"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.
Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?""Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?""Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti."Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari sorot matanya dia terlihat merindukan kekasihnya, "Rindu mana bisa ditahan? Naiklah! Mertua kamu melihat dari jendela."Adara was-was. Memang benar Felicia tidak mengatakan apapun tapi dia hanya tidak tahu apa yang sedang dibatin oleh mertuanya. Secepat mungkin dia naik, tanpa menyentuh ujung baju Ben dia meminta sang kekasih untuk tancap gas.Ben menghentikan kendaraannya di depan warung tenda pinggir jalan. "Kamu marah?""Eng-nggak," ucap Adara singkat."Kalau jawabannya sudah satu kata berarti kamu marah. Maaf ya, aku benar-benar nggak ada maksud lain. Dari pada kamu repot bawa mobil kan lebih baik aku jemput. Lain kali aku hubungi kamu dulu kalau mau jemput. Oke?" Ben turun lebih dulu, memutar tubuhnya agar dia bisa melihat wajah Adara. "Duh, kalau marah begini jadi pengen aku gigit."Adara merengut, "Emang kamu drakula?""Aku bisa jadi apapun. Sekarang, kita sarapan dulu." Sebelum Adara melepas helmnya, Ben lebih dulu melakukannya. Hal kecil yang selalu bisa menyentuh hati Adara membuat wanita itu tidak bisa berpaling. Dia tidak sanggup jauh dari Ben meskipun Dianti menolak hubungan mereka."Bubur mau kan?" tanya Ben dengan senyum lebarnya. Mereka bergandengan tangan masuk ke dalam warung yang tidak pernah sepi pengunjung itu. Adara hanya bisa pasrah ketika sang kekasih berusaha membuat hatinya membaik.°°°"Kamu berangkat sama siapa tadi?" tanya Dianti tiba-tiba. Wanita itu berdiri di belakang pintu ruangan Adara.Adara berjengit takut, "Nenek. Ngagetin deh."Dianti memicingkan matanya, "Berangkat sama siapa?""Sama ... ojek online, Nek." Hanya itu alibi yang terpikirkan oleh Adara. Kalau dia bilang teman, Dianti tidak akan percaya."Ojek online tapi kok nggak pakai jaket ojek online? Penampilannya juga lebih mirip pengangguran. Jangan-jangan itu pacar kamu yang hanya mau memanfaatkan kamu? Yang lebih mirip preman ketimbang pekerja keras."Mampus! Adara harus berkelit apalagi untuk menyakinkan Dianti. Idenya buntu. Dia juga tidak memperkirakan sang nenek akan datang ke kantornya. Padahal biasanya Dianti hanya datang di hari Kamis."Nek, ini nggak ada sangkut pautnya sama Ben," ucap Adara."Tentu saja ada. Setelah nenek pikir-pikir, perawakannya mirip dia. Kamu kenapa sih, Dara? Minta tolong Ansel buat anterin kan bisa. Kemana suami kamu sampai-sampai kamu mint bantuan orang lain?""Kenapa sih nenek nggak percaya? Dia bukan Ben, Nek. Yang tadi itu ojek online yang aku pesan lewat aplikasi.""Kenapa bisa kamu pakai ojek kalau kamu saja punya mobil. Alasan kamu benar-benar nggak masuk akal. Pokoknya sekali ini saja nenek menolerir kamu. Lain kalau nenek sampai tahu kamu jalan sama laki-laki preman itu, nenek nggak akan tinggal diam," ancam Dianti. Raut kesalnya tidak bisa dikendalikan. Setiap kali pembahasan mereka berakhir pada Ben, kepalanya selalu pusing.Dianti akhirnya pergi sambil mengomel. "Padahal tadi aku mau mengejutkan Dara karena biasanya dia paling nggak suka ditengok di kantor, tapi malah aku yang kena kejutan. Apa aku perlu memberi peringatan pada Ben kalau dia nggak boleh lagi menemui Adara?"Niatan Dianti untuk mengancam Ben memang hampir pernah terlaksana tapi dia berpikir ulang. Kalau sampai Ben melampiaskan kekesalannya pada Adara, Dianti tidak akan bisa hidup dengan tenang.°°°Ansel terburu-buru masuk ke dalam rumah Dianti karena panggilan wanita itu tadi. Dia sempat bersitegang dengan Emma karena dia harus pergi di tengah acara jalan-jalan mereka."Kamu nggak adil. Kenapa urusan Adara kamu dahulukan tapi urusan kita kamu sepelekan. Sebenarnya kamu itu masih cinta sama aku atau nggak sih, Sel? Apa jangan-jangan selama beberapa hari ini kamu sedih mencintai Adara?" sungut Emma. Bibirnya meruncing tajam, sudah pasti dia menggunakan nada bicara tinggi agar Ansel tahu seberapa marah dirinya."Bukan begitu, Sayang. Ini nenek Dianti yang telepon. Kalau bukan karena nenek, aku juga nggak mungkin pulang cepat. Kita ganti lain hari saja ya? Aku akan turutin kemauan kamu."Emma sedikit melunak, "Kemana pun?""Kemanapun.""Baiklah. Pergilah kalau begitu."Sebelum pergi, Ansel masih sempat mengecup kening Emma untuk membujuk kekasihnya agar tidak marah lagi.Ansel mengetuk pintu kamar Dianti, menunggu di depan pintu dengan penasaran.Ceklek!"Ada apa, Nek? Nenek butuh sesuatu?""Kamu kemana?"Tembakan Dianti tepat sasaran. Kening Ansel sedikit mengerut. Apa Adara mengadu? "Ke ... itu, Nek, ke rumah teman. Ada yang mau dibicarakan soal bisnis."Dianti meminta Ansel untuk duduk. Mereka saling berhadapan. "Kenapa kamu nggak mengantar Adara dulu ke kantor, baru kamu pergi?"Kening Ansel semakin berlipat, "Aku sudah bicara sama Adara kalau aku ada urusan, Nek. Memangnya Adara nggak cerita?""Pokoknya nenek minta, mulai sekarang kamu harus antar jemput Adara," tekan Dianti.'Dia buat masalah apa sih sampai harus merepotkanku?' batin Ansel."Adara bawa mobil sendiri biasanya, Nek.""Nenek tahu tapi nenek mau kamu antar jemput dia. Takutnya mantan pacar premannya itu mengganggunya lagi. Tolong, Ansel! Nenek hanya percaya sama kamu. Jangan sampai nenek lihat dia pergi sendiri."Ansel bisa melihat kecemasan Dianti, tapi bukan berarti dia bisa begitu saja mengiyakan. Emma bisa ngamuk kalau tahu kebijakan baru yang dilontarkan oleh Dianti. Kenyataan dia mangkir dari acara jalan-jalan mereka saja, Emma marah besar. Bagaimana kalau wanita itu tahu aturan baru Dianti."Kenapa kamu nggak jawab, Ansel? Kamu keberatan?" tanya Dianti dengan pandangan bertanya-tanya."Tentu saja nggak, Nek. Aku kan suami Adara, jadi memang wajib melakukan tugas mengantar jemput.""Jangan lupa mulai Minggu depan, kamu bergabung di kantor ya? Nenek sudah kosongkan posisi yang pantas untuk kamu," ucap Dianti.Ansel mengangguk, "Baik, Nek.""Kalian nginap di sini kan? Kamu nggak perlu ke rumah orang tua kamu karena nenek sudah siapkan semua barang-barang kalian. Biar yang di sana tetap di sana. Dari pada bawa bolak-balik," jelas Dianti.Ucapan Dianti tidak bisa terbantahkan. Ansel sekali lagi mengangguk pada wanita yang sudah membuat Adara menjadi sosok tegar seperti sekarang.°°°"Kenapa kamu yang jemput?" tanya Adara bingung ketika melihat sang suami menunggunya di depan pintu utama gedung perkantoran itu.Ansel membuka kacamatanya, "Siapa suruh kamu buat ulah?"Adara tidak mengerti dengan tuduhan itu, "Maksudnya?""Kamu diantar pacar preman kamu itu kan pagi tadi?""Kok kamu tahu?""Nenek yang cerita dan aku diminta antar jemput kamu. Naiklah! Aku udah gerah di sini dari tadi," pinta Ansel dengan gelengan kepala terarah pada mobil.Belum sempat mereka masuk mobil, kendaraan roda dua dengan raungan knalpot bising menghampiri mereka. Pria yang tidak asing lagi itu turun, menarik lengan Adara."Ikut aku!""Lepas! Adara bukan barang yang bisa kamu bawa seenaknya. Kamu lupa siapa aku dan siapa kamu?" tantang Ansel.Bugh!°°°"Brengsek!"Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah."Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka? "Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda. Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak.""Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben. Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu
Seketika Adara memasukkan permukaan bibirnya ke dalam, mengapitnya erat. Dia bergumam sesuatu tapi tidak terdengar seperti ucapan. "Nggak paham," sungut Ansel.Adara menormalkan bibirnya setengah takut. Matanya memicing tajam, "Nggak bisa! Ini hanya untuk Ben.""Ya sudah."Blam!Ansel menutup pintunya dengan sedikit tekanan. Dia bermain tarik ulur. Dia sangat yakin kalau Adara tidak mungkin mau mengikuti kemauannya karena ego wanita itu yang tinggi.Justru itulah yang dicari Ansel. Dia sengaja membuat syarat sulit agar Adara tidak lagi menekannya. Ansel tidak mungkin minta maaf pada pria yang jelas-jelas bukan satu level dengannya."Ansel," panggil Adara."Berubah pikiran?"Lama diam lalu Adara mengetuk pintu itu lagi. "Ba-baiklah."Hah? Adara setuju? Ansel membuka pintunya lagi. "Kamu mau?"Muka merengut Adara, ketidakrelaannya terekam jelas di mata wanita itu. Dia mengulurkan salah satu handuknya pada Ansel. "Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi."°°°Suara dentingan sendo
"Ada apa, Dara? Kenapa muka kamu pucat?" tanya Dianti pelan. Dilihatnya muka Adara tidak kembali cerah setelah diam-diam melihat ponselnya. Makan malam mereka masih belum selesai. Pasangan suami istri yang berniat melakukan kerjasama dengan mereka tampaknya senang berbicara dengan Adara. Buktinya mereka tidak bisa membiarkan wanita muda itu untuk diam."Eng, nggak apa-apa, Nek. Aku boleh ke belakang sebentar?" tanya Adara. Mukanya pucat, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dianti. Untuk sementara dia hanya harus mengkonfirmasi kabar itu benar atau tidak."Pergilah!"Adara meminta maaf pada tamu mereka lalu bergegas untuk ke luar dari meja pertemuan itu. Dia berjalan cepat, kecemasan melanda dirinya. Entah Ben atau Ansel yang dia khawatirkan, dia belum bisa menjelaskan.Setelah sampai ke area toilet, wanita itu tidak masuk. Dia hanya berdiri di lorong menuju toilet. "Halo, ini siapa?"Terdengar suara riuh di seberang sana. Adara bisa mendengar suara sirine ambulans yang memekakka
"Bikin jantungan kamu, Jo," rutuk Adara pelan. Gemuruh di dadanya membuat dia tidak bisa bernapas dengan benar. Jo mengisyaratkan padanya dengan kedipan mata, menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan terpojok. Pria itu lalu berbalik tapi lengannya mencoba menghalangi tirai itu terbuka. "Iya, Nek."Dianti melirik tirai yang tertutup itu dengan kening mengerut, "Ini ponsel kamu?"Jo melihat benda di tangan Dianti dengan cermat. Dia langsung bisa mengenali ponsel siapa itu. "Oh iya, Nek. Saya cari dari tadi." Secepat kilat dia mengambil benda itu.Dianti menunjuk lantai persis di sampingnya, "Tadi jatuh. Kebetulan nenek lihat.""Terimakasih, Nek. Kalau bukan karena nenek, ponsel saya pasti sudah hilang." Jo mencoba bersikap normal meskipun dia tidak sanggup menahan kegugupannya. Dua orang di belakangnya benar-benar membuat dia mati kutu. Kenapa mereka harus berpelukan di tempat yang tidak seharusnya. Bagaimana kalau dia kalah selangkah tadi? Bisa-bisa hidupnya dan hidup Ben habis dalam
"Mulut kalau nggak tahu apa-apa itu jangan berisik! Asal kalau ngomong! Emang kamu dekat sama Ben sampai-sampai bisa mengatainya brengsek? Kamu pikir kamu nggak brengsek?" sungut Adara. Dia kesal bukan main. Selalu saja Ben yang jadi sasaran kemarahan Ansel.Adara tahu dulu Ben memang begitu, tapi sekarang prianya sudah banyak berubah. Andai semua orang bisa menghargai perubahannya sudah pasti sekarang yang jadi suaminya bukan Ansel. Ansel bergeming. Pukulan kecil itu tidak berarti apa-apa baginya tapi hatinya terluka. "Sudahlah. Aku nggak mau berantem."Pria itu berjalan gontai ke arah ranjang, menarik selimut tebalnya dan digelar di lantai tepat di samping ranjang. Bantal miliknya juga dibawa serta. Tanpa mengucap sepatah katapun dia membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dinginnya lantai. Adara tidak berusaha menahan Ansel. Kemarahannya lebih mendominasi. Dia mencari selimut lain sebelum membaringkan tubuhnya. Pikirannya menggelayut kemana-mana tapi bukan tentang Ansel. Adara lebih
Adara tidak salah dengar kan? Ada angin apa Ansel mau mengorbankan waktunya untuk membuatkan nasi goreng untuk Ben? Jangan-jangan ada udang di balik kepalanya."Nggak! Kamu pikir aku nggak tahu niat kamu? Siapa yang tahu kalau kamu ngasih sesuatu di dalam makanannya nanti?" sungut Adara curiga.Ansel lelah dituduh. "Ya sudah kalau kamu nggak mau. Daah, aku mau pergi."Adara berpikir keras. Dia memang tidak percaya dengan Ansel tapi kalau dia menanganinya sendiri juga dia tidak bisa menjamin. Lagi pula dia belum tahu apa Ansel bisa masak atau tidak. Coba saja? "Tunggu!"Ansel berhenti, "Apa?" Nada bicaranya berlagak kasar tapi sebenarnya dia berusaha menahan geli. "Eng, itu, oke."Pria itu berbalik, "Apanya yang oke?""Katanya tadi mau bantuin?""Katanya tadi takut diracun?""Bukan begitu. Aku yakin kamu nggak mungkin tega melakukannya," ucap Adara pelan. Dia juga bingung harus menjawab bagaimana. "Anggap saja aku percaya sama kamu."Ansel menatap Adara penuh selidik. "Oke."Sebelum
Brakk!!Itu bukan suara kotak bekal yang dilempar ke lantai tapi tutup kotak bekal yang sengaja dibuang oleh Adara. Melihat muka Ansel, dia jadi tidak sabar untuk menonjoknya. Pria itu —dengan muka ngeselin— menatapnya tanpa dosa. Catat! Tanpa dosa!"Gila!" rutuk Adara dengan napas memburu. Dia sudah berusaha meredam emosinya dengan pergi ke kantor tapi di tengah jalan dia memutar balik arah. Dia tidak sabar menunggu sampai malam untuk marah-marah pada Ansel."Siapa? Kamu? Ya iyalah kamu pasti sudah gila! Kalau nggak mana mungkin kamu lempar barang ke depan mukaku," jawab Ansel santai. Game di ponselnya lebih menyenangkan ketimbang meladeni Adara.Brakk!!Kali ini bunyi gebrakan meja ruang duduk. "Kamu yang gula! Harusnya aku udah waspada waktu kamu bilang mau bantu. Ternyata ini yang namanya bantuan? Hah? Bantuan menyesatkan? Apa yang kamu tambahin ke makanan Ben?"Ansel masih belum mendongak, "Emangnya aku tambahin apa?"Srett!Adara mengambil benda berisik di tangan Ansel tanpa aba
"Hai, kenalin aku Emma," ucap Emma pada pria yang tidak lain adalah kekasihnya. Dia menyalami Ansel dengan tidak sabaran. "Kamu?""An-Ansel." Ansel gugup. Bagaimana bisa Emma datang ke acara makan malam keluarganya? Emma juga tidak mengirim pesan padanya sekedar memberitahu. Emma tersenyum manis, lebih mirip ingin menerkam Ansel karena ketahuan memakai pakaian couple dengan Adara. Wanita itu menoleh pada Adara. Terpaksa dia mengulurkan tangannya, "Emma.""Adara." 'Aku yakin dia sengaja datang untuk memanas-manasi suasana. Dari mana juga mereka bisa jadi teman karena setahuku Mimi bukan orang yang mudah berteman. Jangan-jangan Mimi dipengaruhi? Paling juga Ansel yang mengajak pacarnya itu' Adara tidak bisa mengontrol pikiran buruknya terhadap Emma."Duduk, Kak," ucap Mimi pada Emma. Emma memamerkan senyum manisnya lagi ketika dia hendak bergeser ke samping Adara. Sengaja memang! Dia hanya ingin tahu apa Adara bisa ngamuk kalau dia berbuat sesuatu.Kalau tujuan Emma untuk membuat Ada