Share

BAB 5. POV Ayu di Rumah Baru

Kepindahanku ke rumah baru tidak serta merta menjadikan aku hidup bahagia.

Ternyata tetap saja kehidupan rumah tanggaku didera cobaan. Ibuku yang merasa menaruh belas kasih ke aku berinisiatif untuk menemaniku menempati rumah baru.

Sebetulnya tidak bisa dikatakan rumah baru; lebih tepatnya gudang yang berdinding separuh batu bata, separuhnya bilik bambu. Atap dari seng usang yang kalau hujan mulai turun bocor tidak karuan. Bisa dibayangkan kalau turun hujan lebat; air dengan deras masuk ke dalam rumah yang berlantaikan ubin tua yang sudah rusak sana sini.

Rumah yang aku tempatu sendiri awalnya berupa gudang yang sekelilingnya banyak ditumbuhi pohon kayu kalba dan pepohonan tinggi lainnya. Di belakang rumahku tumbuh subur serumpun bambu yang konon dipercaya orang sangat disukai jin sebagai tempat tinggalnya. Entah atas perintah siapa, Om Badi membabat habis pohon bambu itu dan membakar pokok-pokok akarnya.

Suasana sekeliling rumahku masih sunyi sepi. Rumahku hanya bertetangga dengan 3 rumah yang kebetulan jaraknya agak berjauhan. Kanan kiri, depan belakang tumbuh pepohonan tinggi menjulang. Jelang senja saja sekitar rumah terlihat begitu 'horor'.

Suatu malam hujan gerimis...awal aku,suami dan ditemani ibuku menempati rumah itu; tengah malam di sebelah luar jendela rumah sayup-sayup terdengar seseorang memanggil-manggil nama kecilku.

"Tiwiii... Tiwiii...."

Begitu lembut suara itu memanggil-manggil namaku..namun terdengar jelas di telinga. Aku tersentak kaget dan terjaga dari tidur. Dengan gemetar aku gegas bangunkan suamiku.

"Maaas...kamu dengar suara memanggil-manggil aku?"tanyaku.

Suamiku langsung memberikan isyarat jari telunjuk yang ditempelkan di mulut sebagai pertanda supaya aku tidak usah menanggapi suara panggilan itu.

Sungguh suatu hal yang aneh; di tempat baru dengan orang-orang baru di sekitar rumah itu tidaklah mungkun ada orang yang tahu nama panggilan masa kecilku karena notabene aku sebagai pendatang baru di daerah sana.

Ternyata kejadian janggal di tengah malam itu tidak hanya berhenti sampai di situ  Di malam berikutnya; setiap kali suamiku dan ibu berniat ke belakang...terdengar suara ramai di bekas bongkaran pohon bambu itu. Suara-suara riuh laksana orang yang akan pindah rumah jelas terdengar oleh Anto dan ibu.

"Daaag dooog...daaag...dooog. krekeeet...krekeeet. dogdogdogdog...krekeeettt..

Suara itu nyaris terdengar di sepanjang malam. Suasana saat itu cukup mencekam dirasakan. Diiringi suara-suara binatang malam kejadian terus berulang di malam itu.

Anehnya lagi; setiap kali suamiku dan ibu membaca doa-doa...suara itu menghilang...berhenti berdoa suara itu muncul lagi. Hingga di pagi harinya di kaca jendela kamarku terlihat seperti ada beberapa bekas cakaran kuku panjang; entah kuku milik siapa.

         Sungguh aneh dirasakan Ayu; di zaman modern seperti saat itu ternyata masih ada orang dengan seragam serdadu tentara Jawa terlihat di seputar rumah Ayu. . Dua orang itu berdiri persis di bawah cahaya lampu temaram depan rumah tetangga Ayu.Berdiri tegap dengan menyandang pedang layaknya serdadu keraton Jawa yang sedang menjaga gerbang pintu masuk istana..Terperanjat kaget Ayu...bulu kuduk merinding seketika; apalagi setelah sesaat kemudian dua orang pemuda tersebut tiba-tiba menghilang pergi entah ke mana.

Ditambah lagi keanehan lainnya ketika beberapa hari berturut-turut tercium bau kemenyan yang dibakar di belakang dapur rumah Ayu.

Entah misteri apa yang melingkupi keluarga mertuaku sebetulnya.Sejak kepindahanku ke tempat tinggal yang baru gangguan demi gangguan dari makhluk astral sepertinya terus melanda keluargaku.

Ibuku yang termasuk penghuni baru pun tak luput dari gangguan-gangguan itu. Suatu ketika datang Om Bahlul adik bungsu Mamah mertuaku; dengan membawa sekarung beras dia menyambangiku.

“Assalamu’alaikum Bu...”sapanya.

‘’W*’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.’’jawab ibuku yang kebetulan waktu itu berada sendirian di rumah. Aku berangkat ngajar, suami ke kiosnya.

Setelah masuk dan berbasa-basi sejenak, Om Bahlul menyerahkan sekarung beras yang dibawanya.

Ibuku menerima dengan tanpa curiga.

Setelah Om Bahlul berpamitan pulang; ibuku membawa sekarung beras itu ke dapur.

Suamiku ketika pulang hanya berkomentar pendek,’’Jangan dimasak berasnya, Bu..berikan lagi saja ke orang lain.”begitu katanya tanpa menjelaskan apa alasannya.

Ibuku hanya mengiyakan saja.

Tak disangka malam hari setelah kedatangan Om Bahlul dan menerima beras pemberiannya; dalam tidurnya setengah sadar Ibuku mengigau berteriak-teriak menceracau tidak karuan.

Aku yang kebetulan mendengar teriakan Ibuku bergegas mengetuk pintu kamarnya.

“Ibu...ada apa Bu?’’ teriakku keras-keras.

Berulang-ulang kupanggil-panggil Ibuku yang masih saja menceracau tidak karuan.

Kupaksa buka pintu kamar Ibuku yang ternyata tidak terkunci dari dalam.

Betapa kagetnya aku ketika terlihat Ibuku dalam posisi tidur gelisah, terus mengigau dan tak henti tangannya terangkat ke atas kemudian seperti posisi sedang menghalau sesuatu yang sangat menakutkannya.

Gegas kuguncang-guncang tubuh ibuku.

‘’Astagfirullohal’adzim Ibu...sadar Bu...sadaaar...”jeritku

Kutepuk-tepuk pipi Ibuku sambil merapalkan doa sebisaku.

Bersyukur Ibuku segera sadar dan Istigfar berulang kali.

Segera kuberlari ke dapur dan kembali ke kamar memberikan segelas air putih.

“Bismillah...minum Bu...ayo...kupapah sekuat tenaga tubuh ibuku dan kuangsurkan gelas ke mulut supaya Ibu mudah meminumnya.

Setelah betul-betul sadar Ibuku bercerita; kalau tadi setengah sadar beliau didatangi 2 ekor anjing besar yang siap menerkamnya. Ibu berusaha keras menghalaunya...namun anjing itu hanya diam dan memandang Ibuku dengan mata melotot tanpa mau beringsut dari tempatnya.

Tidak tahu mengapa...beberapa hari kemudian Ibuku jatuh sakit, demam tinggi. Aku berupaya mengantarnya ke dokter terdekat; kemudian setelah menerima obat di rumah Ibuku meminumnya. Melalui pemeriksaan dokter katanya Ibu hanya demam biasa dan tidak ditemukan penyakit yang berarti.

Suamiku hanya berkomentar pendek,”Untung berasnya tidak ditanak dan nasinya kita makan.”

Aku hanya terperangah tak mengerti akan omongan suamiku. Beras yang dimaksud itu pemberian dari Om’nya; tapi kenapa tidak boleh diterima dan dimasak apalagi dimakan nasinya? Aku hanya mengedikkan bahu tak mengerti.

Benar-benar penuh misteri kehidupan keluarga suamiku.

Ada lagi keanehan lainnya; waktu usaha suamiku bangkrut...Mamah mertuaku hanya memerintahkan supaya ketika membuka kios suamiku merapalkan doa-doa yang menurutku aneh; tanpa memberikan solusi yang aku rasa lebih masuk akal.

Perlu diketahui, kebetulan rumah tempat tinggal mertua Ayu berupa rumah sekaligus kios tempat suami Ayu menjual produk kerajinannya.Rumah sekaligus kios tersebut berada di pinggir jalan raya, berjejer pula kios-kios milik tetangga sekaligus saudara dari ibu mertuanya ;om Bahlul sebut saja begitu namanya yang notabene terkenal paling kaya di daerah sana dan berprofesi sama dengan suami Ayu.

Om Bahlul dan istrinya banyak orang yang mengatakan kalau bisnisnya tidak wajar. Hampir tiap tahun dia membeli rumah,tanah,bangunan, kendaraan tanpa henti. Belanja kebutuhan papan seperti belanja di warung saja. Setiap tahun pasti bisa dipastikan; minimal merehab rumah atau bangunan yang sudah ada. Rumah dan kiosnya ada di sepuluh tempat belum lagi tanah dan kendaraan yang tak terhitung jumlahnya.Hampir tiap hari setor tunai ke tabungannya.

Sungguh mengherankan aku rasakan. Notabene usahanya sama dengan Anto tapi perbedaan hasilnya benar-benar antara bumi dan langit.

Aku tidaklah iri; tapi perbedaan yang sangat mencolok itu yang seringkali mendatangkan tanda tanya besar di hatiku.

#######

Perlakuan Mamah Mertuaku tetap tak berubah. Aku kira setelah kepergianku dari rumahnya menjadikan dia berlaku baik padaku; tapi ternyata semakin menjadi.

Suatu ketika tanpa merasa sungkan tiba-tiba dia datang sambil berkata,”Anto..Anto...mbok ya aa kalau memang sudah ngga’ mau membayar listrik kios ya bilang, jadi aliran listriknya tidak harus dicabut begini.’’

Ternyata tanpa setahuku segala kebutuhan rumahnya Anto yang menanggung. Aku ikhlas ikhlas saja sebetulnya karena benar-benar menyadiri kalau bakti Anak laki-laki yang utama ke orang tuanya baru ke istrinya. Cuma kadang perkataan Mamah mertuaku yang lama-lama bikin muak juga.

“Anto itu setelah menikah sama sekali tidak mau membantuku. Semua yang membantu ya Sinta dan suaminya.’’ Pujinya setinggi langit.

Padahal ketika pernikahan Anggun adik bungsunya saja suamiku sudah habis-habisan...kios direhab,disulap untuk pelaminan, Segalanya Anto yang  mengurusi tapi sepertinya tidak ada artinya saja.

Segala hal yang dilakukan suamiku sepertinya sia-sia saja. Semua dianggap buruk di mata Mamahnya. Hanya Sinta dan suaminya yang nampak sempurna di hadapannya.

Deraian air mataku tak pernah berhenti keluar di kedua netraku. Betapa teganya Mamah mertua terhadap Anto anak kandungnya dan aku menantunya. Selama ini aku banyak dengar dari tetangga sekitar rumahnya; kalau Anto sejatinya begitu berbakti kepada kedua orang tuanya; begitu mengasihi dan menyayangi adik-adik dan saudaranya; namun sepertinya 'laksana air susu dibalas dengan air tuba.' Kebaikan dibalas dengan kejahatan meski berupa perkataan yang selalu menyakitkan.

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status