Share

4. Pengacara

Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun.

"Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha."

"Awas ya, kena kalian."

"Hahaha."

Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an.

"Mbar."

"Iya Bu."

"Hari ini, kamu punya rencana kemana?"

"Tidur."

"Gak pengen kemana-mana Mbar?"

"Gak Bu. Kenapa?"

"Ikut ibu ke acara pengajian ya."

"Oke."

Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian. 

"Loh, Ambar. Kapan pulang?"

"Seminggu yang lalu Bu Wahyu."

"Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak."

"Gak tahu Bu, lihat nantilah."

"Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain.

"Pastilah, orang lama banget."

"Iya, udah bisa beli sawah, kuliahin Anggi, nyekolahin yang lain, terus bisa renovasi rumah lagi."

"Di Hongkong gaji berapa Mbak? Coba anakku mau kesana juga. Sukses deh kayak Mbak Ambar."

Dan bla ... bla ... bla. Begitulah ibu-ibu. Kepo. Dalam masyarakat kami, ada suatu anggapan kalau orang kerja jadi TKW di luar negeri pasti sukses hidupnya. Padahal gak semua. Ada yang memang sukses ada juga yang tidak. Semua tergantung orangnya dan satu lagi, takdir. 

Aku hanya memberikan senyum manis tanpa mau menanggapi. Malas. Biarlah para ibu-ibu itu dengan berbagai anggapannya.

Selesai mengikuti pengajian, aku membawa ibu dengan menaiki motor matic menuju toko sembako langganan kami.

"Bu Ipah mau belanja apa?" tanya Koko Ahong pemilik toko.

"Biasa Ko, keperluan dapur."

"Oh, Dini layani Bu Ipah."

"Iya Ko."

Ibu menyebutkan beberapa keperluan yang dibutuhkan sedangkan aku hanya mengamati dan sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar toko.

Pandanganku tertuju pada seseorang dari seberang. Tepatnya di toko kain, terlihat seseorang berperawakan tinggi besar tengah menatapku. Aku memilih memalingkan muka dan menghampiri ibu.

"Mbar, kamu gak pengen beli apa-apa?"

"Enggak Bu. Berapa semua Ko?" tanyaku.

"Empat ratus sembilan puluh ribu."

Aku mengeluarkan uang dari dompet dan segera membayarnya.

"Mau kemana lagi Bu?"

"Ke tempat Bu Susana dulu ya. Pesen kain buat seragaman nanti di nikahannya Yani."

"Yani dapat orang mana Bu?"

"Bekasi katanya."

"Owh."

Aku menata belanjaan ibu di motor lalu berjalan beriringan menuju toko seberang. Sekilas kulihat lelaki yang dari menatapku intens sudah tak ada.

"Pilih yang mana?"

"Ini aja Bu. Bagus kan?"

"Iya."

"Cici tolong kain ini ya dua meteran sebelas potong."

"Iya."

Selesai dari toko kain kami segera kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan aku dan ibu bercerita banyak hal. Kadang kami tertawa.

*****

"Mbak."

"Hem."

"Temeni ke rumah Pak Warman yuh?"

"Mau bikin apa Nggi?"

"Ini ganti KTP, kan Anggi udah diterima di BMT, ya status KTP harus gantilah masa masih pelajar."

"Oke. Ayok."

Kami berjalan menuju ke rumah Pak Warman. Sebenarnya agak malas ke sana tapi mau bagaimana lagi. Beliau sekarang menjabat Ketua RW.

"Loh, Ambar. Kamu sudah pulang?" sapa Bu Sarni.

"Iya Bu."

"Masuk."

Aku dan Anggi masuk dan duduk di ruang tamu.

"Pulang kapan Mbar?"

"Udah ada semingguan Bu."

"Wah. Kamu betah ya di Hongkong. Gak nyangka kamu jadi TKW padahal dulunya ibu mikir kamu kuliah dan jadi orang sukses. Kayak Linda. Aslinya Linda pengen kerja tapi gak dibolehin sama suaminya. Ya sudah. Lagian suaminya juga kerjanya bagus. Jadi manajer dia. Kamu kapan nikah Mbar?"

"Minta doanya Bu, semoga disegerakan."

"Harus tahun ini loh Mbar, masa udah tiga puluh tahun masih perawan. Perawan tua namanya. Linda aja nikah umur dua lima. Adik-adikmu malah nikah duluan dari pada Linda. Masa kamu yang kakaknya kalah. Awas loh nanti di langkahi lagi sama Anggi. Anggi aja udah punya pacar kan ya Nggi."

Aku mencoba bersabar. Wanita di depanku ini memang nyinyir. Banyak alasan yang membuat Bu Sarni suka menyinyiri hidup keluargaku salah satunya aku. Anaknya Linda, setiap sekolah selalu di bawahku. Sayang, nasib kami beda. Linda bisa kuliah sedangkan aku hanya bisa pasrah menjadi pahlawan devisa.

"Anggi bakalan nunggu Mbak Ambar kok Bu Sqrni, lagi Anggi baru juga lulus. Masih pengen nyari pengalaman," sahut Anggi namun terlihat rahangnya mengeras.

"Iya. Masa udah dilangkahi dua kali mau tiga kali. Ora ilok (pamali). Nanti jauh jodoh kakakmu."

"Pak Warman ada gak ya Bu, ini Anggi butuh tanda tangannya. Kebetulan Ambar juga habis ini ada acara." Aku berusaha mencegah Bu Sarni ngomong lebih banyak lagi.

"Oh. Sebentar, tak panggilkan."

Aku dan Anggi menghembuskan nafas lalu geleng-geleng kepala.

"Eh, Ambar. Sehat Mbar." 

Pak Warman menyalamiku dan kemudian duduk di kursi seberang.

"Alhamdulillah baik Pak."

"Ada apa ya kesini?"

"Mau minta tanda tangan buat surat pengantar Pak."

"Oh. Buat apa Nggi?"

"Ganti KTP, Pak."

"Oh iya. Sini mana suratnya."

Pak Warman segera menandatangani surat pengantar milik Anggi. Setelah itu kami langsung pamit. 

Anggi hendak mengambil uang untuk mengisi kas, namun celetukan Bu Sarni membuat gerakan tangannya menaruh uang ke kotak terhenti.

"Mbakmu baru pulang dari hongkong Nggi, masa cuma ngasih lima ribu. Seratus ribu kek?"

"Hush, Bu! Nggak usah didengerin Nduk. Bercanda."

"Bercanda gimana sih Pak. Lagian orang Ambar banyak uang kok. Ya kan Mbar."

"Amin."

Aku langsung mengambil dompetku dan menyelipkan selembar uang seratus ribu ke kotak.

"Kami pamit ya Pak, Bu. Mari."

"Oh iya Nduk, hati-hati," ucap Pak Warman.

Sepanjang perjalanan Anggi ngomel-ngomel. Aku hanya mendengarnya, sesekali tertawa melihat raut muka Anggi yang sangat lucu.

"Heran deh Mbak, itu Mak Lampir kenapa sih? Sama keluarga kita kayak benci banget."

"Udahlah Nggi. Gak usah didengerin. Biar saja, dia benci ke kita. Asal kita gak boleh dendam. Nanti toh ada azab."

"Hah? Maksudnya tuh Mak Lampir dapat azab?"

"Bukan. Bentar lagi 'kan di TV ikan loncat ada sinetron azab."

"Ish ... Mbak Ambar. Gak lucu tahu."

Hening. Kami fokus jalan. Sesekali menyapa para tetangga yang berpapasan.

"Ambar. Udah pulang Nduk?"

"Eh, Bu Siti. Alhamdulillah. Sudah Bu."

"Wah, pangling sayanya. Kirain tadi artis dari mana?"

"Artis dari Dukuh Karangdadap Bu?"

"Hahaha. Eh, di rumah saja Mbar?"

"Iya. Bu."

"Gak kerja dimana gitu? Kayak Si Tuti kan buka counter pulsa, si Yuyun buka warung kamu mau kerja apa?"

"Untuk sementara saya tak jadi pengacara dulu Bu Siti?"

"Pengacara?"

"Iya Bu. Pengacara alias pengangguran banyak acara. Mari Bu, saya duluan."

Aku dan Anggi berjalan pulang. Masih dapat kudengar tawa Bu Siti. Anggi pun ikut terkekeh. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status