Share

6 - Adara Bukan Barang

"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.

Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?"

"Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.

Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?"

"Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti.

"Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."

Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari sorot matanya dia terlihat merindukan kekasihnya, "Rindu mana bisa ditahan? Naiklah! Mertua kamu melihat dari jendela."

Adara was-was. Memang benar Felicia tidak mengatakan apapun tapi dia hanya tidak tahu apa yang sedang dibatin oleh mertuanya. Secepat mungkin dia naik, tanpa menyentuh ujung baju Ben dia meminta sang kekasih untuk tancap gas.

Ben menghentikan kendaraannya di depan warung tenda pinggir jalan. "Kamu marah?"

"Eng-nggak," ucap Adara singkat.

"Kalau jawabannya sudah satu kata berarti kamu marah. Maaf ya, aku benar-benar nggak ada maksud lain. Dari pada kamu repot bawa mobil kan lebih baik aku jemput. Lain kali aku hubungi kamu dulu kalau mau jemput. Oke?" Ben turun lebih dulu, memutar tubuhnya agar dia bisa melihat wajah Adara. "Duh, kalau marah begini jadi pengen aku gigit."

Adara merengut, "Emang kamu drakula?"

"Aku bisa jadi apapun. Sekarang, kita sarapan dulu." Sebelum Adara melepas helmnya, Ben lebih dulu melakukannya. Hal kecil yang selalu bisa menyentuh hati Adara membuat wanita itu tidak bisa berpaling. Dia tidak sanggup jauh dari Ben meskipun Dianti menolak hubungan mereka.

"Bubur mau kan?" tanya Ben dengan senyum lebarnya. Mereka bergandengan tangan masuk ke dalam warung yang tidak pernah sepi pengunjung itu. Adara hanya bisa pasrah ketika sang kekasih berusaha membuat hatinya membaik.

°°°

"Kamu berangkat sama siapa tadi?" tanya Dianti tiba-tiba. Wanita itu berdiri di belakang pintu ruangan Adara.

Adara berjengit takut, "Nenek. Ngagetin deh."

Dianti memicingkan matanya, "Berangkat sama siapa?"

"Sama ... ojek online, Nek." Hanya itu alibi yang terpikirkan oleh Adara. Kalau dia bilang teman, Dianti tidak akan percaya.

"Ojek online tapi kok nggak pakai jaket ojek online? Penampilannya juga lebih mirip pengangguran. Jangan-jangan itu pacar kamu yang hanya mau memanfaatkan kamu? Yang lebih mirip preman ketimbang pekerja keras."

Mampus! Adara harus berkelit apalagi untuk menyakinkan Dianti. Idenya buntu. Dia juga tidak memperkirakan sang nenek akan datang ke kantornya. Padahal biasanya Dianti hanya datang di hari Kamis.

"Nek, ini nggak ada sangkut pautnya sama Ben," ucap Adara.

"Tentu saja ada. Setelah nenek pikir-pikir, perawakannya mirip dia. Kamu kenapa sih, Dara? Minta tolong Ansel buat anterin kan bisa. Kemana suami kamu sampai-sampai kamu mint bantuan orang lain?"

"Kenapa sih nenek nggak percaya? Dia bukan Ben, Nek. Yang tadi itu ojek online yang aku pesan lewat aplikasi."

"Kenapa bisa kamu pakai ojek kalau kamu saja punya mobil. Alasan kamu benar-benar nggak masuk akal. Pokoknya sekali ini saja nenek menolerir kamu. Lain kalau nenek sampai tahu kamu jalan sama laki-laki preman itu, nenek nggak akan tinggal diam," ancam Dianti. Raut kesalnya tidak bisa dikendalikan. Setiap kali pembahasan mereka berakhir pada Ben, kepalanya selalu pusing.

Dianti akhirnya pergi sambil mengomel. "Padahal tadi aku mau mengejutkan Dara karena biasanya dia paling nggak suka ditengok di kantor, tapi malah aku yang kena kejutan. Apa aku perlu memberi peringatan pada Ben kalau dia nggak boleh lagi menemui Adara?"

Niatan Dianti untuk mengancam Ben memang hampir pernah terlaksana tapi dia berpikir ulang. Kalau sampai Ben melampiaskan kekesalannya pada Adara, Dianti tidak akan bisa hidup dengan tenang.

°°°

Ansel terburu-buru masuk ke dalam rumah Dianti karena panggilan wanita itu tadi. Dia sempat bersitegang dengan Emma karena dia harus pergi di tengah acara jalan-jalan mereka.

"Kamu nggak adil. Kenapa urusan Adara kamu dahulukan tapi urusan kita kamu sepelekan. Sebenarnya kamu itu masih cinta sama aku atau nggak sih, Sel? Apa jangan-jangan selama beberapa hari ini kamu sedih mencintai Adara?" sungut Emma. Bibirnya meruncing tajam, sudah pasti dia menggunakan nada bicara tinggi agar Ansel tahu seberapa marah dirinya.

"Bukan begitu, Sayang. Ini nenek Dianti yang telepon. Kalau bukan karena nenek, aku juga nggak mungkin pulang cepat. Kita ganti lain hari saja ya? Aku akan turutin kemauan kamu."

Emma sedikit melunak, "Kemana pun?"

"Kemanapun."

"Baiklah. Pergilah kalau begitu."

Sebelum pergi, Ansel masih sempat mengecup kening Emma untuk membujuk kekasihnya agar tidak marah lagi.

Ansel mengetuk pintu kamar Dianti, menunggu di depan pintu dengan penasaran.

Ceklek!

"Ada apa, Nek? Nenek butuh sesuatu?"

"Kamu kemana?"

Tembakan Dianti tepat sasaran. Kening Ansel sedikit mengerut. Apa Adara mengadu? "Ke ... itu, Nek, ke rumah teman. Ada yang mau dibicarakan soal bisnis."

Dianti meminta Ansel untuk duduk. Mereka saling berhadapan. "Kenapa kamu nggak mengantar Adara dulu ke kantor, baru kamu pergi?"

Kening Ansel semakin berlipat, "Aku sudah bicara sama Adara kalau aku ada urusan, Nek. Memangnya Adara nggak cerita?"

"Pokoknya nenek minta, mulai sekarang kamu harus antar jemput Adara," tekan Dianti.

'Dia buat masalah apa sih sampai harus merepotkanku?' batin Ansel.

"Adara bawa mobil sendiri biasanya, Nek."

"Nenek tahu tapi nenek mau kamu antar jemput dia. Takutnya mantan pacar premannya itu mengganggunya lagi. Tolong, Ansel! Nenek hanya percaya sama kamu. Jangan sampai nenek lihat dia pergi sendiri."

Ansel bisa melihat kecemasan Dianti, tapi bukan berarti dia bisa begitu saja mengiyakan. Emma bisa ngamuk kalau tahu kebijakan baru yang dilontarkan oleh Dianti. Kenyataan dia mangkir dari acara jalan-jalan mereka saja, Emma marah besar. Bagaimana kalau wanita itu tahu aturan baru Dianti.

"Kenapa kamu nggak jawab, Ansel? Kamu keberatan?" tanya Dianti dengan pandangan bertanya-tanya.

"Tentu saja nggak, Nek. Aku kan suami Adara, jadi memang wajib melakukan tugas mengantar jemput."

"Jangan lupa mulai Minggu depan, kamu bergabung di kantor ya? Nenek sudah kosongkan posisi yang pantas untuk kamu," ucap Dianti.

Ansel mengangguk, "Baik, Nek."

"Kalian nginap di sini kan? Kamu nggak perlu ke rumah orang tua kamu karena nenek sudah siapkan semua barang-barang kalian. Biar yang di sana tetap di sana. Dari pada bawa bolak-balik," jelas Dianti.

Ucapan Dianti tidak bisa terbantahkan. Ansel sekali lagi mengangguk pada wanita yang sudah membuat Adara menjadi sosok tegar seperti sekarang.

°°°

"Kenapa kamu yang jemput?" tanya Adara bingung ketika melihat sang suami menunggunya di depan pintu utama gedung perkantoran itu.

Ansel membuka kacamatanya, "Siapa suruh kamu buat ulah?"

Adara tidak mengerti dengan tuduhan itu, "Maksudnya?"

"Kamu diantar pacar preman kamu itu kan pagi tadi?"

"Kok kamu tahu?"

"Nenek yang cerita dan aku diminta antar jemput kamu. Naiklah! Aku udah gerah di sini dari tadi," pinta Ansel dengan gelengan kepala terarah pada mobil.

Belum sempat mereka masuk mobil, kendaraan roda dua dengan raungan knalpot bising menghampiri mereka. Pria yang tidak asing lagi itu turun, menarik lengan Adara.

"Ikut aku!"

"Lepas! Adara bukan barang yang bisa kamu bawa seenaknya. Kamu lupa siapa aku dan siapa kamu?" tantang Ansel.

Bugh!

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status