Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun.
"Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha.""Awas ya, kena kalian.""Hahaha."Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an."Mbar.""Iya Bu.""Hari ini, kamu punya rencana kemana?""Tidur.""Gak pengen kemana-mana Mbar?""Gak Bu. Kenapa?""Ikut ibu ke acara pengajian ya.""Oke."Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian. "Loh, Ambar. Kapan pulang?""Seminggu yang lalu Bu Wahyu.""Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak.""Gak tahu Bu, lihat nantilah.""Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain."Pastilah, orang lama banget.""Iya, udah bisa beli sawah, kuliahin Anggi, nyekolahin yang lain, terus bisa renovasi rumah lagi.""Di Hongkong gaji berapa Mbak? Coba anakku mau kesana juga. Sukses deh kayak Mbak Ambar."Dan bla ... bla ... bla. Begitulah ibu-ibu. Kepo. Dalam masyarakat kami, ada suatu anggapan kalau orang kerja jadi TKW di luar negeri pasti sukses hidupnya. Padahal gak semua. Ada yang memang sukses ada juga yang tidak. Semua tergantung orangnya dan satu lagi, takdir. Aku hanya memberikan senyum manis tanpa mau menanggapi. Malas. Biarlah para ibu-ibu itu dengan berbagai anggapannya.Selesai mengikuti pengajian, aku membawa ibu dengan menaiki motor matic menuju toko sembako langganan kami."Bu Ipah mau belanja apa?" tanya Koko Ahong pemilik toko."Biasa Ko, keperluan dapur.""Oh, Dini layani Bu Ipah.""Iya Ko."Ibu menyebutkan beberapa keperluan yang dibutuhkan sedangkan aku hanya mengamati dan sesekali mengedarkan pandangan ke sekitar toko.Pandanganku tertuju pada seseorang dari seberang. Tepatnya di toko kain, terlihat seseorang berperawakan tinggi besar tengah menatapku. Aku memilih memalingkan muka dan menghampiri ibu."Mbar, kamu gak pengen beli apa-apa?""Enggak Bu. Berapa semua Ko?" tanyaku."Empat ratus sembilan puluh ribu."Aku mengeluarkan uang dari dompet dan segera membayarnya."Mau kemana lagi Bu?""Ke tempat Bu Susana dulu ya. Pesen kain buat seragaman nanti di nikahannya Yani.""Yani dapat orang mana Bu?""Bekasi katanya.""Owh."Aku menata belanjaan ibu di motor lalu berjalan beriringan menuju toko seberang. Sekilas kulihat lelaki yang dari menatapku intens sudah tak ada."Pilih yang mana?""Ini aja Bu. Bagus kan?""Iya.""Cici tolong kain ini ya dua meteran sebelas potong.""Iya."Selesai dari toko kain kami segera kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan aku dan ibu bercerita banyak hal. Kadang kami tertawa.*****
"Mbak."
"Hem.""Temeni ke rumah Pak Warman yuh?""Mau bikin apa Nggi?""Ini ganti KTP, kan Anggi udah diterima di BMT, ya status KTP harus gantilah masa masih pelajar.""Oke. Ayok."Kami berjalan menuju ke rumah Pak Warman. Sebenarnya agak malas ke sana tapi mau bagaimana lagi. Beliau sekarang menjabat Ketua RW."Loh, Ambar. Kamu sudah pulang?" sapa Bu Sarni."Iya Bu.""Masuk."Aku dan Anggi masuk dan duduk di ruang tamu."Pulang kapan Mbar?""Udah ada semingguan Bu.""Wah. Kamu betah ya di Hongkong. Gak nyangka kamu jadi TKW padahal dulunya ibu mikir kamu kuliah dan jadi orang sukses. Kayak Linda. Aslinya Linda pengen kerja tapi gak dibolehin sama suaminya. Ya sudah. Lagian suaminya juga kerjanya bagus. Jadi manajer dia. Kamu kapan nikah Mbar?""Minta doanya Bu, semoga disegerakan.""Harus tahun ini loh Mbar, masa udah tiga puluh tahun masih perawan. Perawan tua namanya. Linda aja nikah umur dua lima. Adik-adikmu malah nikah duluan dari pada Linda. Masa kamu yang kakaknya kalah. Awas loh nanti di langkahi lagi sama Anggi. Anggi aja udah punya pacar kan ya Nggi."Aku mencoba bersabar. Wanita di depanku ini memang nyinyir. Banyak alasan yang membuat Bu Sarni suka menyinyiri hidup keluargaku salah satunya aku. Anaknya Linda, setiap sekolah selalu di bawahku. Sayang, nasib kami beda. Linda bisa kuliah sedangkan aku hanya bisa pasrah menjadi pahlawan devisa."Anggi bakalan nunggu Mbak Ambar kok Bu Sqrni, lagi Anggi baru juga lulus. Masih pengen nyari pengalaman," sahut Anggi namun terlihat rahangnya mengeras."Iya. Masa udah dilangkahi dua kali mau tiga kali. Ora ilok (pamali). Nanti jauh jodoh kakakmu.""Pak Warman ada gak ya Bu, ini Anggi butuh tanda tangannya. Kebetulan Ambar juga habis ini ada acara." Aku berusaha mencegah Bu Sarni ngomong lebih banyak lagi."Oh. Sebentar, tak panggilkan."Aku dan Anggi menghembuskan nafas lalu geleng-geleng kepala."Eh, Ambar. Sehat Mbar." Pak Warman menyalamiku dan kemudian duduk di kursi seberang."Alhamdulillah baik Pak.""Ada apa ya kesini?""Mau minta tanda tangan buat surat pengantar Pak.""Oh. Buat apa Nggi?""Ganti KTP, Pak.""Oh iya. Sini mana suratnya."Pak Warman segera menandatangani surat pengantar milik Anggi. Setelah itu kami langsung pamit. Anggi hendak mengambil uang untuk mengisi kas, namun celetukan Bu Sarni membuat gerakan tangannya menaruh uang ke kotak terhenti."Mbakmu baru pulang dari hongkong Nggi, masa cuma ngasih lima ribu. Seratus ribu kek?""Hush, Bu! Nggak usah didengerin Nduk. Bercanda.""Bercanda gimana sih Pak. Lagian orang Ambar banyak uang kok. Ya kan Mbar.""Amin."Aku langsung mengambil dompetku dan menyelipkan selembar uang seratus ribu ke kotak."Kami pamit ya Pak, Bu. Mari.""Oh iya Nduk, hati-hati," ucap Pak Warman.Sepanjang perjalanan Anggi ngomel-ngomel. Aku hanya mendengarnya, sesekali tertawa melihat raut muka Anggi yang sangat lucu."Heran deh Mbak, itu Mak Lampir kenapa sih? Sama keluarga kita kayak benci banget.""Udahlah Nggi. Gak usah didengerin. Biar saja, dia benci ke kita. Asal kita gak boleh dendam. Nanti toh ada azab.""Hah? Maksudnya tuh Mak Lampir dapat azab?""Bukan. Bentar lagi 'kan di TV ikan loncat ada sinetron azab.""Ish ... Mbak Ambar. Gak lucu tahu."Hening. Kami fokus jalan. Sesekali menyapa para tetangga yang berpapasan."Ambar. Udah pulang Nduk?""Eh, Bu Siti. Alhamdulillah. Sudah Bu.""Wah, pangling sayanya. Kirain tadi artis dari mana?""Artis dari Dukuh Karangdadap Bu?""Hahaha. Eh, di rumah saja Mbar?""Iya. Bu.""Gak kerja dimana gitu? Kayak Si Tuti kan buka counter pulsa, si Yuyun buka warung kamu mau kerja apa?""Untuk sementara saya tak jadi pengacara dulu Bu Siti?""Pengacara?""Iya Bu. Pengacara alias pengangguran banyak acara. Mari Bu, saya duluan."Aku dan Anggi berjalan pulang. Masih dapat kudengar tawa Bu Siti. Anggi pun ikut terkekeh.Berita lamaran antara Joko dan Tuti sudah menyebar seantero kampung. Banyak pemuda, jejaka tua dan duda yang menyukai Tuti jadi patah hati. Sama halnya dengan para perawan dan janda muda yang menyukai Joko juga kini merasa patah hati. "Kalah telak dah, kalau sama Joko." "Lah, duda sugih, ya aku kalah." "Wah, janda sama duda ini?" "Haduh, ada perawan kenapa aku kalah sama janda sih?" "Wah, janda selalu di depan." "Janda kaya sama duda kaya, makin kaya dah." Begitulah kira-kira omongan-omongan yang selalu terdengar selama tiga hari ini. Hampir semua warga Gumilang banyak menggosipkan lamaran Joko dan Tuti. Karena saking banyaknya yang menggosip, berita ini pun sampai ke para mantan. Rini hanya bisa menangis semalaman begitu mengetahui kalau mantan suaminya bakal menikah lagi. Keesokan harinya, setalah tadi malam mendengar berita lamaran Joko dan Tuti, dia langsung memburu ke rumah Joko. Rini tanpa salam langsung masuk ke dalam rumah, dimana Joko saat itu sedang mengi
Tuti heran melihat kedatangan Joko, Ambar, Syafiq dan keluarga besar Joko ke rumahnya menjelang pukul delapan malam. Dia bingung tentu saja. "Ada apa? Kok tumben rame-rame ke sininya malam-malam?" Tuti menatap pada Ambar, "Ada apa Mbar? Ada masalah?" Ambar hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Joko. "Ayo Jok, ngomong." Joko terlihat gugup. Tidak seperti biasanya yang terlihat berkharisma dan garang, kali ini Joko terlihat gugup sekali seperti seorang bujang yang baru pertama kali melamar anak perawan. Padahal dulu saat akan melamar Rini, Joko biasa saja, dia memang merasa takut, deg-degan tapi tidak setakut dan sedeg-degan seperti saat ini. Bapaknya Joko terkekeh melihat mimik wajah putranya. Dia pun mencandai sang putra. "Apa perlu bapak yang ngomong?" Joko menoleh kepada bapaknya lalu menggelengkan kepala. Tanda kalau dia sendiri yang akan bicara dengan kedua orang tua Tuti. Joko terlihat mengatur napas. Semua orang diam. Satria dan Chika yang awalnya sibuk bercerita pun memi
Juragan Tarno yang merupakan juragan paling kaya sekecamatan Gumilang hanya mampu menatap Joko dengan tatapan nyalang yang dibalas Joko dengan tatapan sinis. Di samping kanan kiri Joko ada Syafiq dan juga Rafi yang membantunya lepas dari tuduhan Juragan Tarno.Ya, Juragan Tarno sengaja menyabotasi usaha Joko. Dia melakukan tindakan curang dengan menukar jenis kayu yang akan dikirimkan Joko kepada salah satu pelanggan setianya.Joko mengalami kerugian yang luar biasa dan hampir masuk penjara. Karena sang pemborong mengkasuskan tindak kecurangan ini. Beruntung dengan bantuan salah satu putra kyai yang dulu menjadi guru ngajinya Syafiq, Joko bisa terbebas dari tuduhan. Bahkan dia bisa menuntut ganti rugi pada si dalang. Orang yang membantu Joko mengungkap dalang dari sabotase ini juga hadir. Meski tampangnya dingin bak preman pasar dengan rambut gondrong, tapi yang melihatnya tahu, si pak polisi memiliki aura kharismatik yang luar biasa.“Tolong Pak Joko, saya khilaf. Juragan Tarno. In
Tuti tersenyum melihat sang putra begitu gagah. Meski masih ada beberapa luka di wajahnya. Tidak membuat kadar ketampanan Satria berkurang."Nanti, kalau ada yang gangguin kamu lagi. Lawan. Cowok gak boleh kalah. Tapi mainnya yang pinter. Kalau mereka main keroyokan. Ya kamu pakai akal dong.""Siap Ibu.""Sip. Ayo berangkat."Tuti mengantar sang anak ke sekolah. Saat sampai di halaman sekolah Satria tampak beberapa ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Tuti dengan ramah, tapi banyak juga yang menatapnya sinis. Tapi Tuti tak peduli. Tuti melihat beberapa anak yang kemarin menganiaya sang putra. Dia tersenyum sinis bahkan melototi mereka satu per satu. "Mbak Tuti, situ ngapain ngelihatin anak saya kayak gitu.""Oh, ini Mbak Tresna cuma pengen tahu wajah anak-anak yang kemarin menganiaya anak saya.""Eh jangan nuduh dong.""Loh. Emangnya saya nyebut anaknya situ.""Lah dari tatapan mata, Mbak Tuti kan nuduh.""Kalau iya kenapa? Harusnya Mbak Tres
Tuti dan Satria baru saja sampai di parkiran sebuah mall terbesar di Purwokerto. Keduanya segera berjalan hendak menuju ke dalam mall.Langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang gadis cilik."Mas Sat? Tante Tuti?" Chika berteriak memanggil keduanya sambil melambaikan tangan.Baik Tuti dan Satria tersenyum senang. Kedua keluarga saling mendekat. Chika langsung menghambur ke arah Tuti dan memeluknya. Puas memeluk Tuti, Chika menggelayut manja pada Satria."Mas Sat, temenin Chika main ke Timezone ya?""Beres. Halo, Om. Apa kabar?" Satria menyalamai Joko, keduanya saling berjabat tangan dan tersenyum."Baik. Kamu gimana? Udah kelas enam ya?""Iya, Om.""Bagus, nanti sekolah dimana?""Pengennya sih yang kota tapi ....""Kalau mau yang di kota belajarnya harus semangat, terus harus bisa jaga kepercayaan.""Hehehe. Ok!""Bagus." Joko mengacak-ngacak rambut Satria. Pemandangan yang membuat Tuti
Tuti menatap sinis ke arah Dani, sang mantan. Sementara Dani menatap Tuti penuh permohonan. "Plis, Tut. Beri aku kesempatan buat memperbaiki kesalahanku dulu, ijinkan aku membahagiakan kamu dan Satria." Dani memohon sambil berlutut ke arah Tuti. Tuti tertawa keras membuat para pelanggan yang sedang antri membeli pulsa sesekali menoleh. Satria sendiri abai dengan tingkah kedua orang tuanya. Dia fokus melayani para pembeli. "Kalau kamu mau memperbaiki, itu perbaiki hubunganmu sama istri dan anakmu yang sekarang. Bukan sama aku. Ingat ya Dani, kita cuma mantan. Dari pada kamu ngemis-ngemis sama aku, mending kamu cari kerja. Sana kasih nafkah yang bener buat anak istrimu. Bukan malah merecoki aku sama Satria. Kita udah bahagia." "Tapi aku gak cinta sama Fani, Tut. Cintaku sama kamu." Tuti tertawa. "Gak cinta tapi bisa bikin anak? Gak cinta tapi kamu nikah diam-diam? Hahaha." Dani hanya bisa menunduk. Tak mampu mengelak. Menyesal jelas. Han