"BRENGSEK! KAMU MENYEBALKAN SEKALI. KENAPA SIH HARUS BERCANDA? NGGAK LUCU! AKU BENCI SAMA KAMU, ANSEL! BENAR-BENAR BENCI!" Teriak Adara kesal. Adara benar-benar takut setengah mati. Takut jika terjadi sesuatu pada Ansel. Setelah ditinggal pergi oleh Dianti, dia tidak ingin lagi melihat orang yang dekat dengannya tiba-tiba pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Rasanya penyesalan dalam dirinya teramat sulit untuk disingkirkan. Andai saja dia bisa memutar kembali waktu, dia ingin mengucapkan selamat tinggal dan memberikan kesan terbaik untuk neneknya. Ansel tidak pernah menyangka jika Adara akan semarah itu. Dia berusaha memeluk istrinya supaya tidak lagi berteriak histeris namun dia tidak berhasil. Tenaga Adara seolah lebih kuat dari dirinya. "Adara, stop! Maafkan Aku! Aku hanya bercanda tadi. Please, berhenti memukulku!" pinta Ansel."Brengsek! Kamu menyebalkan," Isak Adara. Tanpa sadar dia menghentikan pukulannya lalu terdiam dengan tangisan yang terus berdenging."Maaf. Please
Pemandangan yang sudah biasa ketika semalaman pasangan suami istri berebut untuk saling memuaskan, terlihat menenangkan. Apalagi ketika kaki-kaki Mereka terlihat di di bawah selimut, saling bertautan untuk menghangatkan satu sama lain. Di bawah selimut yang sama, di pelukan yang memabukkan, Adara dan Ansel tidak berniat untuk beranjak dari sana. Meskipun tenaga mereka harus kembali diisi untuk mengantisipasi hari yang panjang, mereka tidak peduli. Adara menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Ansel. Dia masih memejamkan mata. Di bawah sana, rasa ngilu memenuhi dirinya. Wanita itu tidak berniat menghalangi suaminya ketika mereka harus mengulangnya hingga tiga kali dalam semalam. Anggap saja Dia sedang menebus dosa atas kesalahannya beberapa minggu ini. "Jam berapa sih?" gumam Adara. Suaranya teredam oleh dada Ansel tapi Ansel masih bisa mendengarnya. "Jam enam. Kamu mau bangun atau enggak?""Em, tunggu sebentar," jawab Adara pelan."Atau kita libur saja hari ini? Kita kan nggak p
"Sayang, tunggu dulu! Aku udah siapin bekal untuk kamu makan nanti di kantor. Ini Ada oseng ayam suwir pedas dan buah-buahan. Jangan lupa dihabiskan!" pesan Ansel sebelum istrinya berangkat ke kantor. Dia memilih untuk membuatkan bekal karena kemarin Adara berkata kalau dia tidak sempat untuk makan siang. Ansel yang sudah berjanji akan menyiapkan makanan untuk istrinya, rela bangun pagi hanya demi sekotak bekal. Pria itu segera merapikan penampilannya sebelum ikut keluar dari rumah. Adara melihat kotak berwarna biru muda itu dengan tatapan sarat akan kebingungan. "Emangnya aku anak kecil?""Udah, jangan bawel! Bawa aja. Kalau sampai nggak kamu habiskan, kamu akan tahu sendiri akibatnya nanti di rumah. Oke, Sayang?" goda Ansel dengan mata mengerling jenaka. Adara terpaksa menerimanya karena dia harus terburu-buru untuk ke kantor. Ada rapat pagi ini tentang perluasan lahan minimarket di area Bandung yang harus diselesaikan minggu ini juga. Mungkin akhir pekan ini dia akan pergi ke Ba
Ansel terus mengarahkan senter ponselnya pada pintu tangga darurat berharap sang istri segera muncul. Tapi sekian menit ditunggu, sosok Adara tidak juga terlihat. Pria itu panik. Dia menghampiri satpam yang bersiap untuk mengitari gedung tersebut untuk membantu mencari Adara."Ibu Adara belum pulang, Pak? Saya kira tadi sudah turun soalnya Pak Er bilang lantai atas sudah clear," lapor satpam bertubuh tegap itu. Dia baru saja melakukan walkie talkie dengan kawannya untuk melihat keadaan kantor. Er kebetulan ada di atas ketika lampu tiba-tiba padam.Di sanalah Ansel mulai was-was. "Bisa minta tolong Pak Er untuk mencari lagi, Pak? Istri saya belum memberi kabar soalnya." Dia menghidupkan layar ponselnya dan ternyata tidak ada sinyal yang ditemukan."Dari tadi sinyal mati, Pak. Begini saja, Pak. Bapak tunggu di sini, saya akan cari ke atas lewat tangga darurat."Ansel tidak punya pilihan selain mengiyakan. Dia mengangguk. Sembari menunggu, dia mencoba mengirim pesan siapa tahu jaringanny
"Heiii," pekik Ansel dengan mulut penuh makanan. Adara menjejalkan sepotong ayam ke dalam mulutnya sebagai usaha agar dia tidak menjawab pertanyaan darinya."Kalau makan, fokus aja makan jangan banyak bicara," goda Adara. Dia tersenyum geli sembari melihat ke arah lain. Kedekatannya dengan Ansel sudah mengalami perubahan. Adara sendiri mencoba untuk bersikap selayaknya istri karena Ansel selalu membuat dirinya nyaman. Tidak mungkin kan kalau dia harus bersikap egois sementara suaminya berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka? Ansel melihat senyum yang disembunyikan oleh istrinya. Dia pun ikut tersenyum dan mengambil nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang tapi ukurannya benar-benar mini. Dia sanggup menghabiskan beberapa bungkus kalau tidak ingat kalau Adara lebih membutuhkan asupan makanan. Pria itu menoleh pada istrinya, lalu mengulurkan tangan untuk menyeka sebutir nasi yang menempel di ujung bibir istrinya. Begitu istrinya berbalik menatapnya, dia balas tersenyum. "Ngomo
Ansel ingin memperlihatkan kekesalannya karena merasa dibohongi tapi sayangnya dia tidak bisa. Orangtua dan istrinya tengah menatapnya dengan sumringah. Adara memegang sebuah kue yang bertulisan 'Happy Birthday Suamiku' sementara orangtuanya membawa hadiah super besar untuknya.Perlahan pria itu menghampiri barisan pembuat kejutan untuknya."Ayo, buat permohonan! Kamu pasti malu kalau kita bernyanyi kan? Jadi, mintalah sesuatu pada Tuhan," pinta Adara sembari menyorongkan kue tersebut ke depan wajah suaminya. "Awas ya kamu," bisik Ansel iseng. Dia akan membuat perhitungan."Ayo, bisik-bisiknya nanti saja! Buat permohonan lalu kita makan malam," seloroh Felicia. Dia dan Jaka saling berpelukan.Ansel menutup matanya, membuat permohonan untuk kebahagiaan istri dan orang-orang di dekatnya. Dia juga ingin segera diberi kepercayaan untuk jadi ayah. Setelah selesai memanjatkan doa, dia meniup lilinnya."Kamu sengaja mempermainkanku?" tuduh Ansel pada Adara. Pasti urusan ke Bandung hanya omo
Ansel galau. Dia dalam posisi yang sulit karena harus memutuskan antara melanjutkan bisnis orang tuanya sendiri atau bisnis papa mertuanya. Di lain sisi Dia sangat menghargai permintaan Radit kepadanya. Namun melihat sikap Adara yang seolah enggan untuk ditinggalkan, mengharuskan dia memikirkan ulang. Jarak Antara Jakarta dan Singapura tidak terlalu jauh. Kemungkinan besar Ansel masih bisa menanganinya. Itupun kalau istrinya memberikan izin. Haruskah pria itu meminta lebih intens lagi agar dia mendapat restu."Gimana? Apa kamu sudah memutuskan?" tanya Radit ketika dia bertemu dengan Ansel di kantor. Radit bukan sengaja datang tapi secara kebetulan dia melewati didengung perkantoran milik keluarga Ansel."Maaf, Pa. Jujur saja aku tertarik tapi masalahnya Adara kurang setuju Kalau aku bekerja di Singapura. Aku memahami masalahnya. Kita akan jarang bertemu dan otomatis lebih banyak timbul masalah lainnya. Jadi setelah aku pikir-pikir, aku belum siap untuk menjalankan bisnis Papa di sana
"Pak Yusuf? Kamu yakin?" tanya Ansel. Dia meminta supir untuk menepikan mobilnya. Dia dan Adara turun untuk melihat apakah benar mobil yang mengalami kecelakaan Itu adalah mobil Yusuf. Adara sempat takut ketika melihat seseorang dibawa dengan brankar menuju ke arah ambulans. Tapi ternyata dugaannya salah. Pria yang dia maksudkan sedang berdiri sembari bicara dengan petugas kepolisian. "Pak Yusuf?" panggil Adara. Orang yang dipanggil menoleh. "Bu Dara? Kenapa bisa ada di sini? Mau ke Bandung?"Adara mengangguk. "Siapa yang kecelakaan, Pak?""Oh, itu supir mobil itu," tunjuk Yusuf ke arah mobil yang luput dari perhatian Adara. Kondisinya mengkhawatirkan. "Tadi, mobil itu nggak sengaja nyenggol mobil saya. Saya bisa mengatasinya tapi supir mobil itu nggak bisa dan oleng nabrak pohon. Saya yang menghubungi ambulans dan juga polisi untuk membantu.""Tapi Pak Yusuf baik-baik saja kan?" tanya Adara cemas.Yusuf mengangguk pelan. "Agak sakit di kepala tapi tidak apa-apa, Bu.""Yakin, Pak?