Pagi-pagi sekali, Ben izin meninggalkanku untuk pergi bekerja. Ia juga berjanji kalau ia akan langsung kembali ke sini setelah pekerjaannya selesai. Aku katakan padanya agar santai saja dan tidak perlu terburu-buru. Dan benar saja. Ben datang kembali dengan setelan kemeja lengkap dengan sepatu pantofelnya. Ia membawakanku kue red velvet kesukaanku. Kurasa ia belum sempat pulang.
"Kamu masih suka kue red velvet kan? Aku bawain buat kamu. Biar kamu nggak bosen karena makan makanan rumah sakit," ucapnya. Wajahnya terlihat kelelahan.
Jujur, itu sangat menyentuh hatiku dan juga membuatku merasa tidak enak. Aku senang Ben masih ingat tentang kue kesukaanku meski beberapa tahun ke belakang kami terpisah jauh. Tapi di sisi lain, aku merasa tidak enak karena sudah merepotkannya.
Aku tunjuk meja di sebelah ranjangku sebagai tanda agar Ben meletakan kue itu di sana, "Terima kasih, Ben. Sepulang dari kantor, kamu langsung ke sini?"
"Iya. Apa aku ganggu?"
"Justru aku yang seharusnya tanya begitu."
"Nggak pa-pa, kok!"
Ben membuka kue itu dan memotong menjadi beberapa bagian potongan kue. Salah satunya ia letakkan ke atas piring kecil dan mengambil satu sendok kue. Ben menyodorkannya padaku.
"Eh?"
Rasa canggung memenuhi ruangan ini ketika Ben baru saja berniat untuk menyuapiku.
"M-mau makan sendiri aja?" Ben menjadi kikuk.
Aku yang ikut kaku menjawab pertanyaan Ben, "I-iya."
Duh, apa ini?
Ujung-ujungnya kami saling diam dan menikmati potongan kue kami masing-masing. Apa mungkin ini efek setelah 5 tahun lamanya tak bertemu dan akhirnya kami menjadi kaku?
Ketika Ben mendapat gelar Bachelor of Business Management, ia melanjutkan study-nya di luar kota. Namun saat masih di kota ini pun, sebenarnya kami telah sibuk dengan dunia kami masing-masing.
Oh, aku baru ingat. Kami sempat kembali bertemu di upacara pemakaman papaku satu tahun lalu. Namun kami tak begitu banyak berbincang. Setelah itu aku tidak mendengar kabarnya lagi sampai akhirnya hari ini kami bertemu. Dan dalam waktu tiga pekan lagi, Ben akan resmi menjadi suamiku.
Sebenarnya, tak banyak yang kuketahui tentang Ben. Dari seingatku, Ben pendiam dan tidak begitu ekspresif. Ben tidak akan berbicara jika tidak ada yang mengajaknya bicara. Kedekatan kami dahulu pun karena aku yang berusaha mendekat dan membuka diri padanya. Lalu ia mulai terbiasa denganku meski memang cenderung datar. Ia menganggapku sudah seperti adiknya sendiri. Ia sendiri yang mengucapkannya dulu.
"Kamu sekarang kerja di mana, Ben?" ucapku memecah keheningan.
"Aku melanjutkan perusahaan Papa. Papa udah mulai ngerasa capek kerja dan memutuskan untuk pensiun. Kini aku yang mengelola," jelasnya.
"Sejak kapan?"
"Satu tahun yang lalu."
"Kamu sibuk banget, dong? Nggak pa-pa nemenin aku di sini?"
"Nggak pa-pa. Santai aja," jawab Ben datar. "Omong-omong, aku ada perlu di dekat rumah sakit ini selama seminggu. Kalau sempat, aku bakalan kesini buat jenguk kamu. Boleh kan?" sambungnya.
"Iya. Boleh. Tapi memangnya nggak bikin kamu repot?"
"Nggak. Justru aku takut mengganggu."
Aku menggeleng perlahan dan tersenyum.
Aku kebingungan melihat sikap Ben yang terkesan peduli padaku, tapi terlihat datar. Namun juga sangat baik. Apa mungkin ia peduli karena aku adalah calon istrinya? Ah, benar juga. Aku belum membahas soal itu dengan Ben. Tentang pernikahan kami. Ben juga seperti tidak menunjukkan gelagat bahwa ia akan membahas perihal itu. Mungkin aku yang akan mulai untuk membahasnya nanti.
Ketika aku dan Ben kembali menikmati potongan kue kami masing-masing, terdengar suara pintu terbuka. Aku menoleh dan kudapati Tante Annette tengah berdiri di sana dengan raut wajah muramnya.
"Milly," panggilnya.
Wajahnya berubah sangat cemerlang ketika ia melihat bahwa Ben tengah menemaniku. Tante Annette tersenyum kepada Ben, "Eh, Ben ada di sini. Tante kira kamu nggak jenguk Milly lagi," ucapnya yang terdengar sangat basa basi.
"Kebetulan aku pulang lewat sini, Tan. Jadi sekalian aku mampir," sahut Ben.
Tante Annette menatapku, "Gimana keadaan kamu, Milly?" Ia tersenyum. Aku tahu senyum itu palsu.
"Baik, Ma. Ada apa ke sini? Bukannya Mama sibuk?"
Nada bicaraku sedikit ketus. Jujur aku sudah muak dengan sandiwaranya.
Tante Annette terdiam. Lalu tiba-tiba Ben berdiri dan izin untuk ke toilet, "Aku ke toilet sebentar ya, Tan Milly."
Celaka!
Rasanya aku ingin menahan Ben agar tidak meninggalkanku dengan Tante Annette. Aku yakin akan ada kalimat-kalimat yang kembali menyakitiku dari mulut wanita ini.
Begitu Ben masuk ke toilet, aku membuka mulutku, "Tante ngapain di sini?"
"Kamu panggil saya Tante? Kamu cepat tanggap, ya."
Aku membuang muka.
"Jelas saya mau menjenguk kamu," lanjutnya.
"Bukannya Tante nggak peduli?"
"Tentu saya sangat peduli. Kalau kamu mati, rencana pernikahan itu akan gagal."
Benar, kan? Wanita ini ... apa dia tidak bisa melihat kalau aku tengah terbaring lemah? Lagi-lagi perkataannya membuatku teringat Papa yang selalu menenangkanku. Kalau Papa ada di sini, beliau pasti akan menemaniku sepanjang waktu. Jelas berbeda dengan wanita yang satu ini. Aku menahan amarahku dan tidak mengatakan apa pun.
"Cepat pulih. Jangan sampai pernikahanmu tertunda terlalu lama."
"Iya. Aku tahu Tante takut dan tidak terbiasa dengan kemiskinan."
Mendengar perkataanku, wajahnya kembali muram. Aku bisa melihatnya dari ekor mataku.
Tak lama kemudian, Ben keluar dari toilet. Aku merasa sangat bersyukur.
"Sudah selesai, Ben?" tanyaku. Ben hanya mengangguk.
"Oh, iya ... Ben. Mumpung kamu ada di sini, Tante mau bicara soal pernikahan kalian. Nanti—"
"Sebelumnya maaf aku potong, Tante. Tapi sebaiknya kita bahas ini kalo Milly sudah pulih."
"Oh ...."
Tante Annette terdiam. Seisi ruangan ini hening.
"Oke. Kalo gitu, Mama pamit ya, Milly. Mama sudah suruh beberapa asisten di rumah untuk bawa keperluan kamu di sini. Mereka akan datang malam ini. Cepat sembuh, ya! Tante duluan ya, Ben!" Tante Annette berlalu meninggalkan aku dan Ben.
Damn!
Rasanya aku ingin bertepuk tangan dan bersorak ria saat Ben membungkam Tante Annette. Tanpa sadar aku tersenyum.
Ben kembali duduk di sampingku, "Kamu jangan terlalu mikirin soal perjodohan kita. Fokus sembuh dulu," ucapnya.
"Tapi aku mau bahas soal itu."
"Nanti kita bahas."
Aku mengangguk tanda mengerti.
"Kamu nggak mau pulang? Takutnya kamu capek mau istirahat."
"Nggak pa-pa kutinggal?"
"Nggak pa-pa."
"Tapi kalo nanti ada apa-apa, kamu telepon aku aja."
"Iya, Ben. Sekali lagi Terima kasih, ya!" Ben beranjak dan berpaling.
"Eh iya, Mill. Pinjam ponselmu."
"Ponsel?"
Ben berbalik dan meraih ponsel milikku. Aku tidak tahu ia sedang apa.
"Sudah lama kita nggak ketemu. Aku pikir nomor ponselku sudah dihapus," ucapnya sambil mengembalikan ponselku.
"Aku juga nggak ganti nomor, kok!" sahutku.
"Ya sudah. Kalau gitu, aku pergi."
Tanpa menunggu jawabanku, Ben berlalu.
Beberapa jam kemudian, Ben mengirim pesan teks kepadaku.
[Minum obatnya, ya. Jangan begadang biar cepat pulih.]
Ternyata Ben masih menyimpan nomor ponselku. Aku dan Ben memiliki dugaan yang sama. Yaitu saling menghapus nomor ponsel.
[Terima kasih untuk hari ini, Ben.]
Aku membalas pesan Ben dan memutuskan untuk menekan tombol power ponsel.
Dan malam itu, tidurku terasa nyenyak.[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas