Share

7 - Satu Ciuman Saja

"Brengsek!"

Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah.

"Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.

Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka?

"Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda.

Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak."

"Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben.

Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"

Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu menatap Ben dengan raut wajah menyesal.

"Brengsek!" umpat Ben pada Ansel. Pria itu melirik sebal pada lawannya. "Lain kali habis kamu!"

Lalu Ben pergi. Dia berjanji akan membalas Ansel jika kesempatan datang padanya. Dia menarik gas motornya berulangkali sebelum melesat pergi.

Ansel meminta mereka untuk bubar karena kisruh mereka sudah selesai. Dia melirik Adara, "Masuk!"

Adara mencak-mencak begitu pantatnya menyentuh jok mobil, "Kamu nggak bisa ya mengalah sama Ben? Biar gimanapun dia itu pacarku, Ansel. Kamu hanya suami kontrakku. Lakukan saja tugas kamu, jangan melewati batas."

Kepalan tangan Ansel mengerat pada stir kemudi, "Siapa yang melewati batas? Aku hanya mengikuti permintaan nenek kamu. Kalau aku biarkan dia membawa kamu, aku yang akan kena marah."

"Aku tahu posisi kamu, tapi kamu juga harus tahu posisiku. Minta maaf sama Ben. Dia bisa melakukan sesuatu yang buruk sama kamu kalau kalian nggak berdamai," desak Adara.

Ansel melirik sengit, "Enak saja. Harusnya kamu minta sama dia bukannya aku. Aku nggak takut sama dia dan nggak takut sama ancaman kamu."

"Ansel!"

Ansel membelokkan mobilnya dengan tiba-tiba tanpa menurunkan kecepatan. Alhasil kepala Adara hampir terantuk pintu mobil. Wanita itu mengumpat tapi Ansel tidak peduli.

Ansel menepikan mobilnya, melepas sabuk pengaman agar bisa leluasa menatap Adara. "Jangan pernah menyuruh-nyuruhku, Dara. Aku bukan suami kamu."

Atmosfer semakin menegangkan karena Adara balas menatap, "Bodo amat! Kalau kamu nggak suka disuruh-suruh, sebaiknya kamu jangan ikut campur. Kamu semalaman sama Emma aku nggak pernah protes. Kenapa hanya gara-gara Ben mengajakku pergi, kamu jadi emosi. Kamu mau menang sendiri?"

"Bukan masalah menang sendiri," tegas Ansel.

Mata bulat Adara semakin membulat, "Lalu apa? Egois?"

"Adara!" ucap Ansel tajam.

"Apa?"

"Jangan macam-macam! Untuk dua hari ke depan kita akan tinggal di rumah Nenek Dianti, sebaiknya kamu jangan membuat aku emosi. Terserah kamu mau jalan sama Ben atau sama siapa, asal nenek nggak tahu karena aku juga yang repot. Ngerti?"

Wanita itu sudah membuka mulutnya tapi kembali terkunci. Kepalanya melengos ke arah jendela, "Jalan!"

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

"Jalan aja kenapa sih?" dumel Adara.

Ansel mendesis geram. Bisa-bisa dia berurusan dengan wanita yang bahkan hanya memikirkan dirinya sendiri. Salahnya dia kenapa dia mau menjalin kerjasama yang akan memakan waktu lama dan pasti membuat kepalanya semakin pusing.

"Terserahlah."

Ansel melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, dia tidak akan peduli mau Adara marah atau tidak. Dia hanya ingin pulang.

°°°

"Dara, ke sini sebentar. Nenek di dapur," panggil Dianti dengan suara lumayan keras karena cucunya sedang berada di lantai dua.

Berselang beberapa menit, terdengar suara langkah kaki mendekat. Cara jalannya sudah ketahuan siapa orangnya. Dianti yang sedang menata buah di atas piring meminta Adara untuk mendekat.

"Kenapa muka kamu kusut begitu? Bertengkar dengan Ansel?"

Adara mencoba melebarkan senyumnya tapi tidak berhasil. "Nggak kok, Nek. Dia lagi tidur."

"Dia?" ulang Dianti dengan mata menyipit. "Nggak sopan."

Adara mencomot satu potongan buah tersebut lalu dikunyahnya. "Biasanya juga aku panggil dia, Nek."

"Mas atau panggilan sayang kan bisa? Belajar sopan pada suami. Biar bagaimanapun kalian suami istri. Istri harus patuh pada suaminya dan nggak boleh sembarangan panggil-panggil. Sekali lagi nenek dengar kamu panggil Ansel 'dia', nenek akan mengambil mobil kamu."

Kenapa ancaman Dianti selalu sama. Kalau bukan mobil, pasti kartu hitam yang menjadi kebanggaan Adara. Meskipun Adara punya dua kartu seperti itu, tapi dia tidak mau memakainya sembarangan. Selama sang nenek bisa membiayai kehidupannya, kenapa dia harus mengeluarkan uang?

Lagi pula siapa lagi yang harus menghabiskan kekayaan keluarga mereka kalau bukan Adara?

"Iya, iya. Aku panggil Mas deh lain kali."

Mengalah adalah jalan terbaik.

"Papa kamu balik lagi ke luar negeri. Nenek kan sudah minta kamu untuk mampir sebentar ke sini. Kamunya ngenyel. Apa kamu nggak rindu sama papa kamu!"

Adara sudah terbiasa hidup tanpa papanya jadi dia tidak terlalu merindukan sosok ayah. Kehadiran Dianti sudah lebih dari cukup. "Rindu ... uang jajannya."

Dianti hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan asal cucunya. "Kamu kupas kiwi sama apel. Nenek mau ke kamar sebentar. Nanti kalau makan malam udah siap, kamu panggil nenek."

Adara mengangguk patuh. Sekilas dia menyesal kenapa membuat hati neneknya berkabut. Biar bagaimanapun Dianti adalah orangtua papanya. Mana ada ibu yang suka anaknya disakiti? Ya, meskipun bukan dalam artian benar-benar sakit.

°°°

"DARAA!"

Adara baru masuk kamar untuk membangunkan suami pemalasnya itu ketika teriakan Ansel terdengar riuh. "Ada apa?"

"Ambilkan handuk!"

"Di almari sana banyak, Sel. Cari!"

Adara melongokkan kepalanya ke balkon sebelum menutupnya. Dia tidak mendengar suara Ansel lagi. Mungkin pria itu sudah mendapatkannya. Tidak berselang lama terdengar bunyi pintu dibuka.

Ceklek!

Adara menoleh. Yang dia lihat hanya bagian rambut depan Ansel dan muka pria itu. "Ngapain lagi?"

"Nggak ada. Habis. Nggak kamu cek ya?"

"Ngapain aku ngecek kalau ada mbak? Kamu yang kurang bisa mencari barang mungkin. Di laci paling bawah, laci besar. Stok handuk ada di sana semua."

Ansel menghembuskan napas kasar, "Kalau ada ngapain aku nyari? Ambilin! Tapi kalau kamu mau melihatku nggak pakai baju ya nggak usah." Pria itu hampir membuka lebih lebar lagi pintunya bersamaan dengan teriakan Adara.

"Oke, aku ambilin. Bisanya ngancam," sungut Adara. Dia keluar dari kamar dan turun tergesa ke area cuci. Dia berpapasan dengan asisten rumah tangga yang sangat dia kenal. "Mbak Zum lupa naruh handuk kering di kamar mandiku ya?"

Zum menggelengkan kepalanya, "Kata Nyonya besar saya nggak boleh meladeni Non dan Den Ansel. Urusan kamar menjadi urusan kalian. Kalau soal makanan saya wajib menyiapkan."

"Mbak kan bisa bantu aku diam-diam. Aku kewalahan kalau ngurus kamar segede itu sendirian," keluh Adara pura-pura lelah.

Zum bukan orang yang suka membangkang jadi meskipun mereka sudah dekat selama lima tahun terakhir ini, Zum tidak akan mau mengacuhkan perintah Dianti hanya untuk menyenangkan Adara.

Zum hanya bisa tersenyum melihat kelucuan Adara. Setelah yakin tidak bisa mengambil hati Zum, Adara kembali naik ke kamar dengan beberapa tumpuk handuk kering.

Tok tok!

Ceklek!

"Mana?" tanya Ansel masih dengan kepala melongoknya.

"Kamu janji minta maaf sama Ben, baru aku kasih handuk ini," ucap Adara. Pasalnya Ben tidak mau menerima teleponnya. Wanita itu agak uring-uringan kalau Ben sudah merajuk.

Seketika muka jahil Ansel meredup, "Nggak!"

"Aku akan lakukan apapun agar kamu mau minta maaf, tapi bukan dalam artian tanda kutip ya? Yang wajar-wajar saja."

"Kalau aku minta cium?"

"Hah?"

"Satu ciuman saja."

"Di-dimana?"

"Bibir."

"Hah?"

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status