Share

5. Mulut Usil Tetangga

"Dek Ambar tolong kopi satu."

"Iya Pak Tarno." Aku berusaha tersenyum padahal rasanya ingin sekali mulut Ini mengumpat.

"Pecelnya dong? Jangan lupa mendoannya lima," Pak Tarno menatapku dengan tatapan genit. Aku segera meracik pecel permintaannya dan menggoreng mendoan.

"Mbak Ambar, kopi satu."

"Iya Mas Ipung."

"Mbak Ambar, saya juga. Yang pahit ya. Soalnya Mbak ambar udah manis takut saya nya diabetes."

"Iya Mas Diki."

Inilah pekerjaanku setiap hari selama kurang lebih satu bulan di rumah. Membantu ibu yang membuka warung pecel dan gorengan setiap hari dari jam sembilan sampai sore.

"Wah, kopi buatan Mbak Ambar maknyos, tiada duanya."

"Iya, pas pokoknya. Pas pahitnya, pas manisnya. Jadi makin cinta sama kopinya. Eaak."

"Kopinya apa sama yang buat?"

"Yang buatlah?"

"Hahaha."

Sabar Ambar. Kalau gak sabar nanti kamu jadi ikutan edan. Rata-rata pelanggan warung pecel ibu itu laki-laki. Mana kebanyakan yang sudah beristri lagi. Pantas Anggi paling malas kalau harus membantu ibu di warung. Dulu, saat kami masih kecil. Digoda para bapak biasa saja tapi setelah remaja dan sekarang sudah menyandang predikat perawan tua sungguh meresahkan.

Para bapak semakin gencara menggoda sedangkan para istri cemburu berjamaah. Dan aku hanya pasrah. Kalau boleh memilih, mending aku balik lagi ke Hongkong jadi TKW.

"Mbak Ambar." Suara melengking terdengar dari salah satu emak berdaster dengan kerudung istan bahan jersey. Khas emak-emak sini. Pakai daster dengan lengan hanya sampai siku dan panjang selutut tapi berkerudung. Hahaha.

"Eh, Bu Rika. Gimana Bu?"

"Mendoan sepuluh ribu ya." Nadanya ngegas dengan ekspresi muka judes. Para bapak yang tadi sibuk menggodaku langsung terdiam. Terutama sosok lelaki berusia enam puluh tahunan yang dandanannya sok ABG padahal sudah punya cucu lima.

"Iya Bu. Ditunggu ya."

"Iya."

Aku segera menggoreng mendoan pesanan Bu Rika.

"Bang, kenapa lama gak nengok Rika?"

"Oh Abang sibuk Rika." Suara Pak Tarno terdengar lirih.

"Halah, sibuk apaan?"

"Rika, kamu kan tahu istriku ada empat. Kamu jangan nuntut waktuku untukmu semua dong? Abang harus adil sama istri abang yang lain?"

"Halah. Alesan. Bang aja niat nyari istri baru lagi. Inget ya Bang, aku ini gak kayak ketiga istrimu yang lain. Yang diam walau kamu poligami. Aku Rika. Ingat janjimu, kalau aku bakalan jadi istri terakhirmu. Awas kalau Abang berani nikah lagi. Ingat perjanjian awal kita. Semua dokumen ada sama Rika."

Aku dan ibu hanya saling lirik tapi sama sekali tak bersuara. Sedangkan para bapak yang lain memilih menyibukkan diri dari pada melihat drama rumah tangga antara Pak Tarno dengan istri nomer empatnya.

"Gak Dek, abang kan udah janji."

"Makanya. Awas kalau ingkar! Udah belum Mbak Ambar."

"Udah Bu, ini mendoannya." Aku mengulurkan plastik berisi mendoan pesanannya. Bu Rika pun menerima.

"Ini uangnya."

"Makasih Bu."

"Hem. Bang, cepat pulang!"

"Abang baru mau makan Dek?"

"Bungkus! Bu Ipah. Tolong bungkusin."

"Eh, iya Bu Rika."

Ibu dengan tergesa-gesa membungkus nasi pecel dan pesenan mendoan milik Pak Tarno.

"Berapa semuanya Dek Ambar."

"APA!" pekik Bu Rika.

"Eh ... itu ... ehm." Pak Tarno tergagap.

"Semuanya tujuh ribu lima ratus." Ibu yang menjawab.

"Oh, ini Bu Ipah. Kembaliannya buat Bu Ipah aja."

"Gak bisa! Sini buat aku aja. Kalau enggak buat beli mendoan lagi. Lumayan dapat lima." Lengking Bu Rika.

"Mendoan lagi ini ada Bu?"

"Ya sudah sini!"

Ibu pun mengambil lagi lima mendoan buat Bu Rika.

"Ayok pulang!"

Pak Tarno akhirnya pulang bersama Bu Rika. Setelah keduanya menghilang, gelak tawa memenuhi warung.

"Padahal dulu Rika cantik loh, sekarang tambah subur. Makanya Pak Tarno nyari mangsa baru. Hahaha." Mas Ipung memulai obrolan.

"Iya yah, tapi kelihatannya Pak Tarno mati kutu sama dia."

"Iyalah, orang Rika pinter. Semua aset Pak Tarno dia yang pegang," celetuk Mas Diki.

Para bapak masih asik menggosip perihal Pak Tarno dengan keempat istrinya. Sedangkan aku dan ibu hanya sebagai pendengar.

*****

"Mbak Ambar mau kemana?"

"Eh Bu Wahyu. Mau ke rumah Tuti, Bu?"

"Oh. Mbak Ambar emangnya gak jalan sama cowoknya apa? Perasaan kalau gak sama Tuti, Yuyun, ya sama Anggi."

Aku memilih tersenyum manis. Karena aku sendiri masih bingung harus jawab apa. Pacar ada, tapi sayang. Pacarku masih sibuk dengan cita-citanya. Janji mau main ke rumah pun belum terlaksana. Entah apa yang ada di hati Ilo, bahkan satu bulan ini nomernya tidak aktif.

"Saya duluan ya Bu Wahyu."

"Oh iya. Hati-hati."

Mengendarai sepeda motor matic aku menuju ke rumah Tuti yang berjarak hanya sepuluh kilo dari rumahku. Sampai di sana, Yuyun sedang asik makan pisang goreng sambil bercanda dengan Satria.

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

"Lama bener Mbar."

"Maaf, bantu ibu dulu  terus nganteri ke pasar lanjut ke tempat arisan. Ini nanti aku jemput kalau arisan nya udah selesai."

"Oooo .Gimana jualannya, Mbar?"

"Alhamdulillah laris."

"Laris lah, orang penjualnya cantik kinyis kinyis sampai para bapak betah di warung." Tuti menatapku dengan seringai menggoda.

"Kalau saja ibu mau, pengen rasanya nyuruh ibu jangan jualan lagi?"

"Loh kenapa Mbak?" Kini Yuyun ikut dalam obrolan.

"Males aku dinyinyirin sama para emak berdaster."

"Hahaha. Jadi pengen balik Hongkong ya Mbar?"

"Iya Tut, kalau di sana 'kan pada cuek. Asal gak saling mengganggu aja kita aman. Lah di desa aku stres tahu bingung. Mau senyum salah gak di kasih senyum malah dikira bertingkah. Gak nyapa dibilang pongah. Bingung aku." 

Akhirnya semua keluh kesahku selama satu bulan kembali ke kampung tertuang juga.

"Cuek aja Mbar. Kamu sih mending masih perawan nah aku yang udah janda gini ugh ... nyinyiran tetangga lebih usil. Mana di counter milikku yang suka nongkrong malah para bujang sampai remaja lagi. Dikira aku gaet berondong tahu gak?"

"Ternyata kita sama ya Tut, mulut usil tetangga emang bikin resah."

"Iya. Untung aku udah pernah jadi edan. Jadi gak masalah edan lagi."

"Edan ngapain?" tanyaku penuh selidik.

Yuyun tertawa bahkan Satria juga.

"Mama kamu kenapa Sa?"

"Mama habis berantem sama istrinya Bapak. Istrinya Bapak cemburu, soalnya Bapak ngejar Mama lagi."

"Owalah."

Cukup lama aku main di tempat Tuti. Sebelum duhur aku pamit mau menjemput ibu. 

"Mbak Ambar, jemput ibu ya?"

"Iya Bu Wiwit."

"Itu, ibunya masih bantu di dalam."

Aku menuju ke dalam dan mengalami beberapa orang. Sopan santun tetap harus dijaga walau aku yakin. Pelopor para nyinyir sebentar lagi beraksi.

Satu, dua, tiga.

"Mbak Ambar, baru datang? Ah sayang, Linda baru saja pulang sama suaminya ke Purwokerto."

"Iya Bu Sarni tadi habis ke tempat Tuti."

"Owalah, sama si janda itu. Ati-ati Mbar, Tuti itu gosipnya lagi ngerayu suami orang. Malah katanya suka ngerayu berondong juga. Kamu jangan ikut-ikutan. Eh, tapi kamu gak lagi godain Pak Tarno kan? Kaya sih orangnya? Tapi masa kamu sama kakek-kakek. Meski perawan tua gak boleh dong sembarangan nyari suami ya kan ibu-ibu?"

"Iya Mbak Ambar, cari yang bujang empat puluhan banyak kok disini atau duda. Jangan nyari suami orang gak baik."

"Iya Bu." Aku hanya memasang senyum manis. Dalam hati berdoa agar ibu cepat keluar dan pulang.

Alhamdulillah doa anak sholeh terkabul karena tidak lama kemudian ibu datang.

"Pulang yuk Mbar."

"Iya Bu, mari semuanya kami pamit."

"Iya." jawab mereka kompak.

"Inget ya Mbak Ambar, jangan suka menggoda suami orang dan kurangi tuh main sama Tuti si janda."

Aku memilih diam malas menanggapi. Ya Allah, kalau benar azab di realita semudah azab di TV ikan loncat, aku berharap tetangga paling nyinyir itu kena azabnya.

"Gak usah dimasukkan ke hati Mbar. Kamu tidak mungkin bisa menutup mulut semua orang jadi lebih baik kamu menutup mulutmu dari kata-kata nyinyir atau doa-doa buruk untuk mereka ya."

Duh, ibuku terbaik pokoknya. Tau aja, kalau hatiku hampir saja mengucap sumpah serapah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status