Beranda / Romansa / Bukan Jodoh Idaman / 6 - Adara Bukan Barang

Share

6 - Adara Bukan Barang

Penulis: Inthary
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-04 04:53:19

"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.

Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?"

"Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.

Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?"

"Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti.

"Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."

Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari sorot matanya dia terlihat merindukan kekasihnya, "Rindu mana bisa ditahan? Naiklah! Mertua kamu melihat dari jendela."

Adara was-was. Memang benar Felicia tidak mengatakan apapun tapi dia hanya tidak tahu apa yang sedang dibatin oleh mertuanya. Secepat mungkin dia naik, tanpa menyentuh ujung baju Ben dia meminta sang kekasih untuk tancap gas.

Ben menghentikan kendaraannya di depan warung tenda pinggir jalan. "Kamu marah?"

"Eng-nggak," ucap Adara singkat.

"Kalau jawabannya sudah satu kata berarti kamu marah. Maaf ya, aku benar-benar nggak ada maksud lain. Dari pada kamu repot bawa mobil kan lebih baik aku jemput. Lain kali aku hubungi kamu dulu kalau mau jemput. Oke?" Ben turun lebih dulu, memutar tubuhnya agar dia bisa melihat wajah Adara. "Duh, kalau marah begini jadi pengen aku gigit."

Adara merengut, "Emang kamu drakula?"

"Aku bisa jadi apapun. Sekarang, kita sarapan dulu." Sebelum Adara melepas helmnya, Ben lebih dulu melakukannya. Hal kecil yang selalu bisa menyentuh hati Adara membuat wanita itu tidak bisa berpaling. Dia tidak sanggup jauh dari Ben meskipun Dianti menolak hubungan mereka.

"Bubur mau kan?" tanya Ben dengan senyum lebarnya. Mereka bergandengan tangan masuk ke dalam warung yang tidak pernah sepi pengunjung itu. Adara hanya bisa pasrah ketika sang kekasih berusaha membuat hatinya membaik.

°°°

"Kamu berangkat sama siapa tadi?" tanya Dianti tiba-tiba. Wanita itu berdiri di belakang pintu ruangan Adara.

Adara berjengit takut, "Nenek. Ngagetin deh."

Dianti memicingkan matanya, "Berangkat sama siapa?"

"Sama ... ojek online, Nek." Hanya itu alibi yang terpikirkan oleh Adara. Kalau dia bilang teman, Dianti tidak akan percaya.

"Ojek online tapi kok nggak pakai jaket ojek online? Penampilannya juga lebih mirip pengangguran. Jangan-jangan itu pacar kamu yang hanya mau memanfaatkan kamu? Yang lebih mirip preman ketimbang pekerja keras."

Mampus! Adara harus berkelit apalagi untuk menyakinkan Dianti. Idenya buntu. Dia juga tidak memperkirakan sang nenek akan datang ke kantornya. Padahal biasanya Dianti hanya datang di hari Kamis.

"Nek, ini nggak ada sangkut pautnya sama Ben," ucap Adara.

"Tentu saja ada. Setelah nenek pikir-pikir, perawakannya mirip dia. Kamu kenapa sih, Dara? Minta tolong Ansel buat anterin kan bisa. Kemana suami kamu sampai-sampai kamu mint bantuan orang lain?"

"Kenapa sih nenek nggak percaya? Dia bukan Ben, Nek. Yang tadi itu ojek online yang aku pesan lewat aplikasi."

"Kenapa bisa kamu pakai ojek kalau kamu saja punya mobil. Alasan kamu benar-benar nggak masuk akal. Pokoknya sekali ini saja nenek menolerir kamu. Lain kalau nenek sampai tahu kamu jalan sama laki-laki preman itu, nenek nggak akan tinggal diam," ancam Dianti. Raut kesalnya tidak bisa dikendalikan. Setiap kali pembahasan mereka berakhir pada Ben, kepalanya selalu pusing.

Dianti akhirnya pergi sambil mengomel. "Padahal tadi aku mau mengejutkan Dara karena biasanya dia paling nggak suka ditengok di kantor, tapi malah aku yang kena kejutan. Apa aku perlu memberi peringatan pada Ben kalau dia nggak boleh lagi menemui Adara?"

Niatan Dianti untuk mengancam Ben memang hampir pernah terlaksana tapi dia berpikir ulang. Kalau sampai Ben melampiaskan kekesalannya pada Adara, Dianti tidak akan bisa hidup dengan tenang.

°°°

Ansel terburu-buru masuk ke dalam rumah Dianti karena panggilan wanita itu tadi. Dia sempat bersitegang dengan Emma karena dia harus pergi di tengah acara jalan-jalan mereka.

"Kamu nggak adil. Kenapa urusan Adara kamu dahulukan tapi urusan kita kamu sepelekan. Sebenarnya kamu itu masih cinta sama aku atau nggak sih, Sel? Apa jangan-jangan selama beberapa hari ini kamu sedih mencintai Adara?" sungut Emma. Bibirnya meruncing tajam, sudah pasti dia menggunakan nada bicara tinggi agar Ansel tahu seberapa marah dirinya.

"Bukan begitu, Sayang. Ini nenek Dianti yang telepon. Kalau bukan karena nenek, aku juga nggak mungkin pulang cepat. Kita ganti lain hari saja ya? Aku akan turutin kemauan kamu."

Emma sedikit melunak, "Kemana pun?"

"Kemanapun."

"Baiklah. Pergilah kalau begitu."

Sebelum pergi, Ansel masih sempat mengecup kening Emma untuk membujuk kekasihnya agar tidak marah lagi.

Ansel mengetuk pintu kamar Dianti, menunggu di depan pintu dengan penasaran.

Ceklek!

"Ada apa, Nek? Nenek butuh sesuatu?"

"Kamu kemana?"

Tembakan Dianti tepat sasaran. Kening Ansel sedikit mengerut. Apa Adara mengadu? "Ke ... itu, Nek, ke rumah teman. Ada yang mau dibicarakan soal bisnis."

Dianti meminta Ansel untuk duduk. Mereka saling berhadapan. "Kenapa kamu nggak mengantar Adara dulu ke kantor, baru kamu pergi?"

Kening Ansel semakin berlipat, "Aku sudah bicara sama Adara kalau aku ada urusan, Nek. Memangnya Adara nggak cerita?"

"Pokoknya nenek minta, mulai sekarang kamu harus antar jemput Adara," tekan Dianti.

'Dia buat masalah apa sih sampai harus merepotkanku?' batin Ansel.

"Adara bawa mobil sendiri biasanya, Nek."

"Nenek tahu tapi nenek mau kamu antar jemput dia. Takutnya mantan pacar premannya itu mengganggunya lagi. Tolong, Ansel! Nenek hanya percaya sama kamu. Jangan sampai nenek lihat dia pergi sendiri."

Ansel bisa melihat kecemasan Dianti, tapi bukan berarti dia bisa begitu saja mengiyakan. Emma bisa ngamuk kalau tahu kebijakan baru yang dilontarkan oleh Dianti. Kenyataan dia mangkir dari acara jalan-jalan mereka saja, Emma marah besar. Bagaimana kalau wanita itu tahu aturan baru Dianti.

"Kenapa kamu nggak jawab, Ansel? Kamu keberatan?" tanya Dianti dengan pandangan bertanya-tanya.

"Tentu saja nggak, Nek. Aku kan suami Adara, jadi memang wajib melakukan tugas mengantar jemput."

"Jangan lupa mulai Minggu depan, kamu bergabung di kantor ya? Nenek sudah kosongkan posisi yang pantas untuk kamu," ucap Dianti.

Ansel mengangguk, "Baik, Nek."

"Kalian nginap di sini kan? Kamu nggak perlu ke rumah orang tua kamu karena nenek sudah siapkan semua barang-barang kalian. Biar yang di sana tetap di sana. Dari pada bawa bolak-balik," jelas Dianti.

Ucapan Dianti tidak bisa terbantahkan. Ansel sekali lagi mengangguk pada wanita yang sudah membuat Adara menjadi sosok tegar seperti sekarang.

°°°

"Kenapa kamu yang jemput?" tanya Adara bingung ketika melihat sang suami menunggunya di depan pintu utama gedung perkantoran itu.

Ansel membuka kacamatanya, "Siapa suruh kamu buat ulah?"

Adara tidak mengerti dengan tuduhan itu, "Maksudnya?"

"Kamu diantar pacar preman kamu itu kan pagi tadi?"

"Kok kamu tahu?"

"Nenek yang cerita dan aku diminta antar jemput kamu. Naiklah! Aku udah gerah di sini dari tadi," pinta Ansel dengan gelengan kepala terarah pada mobil.

Belum sempat mereka masuk mobil, kendaraan roda dua dengan raungan knalpot bising menghampiri mereka. Pria yang tidak asing lagi itu turun, menarik lengan Adara.

"Ikut aku!"

"Lepas! Adara bukan barang yang bisa kamu bawa seenaknya. Kamu lupa siapa aku dan siapa kamu?" tantang Ansel.

Bugh!

°°°

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Jodoh Idaman   108 — Serrani Permata Khairi

    "Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu

  • Bukan Jodoh Idaman   107 — Ya Tuhan, Dia Benar-benar Akan Menikah?

    Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser

  • Bukan Jodoh Idaman   106 — Apa Ini Yang Namanya Ngidam Aneh-aneh?

    "Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den

  • Bukan Jodoh Idaman   105 — Jadi Dengan Itu Kamu Mengancam Mimi?

    "Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh

  • Bukan Jodoh Idaman   104 — Ya Tuhan, Suamikuuu!

    "Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl

  • Bukan Jodoh Idaman   103 — Misi Selesai!

    "Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama

  • Bukan Jodoh Idaman   102 — Kakak, Aku Besok Menikah!

    "Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili

  • Bukan Jodoh Idaman   101 — Yang Anda Paksa Untuk Berhubungan

    Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un

  • Bukan Jodoh Idaman   100 — Kak, Aku Takut Hamil

    Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status