tidak lagi berteriak histeris namun dia tidak berhasil. Tenaga Adara seolah lebih kuat dari dirinya. "Adara, stop! Maafkan Aku! Aku hanya bercanda tadi. Please, berhenti memukulku!" pinta Ansel."Brengsek! Kamu menyebalkan," Isak Adara. Tanpa sadar dia menghentikan pukulannya lalu terdiam dengan tangisan yang terus berdenging."Maaf. Please
Pemandangan yang sudah biasa ketika semalaman pasangan suami istri berebut untuk saling memuaskan, terlihat menenangkan. Apalagi ketika kaki-kaki Mereka terlihat di di bawah selimut, saling bertautan untuk menghangatkan satu sama lain. Di bawah selimut yang sama, di pelukan yang memabukkan, Adara dan Ansel tidak berniat untuk beranjak dari sana. Meskipun tenaga mereka harus kembali diisi untuk mengantisipasi hari yang panjang, mereka tidak peduli. Adara menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Ansel. Dia masih memejamkan mata. Di bawah sana, rasa ngilu memenuhi dirinya. Wanita itu tidak berniat menghalangi suaminya ketika mereka harus mengulangnya hingga tiga kali dalam semalam. Anggap saja Dia sedang menebus dosa atas kesalahannya beberapa minggu ini. "Jam berapa sih?" gumam Adara. Suaranya teredam oleh dada Ansel tapi Ansel masih bisa mendengarnya. "Jam enam. Kamu mau bangun atau enggak?""Em, tunggu sebentar," jawab Adara pelan."Atau kita libur saja hari ini? Kita kan nggak p
"Sayang, tunggu dulu! Aku udah siapin bekal untuk kamu makan nanti di kantor. Ini Ada oseng ayam suwir pedas dan buah-buahan. Jangan lupa dihabiskan!" pesan Ansel sebelum istrinya berangkat ke kantor. Dia memilih untuk membuatkan bekal karena kemarin Adara berkata kalau dia tidak sempat untuk makan siang. Ansel yang sudah berjanji akan menyiapkan makanan untuk istrinya, rela bangun pagi hanya demi sekotak bekal. Pria itu segera merapikan penampilannya sebelum ikut keluar dari rumah. Adara melihat kotak berwarna biru muda itu dengan tatapan sarat akan kebingungan. "Emangnya aku anak kecil?""Udah, jangan bawel! Bawa aja. Kalau sampai nggak kamu habiskan, kamu akan tahu sendiri akibatnya nanti di rumah. Oke, Sayang?" goda Ansel dengan mata mengerling jenaka. Adara terpaksa menerimanya karena dia harus terburu-buru untuk ke kantor. Ada rapat pagi ini tentang perluasan lahan minimarket di area Bandung yang harus diselesaikan minggu ini juga. Mungkin akhir pekan ini dia akan pergi ke Ba
Ansel terus mengarahkan senter ponselnya pada pintu tangga darurat berharap sang istri segera muncul. Tapi sekian menit ditunggu, sosok Adara tidak juga terlihat. Pria itu panik. Dia menghampiri satpam yang bersiap untuk mengitari gedung tersebut untuk membantu mencari Adara."Ibu Adara belum pulang, Pak? Saya kira tadi sudah turun soalnya Pak Er bilang lantai atas sudah clear," lapor satpam bertubuh tegap itu. Dia baru saja melakukan walkie talkie dengan kawannya untuk melihat keadaan kantor. Er kebetulan ada di atas ketika lampu tiba-tiba padam.Di sanalah Ansel mulai was-was. "Bisa minta tolong Pak Er untuk mencari lagi, Pak? Istri saya belum memberi kabar soalnya." Dia menghidupkan layar ponselnya dan ternyata tidak ada sinyal yang ditemukan."Dari tadi sinyal mati, Pak. Begini saja, Pak. Bapak tunggu di sini, saya akan cari ke atas lewat tangga darurat."Ansel tidak punya pilihan selain mengiyakan. Dia mengangguk. Sembari menunggu, dia mencoba mengirim pesan siapa tahu jaringanny
"Heiii," pekik Ansel dengan mulut penuh makanan. Adara menjejalkan sepotong ayam ke dalam mulutnya sebagai usaha agar dia tidak menjawab pertanyaan darinya."Kalau makan, fokus aja makan jangan banyak bicara," goda Adara. Dia tersenyum geli sembari melihat ke arah lain. Kedekatannya dengan Ansel sudah mengalami perubahan. Adara sendiri mencoba untuk bersikap selayaknya istri karena Ansel selalu membuat dirinya nyaman. Tidak mungkin kan kalau dia harus bersikap egois sementara suaminya berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka? Ansel melihat senyum yang disembunyikan oleh istrinya. Dia pun ikut tersenyum dan mengambil nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang tapi ukurannya benar-benar mini. Dia sanggup menghabiskan beberapa bungkus kalau tidak ingat kalau Adara lebih membutuhkan asupan makanan. Pria itu menoleh pada istrinya, lalu mengulurkan tangan untuk menyeka sebutir nasi yang menempel di ujung bibir istrinya. Begitu istrinya berbalik menatapnya, dia balas tersenyum. "Ngomo