Share

6. Ironi

Aku, Anggi dan Miko sedang berwisata ke Baturaden. Beberapa tempat wisata di sana kami singgahi, mulai dari The Garden, Small World, lokawisata Baturaden, pancuran telu hingga pancuran pitu. 

"Capek," keluh Anggi.

"Banyak yang berubah ya Nggi."

"Iya Mbak, Baturaden makin banyak spot wisatanya. Terutama buat tempat selfi."

"Iya."

"Mbak Ambar lihat deh?"

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Miko, saat ini kami berada di Small World, lokasi terakhir yang kami kunjungi.

"Iya. Foto yuk."

Kami bertiga pun berfoto. Ketika asik berfoto, ada seseorang yang memanggil Anggi.

"Anggi."

"Eh, Dika. Mbak, Miko kenalin ini Dika temen kuliahku dulu."

Kami berkenalan. Kebetulan Dika juga datang bersama beberapa rekannya. Dika dan Anggi mengobrol seru pun dengan Miko yang sepertinya kenal dengan Dika.

Salah satu rekan Dika menatapku sejak tadi membuatku kikuk. Aku memilih bermain dengan ponselku.

Cukup lama mereka berbincang hingga Dika dan rombongannya pamit. 

Sebelum mereka pergi, Dika menghampiri kami.

"Mbak Ambar, salah satu temenku mau minta nomer Mbak Ambar, boleh?"

"Hah?" Aku melongo.

"Boleh. Ntar aku kirim ke nomer kamu Dik," serobot Anggi. Aku memelototinya sedangkan Anggi hanya tertawa.

"Oke. Namanya Mas Syam. Makasih Anggi. Dah ...."

Begitu mereka pergi aku langsung memarahi Anggi.

"Anggi, kamu gak boleh gitu!"

"Gak papa kali Mbak. Kan cuma kenalan, syukur jadi jodoh."

"Iya Mbak, Miko lihat temannya Mas Dika tadi cakep kok."

"Tapi gak gitu juga kali. Lain kali kalian kasih nomer mbak ke cowok, mbak gak bakalan pegang HP lagi."

Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan kedua adikku. Bukan sekali ini mereka memberikan nomerku pada lelaki. Berkali-kali. Sebal.

Saking sebalnya aku memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Menatap sekeliling dengan sesekali mengambil nafas untuk meredam emosi. Anggi dan Miko duduk tak jauh dariku. Mereka tahu jika aku sedang emosi, akan lebih memilih menyendiri dan tak ingin diganggu. Karena jika diganggu, mereka bakalan kena murkaku.

Notifikasi di HP-ku menyita perhatianku. Ternyata ada beberapa pesan termasuk dari nomer tak dikenal yang menempati urutan teratas.

0857xxxxxxxx

[Hai, salam kenal. Syam.]

Langsung aku blokir nomer itu. Malas menanggapi. Aku langsung membaca chat selanjutnya dari Tuti.

*Tuti*

[Mbar, aku lihat status W* temanku anak Pati. Nih, aku kirim SS-nya.]

Sebuah foto yang terdiri dari beberapa orang. Mereka kumpulan penggemar moge. Namun yang membuatku sedih adalah salah seorang di foto itu serta background dari foto itu. Itu adalah salah satu sudut kota kecamatan tempat tinggalku.

Ya Allah, Ilo. Apa maumu sebenarnya?  Kamu lama tak berkabar, janjimu untuk main pun tak kunjung direalisasikan. Bahkan kamu mengunjungi kotaku, tapi tak selintas pun ingin bertandang. Jangankan bertandang, memberi kabar pun kamu enggan.

"Mbak, maafin Anggi ya. Anggi janji gak bakalan ngasih nomer Mbak lagi."

"Kamu tahu Nggi, bagi orang kayak mbak. Kenalan sama lelaki itu harus dipikir matang-matang. Cukup di rumah, mbak dinyinyiri sama orang. Perawan tualah, pilih-pilih jodoh lah, perayu lah. Dan kamu gak perlu nambahin beban Mbak Ambar. Kalau kamu mau nikah sama Aris, mbak gak masalah kamu langkahi lagi. Dari pada setiap hari mbak sama kamu cuma ribut gara-gara kamu selalu ngasih nomer mbak ke cowok."

"Mbak ...." Mata Anggi mulai berkaca-kaca. 

"Nikah itu ibadah seumur hidup, mbak gak mau asal milih suami. Kalau Aris memang serius sama kamu, buktikan! Mbak tunggu kedatangannya sama keluarga dia."

Setelah mengucapkan kalimat itu, aku langsung berjalan ke arah motor, sengaja kukendarai motor matic sendiri. Anggi kubiarkan membonceng Miko dengan motor Mega Pro-nya.

****

Selang dua minggu, keluarga Aris akhirnya datang. Mereka meminang Anggi secara resmi. Anggi berulang kali meminta maaf padaku, namun dengan lembut aku memberinya pengertian bahwa aku ikhlas.

Sekuat-kuatnya aku, tetap ada sudut hatiku yang terluka namun semuanya kukembalikan pada takdir dari Allah yang sudah menjadi ketetapan-Nya.

Namun sepertinya tidak dengan ibu. Kulihat mata tua itu seringkali menatap nanar padaku. Berulang kali aku memergokinya berusaha menghapus air mata. Bahkan setiap malam, aku bisa mendengar tangisan lirih dari kamarnya. 

Aku yakin diantara semua orang, dialah yang paling tak bisa menerima jika putri sulungnya sekali lagi harus dilangkahi.

Rupanya, mulut nyinyir tetangga benar-benar membuat kondisi ibu drop. Ibuku yang tangguh akhirnya tumbang. Anggi semakin merasa bersalah. Ingin dia memutuskan lamaran namun berulangkali kukatakan bahwa semua sudah terjadi. 

"Gak usah nangis lagi. Masalah Ibu, biar jadi urusan Mbak Ambar. Kamu fokus sama persiapan pernikahan kalian saja."

"Mbak ...."

"Semua sudah terjadi Anggi, hari sudah ditentukan dan itu kurang dari dua minggu lagi. Kamu gak mungkin mundur. Percaya sama Mbak Ambar ya."

"Hiks ... hiks ... maaf Mbak. Anggi bener-bener minta maaf. Anggi sendiri bingung. Awalnya Anggi mau nungguin Mbak, tapi ibunya Aris juga sakit-sakitan. Beliau minta kami segera menikah."

"Gak papa. Mending kalian cepet nikah daripada lama pacaran ujungnya malah gak jadi itu lebih 'ngisin-ngisini (malu-maluin)'. Lagian kamu gak mungkin mengelak kalau emang udah jodohnya."

Anggi menghambur ke pelukanku. Kupeluk Anggi dengan penuh kasih. Kubelai kepalanya yang berbalut kerudung.

Saat aku masih menenangkan Anggi kulihat sosok Miko yang menatapku dengan tatapan yang ... entahlah. Mata itu tampak sedih, terluka dan ... marah.

*****

Aku duduk di samping Miko. Kami memandang bulan sabit dari halaman belakang rumah dimana sekelilingnya sudah terpasang tembok setinggi dua meter. 

"Mbak."

"Iya."

"Mbak tahu kenapa Miko gak mau kerja jauh?"

"Karena kamu mau jaga Ibu sama mbak kan?"

"Iya. Kalian adalah dua wanita paling berharga dalam hidup Miko. Karena kalian Miko jadi tahu arti hidup dan berjuang."

Aku membelai kepala Miko penuh sayang.

"Miko, hidup memang seperti ini. Kayak roller coaster."

Miko hanya diam, aku pun ikut diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Mbak."

"Iya."

"Apapun yang terjadi jangan balik lagi ke Hongkong ya?"

Aku menoleh ke arah Miko. Terlihat matanya penuh harap.

"Meski banyak nyinyiran dan kesedihan. Jangan lagi ke sana ya Mbak. Karena Miko gak akan biarkan Mbak balik lagi. Miko hanya akan mengijinkan Mbak Ambar pergi dari rumah ini jika nanti ada lelaki baik yang berjanji akan menjaga Mbak Ambar seumur hidupnya." Miko mengatakan dengan suara mantap dan binar mata penuh tekad.

Aku terharu mendengarnya.

"Selama belum ada sosok yang akan menjaga Mbak Ambar. Maka biarlah Miko yang akan menjaga Mbak Ambar."

Lagi, aku terharu mendengar ucapan Miko. Refleks aku memeluknya. Dan kami pun menangis bersama-sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status