"Brengsek!"
Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah."Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka?"Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda.Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak.""Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben.Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu menatap Ben dengan raut wajah menyesal."Brengsek!" umpat Ben pada Ansel. Pria itu melirik sebal pada lawannya. "Lain kali habis kamu!"Lalu Ben pergi. Dia berjanji akan membalas Ansel jika kesempatan datang padanya. Dia menarik gas motornya berulangkali sebelum melesat pergi.Ansel meminta mereka untuk bubar karena kisruh mereka sudah selesai. Dia melirik Adara, "Masuk!"Adara mencak-mencak begitu pantatnya menyentuh jok mobil, "Kamu nggak bisa ya mengalah sama Ben? Biar gimanapun dia itu pacarku, Ansel. Kamu hanya suami kontrakku. Lakukan saja tugas kamu, jangan melewati batas."Kepalan tangan Ansel mengerat pada stir kemudi, "Siapa yang melewati batas? Aku hanya mengikuti permintaan nenek kamu. Kalau aku biarkan dia membawa kamu, aku yang akan kena marah.""Aku tahu posisi kamu, tapi kamu juga harus tahu posisiku. Minta maaf sama Ben. Dia bisa melakukan sesuatu yang buruk sama kamu kalau kalian nggak berdamai," desak Adara.Ansel melirik sengit, "Enak saja. Harusnya kamu minta sama dia bukannya aku. Aku nggak takut sama dia dan nggak takut sama ancaman kamu.""Ansel!"Ansel membelokkan mobilnya dengan tiba-tiba tanpa menurunkan kecepatan. Alhasil kepala Adara hampir terantuk pintu mobil. Wanita itu mengumpat tapi Ansel tidak peduli.Ansel menepikan mobilnya, melepas sabuk pengaman agar bisa leluasa menatap Adara. "Jangan pernah menyuruh-nyuruhku, Dara. Aku bukan suami kamu."Atmosfer semakin menegangkan karena Adara balas menatap, "Bodo amat! Kalau kamu nggak suka disuruh-suruh, sebaiknya kamu jangan ikut campur. Kamu semalaman sama Emma aku nggak pernah protes. Kenapa hanya gara-gara Ben mengajakku pergi, kamu jadi emosi. Kamu mau menang sendiri?""Bukan masalah menang sendiri," tegas Ansel.Mata bulat Adara semakin membulat, "Lalu apa? Egois?""Adara!" ucap Ansel tajam."Apa?""Jangan macam-macam! Untuk dua hari ke depan kita akan tinggal di rumah Nenek Dianti, sebaiknya kamu jangan membuat aku emosi. Terserah kamu mau jalan sama Ben atau sama siapa, asal nenek nggak tahu karena aku juga yang repot. Ngerti?"Wanita itu sudah membuka mulutnya tapi kembali terkunci. Kepalanya melengos ke arah jendela, "Jalan!""Kamu belum jawab pertanyaanku.""Jalan aja kenapa sih?" dumel Adara.Ansel mendesis geram. Bisa-bisa dia berurusan dengan wanita yang bahkan hanya memikirkan dirinya sendiri. Salahnya dia kenapa dia mau menjalin kerjasama yang akan memakan waktu lama dan pasti membuat kepalanya semakin pusing."Terserahlah."Ansel melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, dia tidak akan peduli mau Adara marah atau tidak. Dia hanya ingin pulang.°°°"Dara, ke sini sebentar. Nenek di dapur," panggil Dianti dengan suara lumayan keras karena cucunya sedang berada di lantai dua.Berselang beberapa menit, terdengar suara langkah kaki mendekat. Cara jalannya sudah ketahuan siapa orangnya. Dianti yang sedang menata buah di atas piring meminta Adara untuk mendekat."Kenapa muka kamu kusut begitu? Bertengkar dengan Ansel?"Adara mencoba melebarkan senyumnya tapi tidak berhasil. "Nggak kok, Nek. Dia lagi tidur.""Dia?" ulang Dianti dengan mata menyipit. "Nggak sopan."Adara mencomot satu potongan buah tersebut lalu dikunyahnya. "Biasanya juga aku panggil dia, Nek.""Mas atau panggilan sayang kan bisa? Belajar sopan pada suami. Biar bagaimanapun kalian suami istri. Istri harus patuh pada suaminya dan nggak boleh sembarangan panggil-panggil. Sekali lagi nenek dengar kamu panggil Ansel 'dia', nenek akan mengambil mobil kamu."Kenapa ancaman Dianti selalu sama. Kalau bukan mobil, pasti kartu hitam yang menjadi kebanggaan Adara. Meskipun Adara punya dua kartu seperti itu, tapi dia tidak mau memakainya sembarangan. Selama sang nenek bisa membiayai kehidupannya, kenapa dia harus mengeluarkan uang?Lagi pula siapa lagi yang harus menghabiskan kekayaan keluarga mereka kalau bukan Adara?"Iya, iya. Aku panggil Mas deh lain kali."Mengalah adalah jalan terbaik."Papa kamu balik lagi ke luar negeri. Nenek kan sudah minta kamu untuk mampir sebentar ke sini. Kamunya ngenyel. Apa kamu nggak rindu sama papa kamu!"Adara sudah terbiasa hidup tanpa papanya jadi dia tidak terlalu merindukan sosok ayah. Kehadiran Dianti sudah lebih dari cukup. "Rindu ... uang jajannya."Dianti hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan asal cucunya. "Kamu kupas kiwi sama apel. Nenek mau ke kamar sebentar. Nanti kalau makan malam udah siap, kamu panggil nenek."Adara mengangguk patuh. Sekilas dia menyesal kenapa membuat hati neneknya berkabut. Biar bagaimanapun Dianti adalah orangtua papanya. Mana ada ibu yang suka anaknya disakiti? Ya, meskipun bukan dalam artian benar-benar sakit.°°°"DARAA!"Adara baru masuk kamar untuk membangunkan suami pemalasnya itu ketika teriakan Ansel terdengar riuh. "Ada apa?""Ambilkan handuk!""Di almari sana banyak, Sel. Cari!"Adara melongokkan kepalanya ke balkon sebelum menutupnya. Dia tidak mendengar suara Ansel lagi. Mungkin pria itu sudah mendapatkannya. Tidak berselang lama terdengar bunyi pintu dibuka.Ceklek!Adara menoleh. Yang dia lihat hanya bagian rambut depan Ansel dan muka pria itu. "Ngapain lagi?""Nggak ada. Habis. Nggak kamu cek ya?""Ngapain aku ngecek kalau ada mbak? Kamu yang kurang bisa mencari barang mungkin. Di laci paling bawah, laci besar. Stok handuk ada di sana semua."Ansel menghembuskan napas kasar, "Kalau ada ngapain aku nyari? Ambilin! Tapi kalau kamu mau melihatku nggak pakai baju ya nggak usah." Pria itu hampir membuka lebih lebar lagi pintunya bersamaan dengan teriakan Adara."Oke, aku ambilin. Bisanya ngancam," sungut Adara. Dia keluar dari kamar dan turun tergesa ke area cuci. Dia berpapasan dengan asisten rumah tangga yang sangat dia kenal. "Mbak Zum lupa naruh handuk kering di kamar mandiku ya?"Zum menggelengkan kepalanya, "Kata Nyonya besar saya nggak boleh meladeni Non dan Den Ansel. Urusan kamar menjadi urusan kalian. Kalau soal makanan saya wajib menyiapkan.""Mbak kan bisa bantu aku diam-diam. Aku kewalahan kalau ngurus kamar segede itu sendirian," keluh Adara pura-pura lelah.Zum bukan orang yang suka membangkang jadi meskipun mereka sudah dekat selama lima tahun terakhir ini, Zum tidak akan mau mengacuhkan perintah Dianti hanya untuk menyenangkan Adara.Zum hanya bisa tersenyum melihat kelucuan Adara. Setelah yakin tidak bisa mengambil hati Zum, Adara kembali naik ke kamar dengan beberapa tumpuk handuk kering.Tok tok!Ceklek!"Mana?" tanya Ansel masih dengan kepala melongoknya."Kamu janji minta maaf sama Ben, baru aku kasih handuk ini," ucap Adara. Pasalnya Ben tidak mau menerima teleponnya. Wanita itu agak uring-uringan kalau Ben sudah merajuk.Seketika muka jahil Ansel meredup, "Nggak!""Aku akan lakukan apapun agar kamu mau minta maaf, tapi bukan dalam artian tanda kutip ya? Yang wajar-wajar saja.""Kalau aku minta cium?""Hah?""Satu ciuman saja.""Di-dimana?""Bibir.""Hah?"°°°Seketika Adara memasukkan permukaan bibirnya ke dalam, mengapitnya erat. Dia bergumam sesuatu tapi tidak terdengar seperti ucapan. "Nggak paham," sungut Ansel.Adara menormalkan bibirnya setengah takut. Matanya memicing tajam, "Nggak bisa! Ini hanya untuk Ben.""Ya sudah."Blam!Ansel menutup pintunya dengan sedikit tekanan. Dia bermain tarik ulur. Dia sangat yakin kalau Adara tidak mungkin mau mengikuti kemauannya karena ego wanita itu yang tinggi.Justru itulah yang dicari Ansel. Dia sengaja membuat syarat sulit agar Adara tidak lagi menekannya. Ansel tidak mungkin minta maaf pada pria yang jelas-jelas bukan satu level dengannya."Ansel," panggil Adara."Berubah pikiran?"Lama diam lalu Adara mengetuk pintu itu lagi. "Ba-baiklah."Hah? Adara setuju? Ansel membuka pintunya lagi. "Kamu mau?"Muka merengut Adara, ketidakrelaannya terekam jelas di mata wanita itu. Dia mengulurkan salah satu handuknya pada Ansel. "Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi."°°°Suara dentingan sendo
"Ada apa, Dara? Kenapa muka kamu pucat?" tanya Dianti pelan. Dilihatnya muka Adara tidak kembali cerah setelah diam-diam melihat ponselnya. Makan malam mereka masih belum selesai. Pasangan suami istri yang berniat melakukan kerjasama dengan mereka tampaknya senang berbicara dengan Adara. Buktinya mereka tidak bisa membiarkan wanita muda itu untuk diam."Eng, nggak apa-apa, Nek. Aku boleh ke belakang sebentar?" tanya Adara. Mukanya pucat, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dianti. Untuk sementara dia hanya harus mengkonfirmasi kabar itu benar atau tidak."Pergilah!"Adara meminta maaf pada tamu mereka lalu bergegas untuk ke luar dari meja pertemuan itu. Dia berjalan cepat, kecemasan melanda dirinya. Entah Ben atau Ansel yang dia khawatirkan, dia belum bisa menjelaskan.Setelah sampai ke area toilet, wanita itu tidak masuk. Dia hanya berdiri di lorong menuju toilet. "Halo, ini siapa?"Terdengar suara riuh di seberang sana. Adara bisa mendengar suara sirine ambulans yang memekakka
"Bikin jantungan kamu, Jo," rutuk Adara pelan. Gemuruh di dadanya membuat dia tidak bisa bernapas dengan benar. Jo mengisyaratkan padanya dengan kedipan mata, menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan terpojok. Pria itu lalu berbalik tapi lengannya mencoba menghalangi tirai itu terbuka. "Iya, Nek."Dianti melirik tirai yang tertutup itu dengan kening mengerut, "Ini ponsel kamu?"Jo melihat benda di tangan Dianti dengan cermat. Dia langsung bisa mengenali ponsel siapa itu. "Oh iya, Nek. Saya cari dari tadi." Secepat kilat dia mengambil benda itu.Dianti menunjuk lantai persis di sampingnya, "Tadi jatuh. Kebetulan nenek lihat.""Terimakasih, Nek. Kalau bukan karena nenek, ponsel saya pasti sudah hilang." Jo mencoba bersikap normal meskipun dia tidak sanggup menahan kegugupannya. Dua orang di belakangnya benar-benar membuat dia mati kutu. Kenapa mereka harus berpelukan di tempat yang tidak seharusnya. Bagaimana kalau dia kalah selangkah tadi? Bisa-bisa hidupnya dan hidup Ben habis dalam
"Mulut kalau nggak tahu apa-apa itu jangan berisik! Asal kalau ngomong! Emang kamu dekat sama Ben sampai-sampai bisa mengatainya brengsek? Kamu pikir kamu nggak brengsek?" sungut Adara. Dia kesal bukan main. Selalu saja Ben yang jadi sasaran kemarahan Ansel.Adara tahu dulu Ben memang begitu, tapi sekarang prianya sudah banyak berubah. Andai semua orang bisa menghargai perubahannya sudah pasti sekarang yang jadi suaminya bukan Ansel. Ansel bergeming. Pukulan kecil itu tidak berarti apa-apa baginya tapi hatinya terluka. "Sudahlah. Aku nggak mau berantem."Pria itu berjalan gontai ke arah ranjang, menarik selimut tebalnya dan digelar di lantai tepat di samping ranjang. Bantal miliknya juga dibawa serta. Tanpa mengucap sepatah katapun dia membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dinginnya lantai. Adara tidak berusaha menahan Ansel. Kemarahannya lebih mendominasi. Dia mencari selimut lain sebelum membaringkan tubuhnya. Pikirannya menggelayut kemana-mana tapi bukan tentang Ansel. Adara lebih
Adara tidak salah dengar kan? Ada angin apa Ansel mau mengorbankan waktunya untuk membuatkan nasi goreng untuk Ben? Jangan-jangan ada udang di balik kepalanya."Nggak! Kamu pikir aku nggak tahu niat kamu? Siapa yang tahu kalau kamu ngasih sesuatu di dalam makanannya nanti?" sungut Adara curiga.Ansel lelah dituduh. "Ya sudah kalau kamu nggak mau. Daah, aku mau pergi."Adara berpikir keras. Dia memang tidak percaya dengan Ansel tapi kalau dia menanganinya sendiri juga dia tidak bisa menjamin. Lagi pula dia belum tahu apa Ansel bisa masak atau tidak. Coba saja? "Tunggu!"Ansel berhenti, "Apa?" Nada bicaranya berlagak kasar tapi sebenarnya dia berusaha menahan geli. "Eng, itu, oke."Pria itu berbalik, "Apanya yang oke?""Katanya tadi mau bantuin?""Katanya tadi takut diracun?""Bukan begitu. Aku yakin kamu nggak mungkin tega melakukannya," ucap Adara pelan. Dia juga bingung harus menjawab bagaimana. "Anggap saja aku percaya sama kamu."Ansel menatap Adara penuh selidik. "Oke."Sebelum
Brakk!!Itu bukan suara kotak bekal yang dilempar ke lantai tapi tutup kotak bekal yang sengaja dibuang oleh Adara. Melihat muka Ansel, dia jadi tidak sabar untuk menonjoknya. Pria itu —dengan muka ngeselin— menatapnya tanpa dosa. Catat! Tanpa dosa!"Gila!" rutuk Adara dengan napas memburu. Dia sudah berusaha meredam emosinya dengan pergi ke kantor tapi di tengah jalan dia memutar balik arah. Dia tidak sabar menunggu sampai malam untuk marah-marah pada Ansel."Siapa? Kamu? Ya iyalah kamu pasti sudah gila! Kalau nggak mana mungkin kamu lempar barang ke depan mukaku," jawab Ansel santai. Game di ponselnya lebih menyenangkan ketimbang meladeni Adara.Brakk!!Kali ini bunyi gebrakan meja ruang duduk. "Kamu yang gula! Harusnya aku udah waspada waktu kamu bilang mau bantu. Ternyata ini yang namanya bantuan? Hah? Bantuan menyesatkan? Apa yang kamu tambahin ke makanan Ben?"Ansel masih belum mendongak, "Emangnya aku tambahin apa?"Srett!Adara mengambil benda berisik di tangan Ansel tanpa aba
"Hai, kenalin aku Emma," ucap Emma pada pria yang tidak lain adalah kekasihnya. Dia menyalami Ansel dengan tidak sabaran. "Kamu?""An-Ansel." Ansel gugup. Bagaimana bisa Emma datang ke acara makan malam keluarganya? Emma juga tidak mengirim pesan padanya sekedar memberitahu. Emma tersenyum manis, lebih mirip ingin menerkam Ansel karena ketahuan memakai pakaian couple dengan Adara. Wanita itu menoleh pada Adara. Terpaksa dia mengulurkan tangannya, "Emma.""Adara." 'Aku yakin dia sengaja datang untuk memanas-manasi suasana. Dari mana juga mereka bisa jadi teman karena setahuku Mimi bukan orang yang mudah berteman. Jangan-jangan Mimi dipengaruhi? Paling juga Ansel yang mengajak pacarnya itu' Adara tidak bisa mengontrol pikiran buruknya terhadap Emma."Duduk, Kak," ucap Mimi pada Emma. Emma memamerkan senyum manisnya lagi ketika dia hendak bergeser ke samping Adara. Sengaja memang! Dia hanya ingin tahu apa Adara bisa ngamuk kalau dia berbuat sesuatu.Kalau tujuan Emma untuk membuat Ada
"Sakit," pekik Adara. Kepalanya berdenyut dalam hitungan detik, berputar seperti bianglala. Ansel juga sama kondisinya tapi dia lebih parah dari Adara karena dia berjuang mati-matian untuk menyelamatkan wanita itu.Sedikit putaran mampu menghalangi kepala Adara mencium lantai marmer di bawahnya. Hanya bagian pinggang dan kaki yang berhasil menghantam benda dingin itu, selebihnya Ansel mengorbankan lengan dan punggungnya untuk istrinya.Beruntung kepala pria itu masih aman. Sedikit saja benturan bisa mengakibatkan aliran cairan merah di sana. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Ansel. Dia beringsut duduk sembari membantu Adara untuk bangkit. Mereka saling berhadapan tanpa jarak. Beberapa kali terhitung sejak mereka menikah, mereka sering melupakan kenyataan bahwa mereka bukan teman baik. Ansel bergerak cepat melihat kepala Adara, takut jika ada luka serius di sana. "Apa kamu perlu ke dokter?"Adara menggeleng, "Kamu yang harusnya ke dokter. Coba aku lihat dulu."Baru kali ini Ansel melihat