Share

Bab 4

Waktu terus bergulir...8 bulan hidup menumpang di rumah mertua kujalani dengan segala kuatku. Mamah Mertuaku benar-benar memperlakukanku seperti madu baginya. Ada saja alasan yang membuatnya benci padaku.

Suatu pagi di hari Minggu,"Masak apa an sich Yu...kompor cuma satu malah dipakai masak kamu."celetuknya seraya melongokkan ke wajan yang aku pakai buat masak.

Aku hanya terdiam..pikirku aku boleh meminjam alat-alat masaknya ya..toh kita hidup serumah; apalagi selama aku hidup di sana saja aku tidak benar-benar menumpang. Sering kulihat laporan keuangan Om Badi isinya hanya belanja kebutuhan keluarga suamiku saja; ada sayur mayur di pedagang keliling, minyak tanah, uang saku adik suamiku yang kuliah dan sebagainya dan sebagainya. Aku tak berani protes; karena sejak kecil terdidik untuk menerima dengan ikhlas rezeki dari Tuhan. Uang belanja 5 ribu yang kuterima sebagai nafkah dari Anto suamiku pun aku anggap sebagai rezeki yang harus aku syukuri; jadi kuanggap wajar kalau kita hidup serumah saling berbagi.

Urusan kebutuhan harian seperti sabun cuci, sabun mandi dan sebagainya pun seringkali aku yang beli..kupikir lagi sekalian untuk sebulan jadi aku beli yang ukuran besar. Kalau terlihat aku meletakkan sabun dsb di tempat cucian pasti seisi rumah ikut memakainya; giliran habis dan aku belum sempat belanja lagi..pasti adik suamiku membeli hanya  sachet'an yang sekiranya hanya cukup untuk mereka saja.

Sebenarnya sungguh memalukan kalau segalanya kuceritakan...tidak banyak yang percaya padaku kalau tidak menyaksikan sendiri kelakuan mereka.

Aku yang sejak kecil terdidik baik oleh orang tuaku tak berani banyak protes. Hanya buliran bening yang sering kutahan agar tidak mengalir deras di kedua pipiku; akan sangat terasa sekali aku tersiksa bila aku tidak punya uang sama sekali...teramat bingung harus bagaimana.

Aku seperti terpenjara oleh mereka. Sinta dan suaminya yang begitu dielu-elukan oleh Mamah Mertuaku dan saudara-saudaranya. 

"Itu sich suami Sinta kerja Seminggu hasilnya ngga' bakalan habis dimakan sebulan."omongan seperti itu sering sekali keluar dari mulutnya.

Aku benar-benar tidak iri; hanya saja ketika Anto suamiku sedang terpuruk usahanya...aku yang ikut jungkir balik membantunya.Bersyukur di tahun yang sama aku hidup di rumah mertuaku; aku diangkat sebagai Guru Tidak Tetap dari Pemerintah Daerah hingga otomatis penghasilanku lebih baik dari guru honorer biasa yang pernah tidak menerima bayaran sama sekali karena ketiadaan dana di tempatku mengabdi.

Suatu ketika karena kondisi keuangan memburuk; Anto meminjam uang 2,5juta rupiah ke suami Sinta. Tapi apa lacur...belum lagi uang didapat Mamahnya sudah menghadangnya dengan pertanyaan:

"Mau dikembalikan kapan itu duitnya?"

Aku jawab,"Insyaa Allah Minggu depan Mah, saya kembalikan..soalnya uang dari kakakku baru bisa diambil Minggu pas libur."

Dengan ketus Mamah Mertuaku menyeletuk,"Uang mau buat modal beli mesin malah dipinjam sama Anto."

Aku benar-benar tak habis pikir...apa kesalahanku dan Anto suamiku hingga perlakuan Mamah Mertua tidak sebaik bila kepada Sinta dan suaminya? Toh kami meminjam uangpun karena benar-benar karena desakan kebutuhan. Usaha suamiku sedang diambang kehancuran; wajarlah bila Anto meminjam uang ke adiknya..toh sedari Ayahnya stroke pun segala kebutuhan dia yang mencukupi..sampai biaya kuliah dan kos'nya yang di luar Propinsi itu.

Bila mau dikalkulasi...kebaikan yang mereka berikan kepada Mamah Mertuaku dan keluarganya tak ada seujung kuku pun dengan bakti Anto kepada orangtua dan saudara-saudaranya.

Apa yang diberikan oleh Sinta dan suaminya kepada Mamahnya laksana bongkahan emas berlian yang tiada bandingannya; sungguh berbeda dengan pengabdian Anto yang diterimanya laksana butiran debu yang begitu mudah hilang terbawa angin.

Sering tanpa sengaja kulihat Anto duduk terbengong seperti ada yang menari-nari di pikirannya. Aku tidak berani menegurnya kalau sudah seperti itu..karena tak bakalan ada jawaban kalau aku mulai bertanya tentang segala sesuatu.

Anto merupakan tipe laki-laki yang super pendiam...bahkan cenderung seperti patung hidup menurutku. Kalau tidak ada yang benar-benar penting; tak ada ucapannya untuk sekedar b**a basi. Hari-harinya hanya digunakan untuk kerja...kerja...dan kerja.

Aku yang baru beberapa bulan hidup bersamanya kadang bingung sendiri akan sikapnya. Dalam keadaan marah pun Anto tetap datar wajahnya. Aku sebagai istri harus yang benar-benar memahami situasi dan kondisinya.

Jangan ditanya kalau urusan ranjang. Memalukan sebenarnya kalau diceritakan.Bila hasrat kelelakiannya sedang meninggi; tanpa b**a-basi dia langsung naik ke tubuhku. Tanpa foreplay sedikitpun. "Mau tahu bagaimana rasaku?" sakit lahir batin!

Namun semuanya aku telan sendiri. Aku tidak berani bercerita kepada siapapun. Biarlah kuterima sebagai baktiku pada orang tua dan suamiku semuanya kujalani. Toh aku menikah dengan Anto pun salah satu alasanku karena rasa baktiku ke orang tua...walaupun banyak yang mencibirku.

"Ayu mau menikah sama Anto kan karena menginginkan hartanya..."

Omongan seperti itu sering sekali mampir ke telingaku..tapi semuanya tak kuhiraukan..pikirku:

"Buktikan saja!"

Semakin hari semakin memanas suasana hatiku; mulai tidak ada ketentraman sama sekali...awalnya segalanya kujalani dengan keikhlasan yang begitu luar biasa; namun pertahanan kekuatan jiwa dan ragaku akhirnya jebol juga. 

Haidku menjadi tidak karuan; kadang sebulan dua kali tamunya datang...kadang terlambat sampai berminggu-minggu walaupun pada kenyataannya ketika dicek dengan taspack aku tidak dalam kondisi hamil.

Perlakuan Mamah mertuaku beserta keluarganya ditambah sikap terlalu diamnya suamiku yang membuatku akhirnya gelap mata.

Suatu pagi kuultimatum suamiku

"Aku pulang ke rumah ibuku ya Mas...bila setelah lebaran nanti tidak ada keputusan darimu...mau bagaimana kita..itu artinya kita bubaran!" kataku pada Anto yang hanya disambutnya dengan tatapan kosong.

Segera aku pulang ke rumah ibuku..entah mengapa aku membawa sebungkus nasi rames yang belum sempat aku makan waktu itu.

Sesampainya di rumah aku dicecar dengan berbagai macam pertanyaan. Keluargaku terutama Ibuku yang tak suka bila rumah tanggaku berantakan berusaha mencari tahu sebab-sebab aku kabur dari rumah mertuaku. Ketika Ibuku melihat sebungkus nasi rames yang kubawa tadi; entah mengapa Ibuku membukanya dan mencicipinya.

"Masih mentah nasinya Yu...yaaa ampun...ternyata selama ini yang kamu makan seperti ini?" penuh tanya Ibu menatap manik mataku untuk mencari kejujuran yang ada di sana.

Aku hanya diam mematung...tanpa terasa buliran bening mulai mengalir deras di kedua netraku.

Tahulah keluargaku sekarang..ternyata rumah tanggaku yang baru berumur 8 bulan sedang berada di ujung tanduk.

Akhirnya kuceritakan secara jujur bagaimana kondisi rumah tanggaku selama ini. Berderailah air mata Ibuku mendengarkan ceritaku.

Nasi sudah menjadi bubur; terpaksa kuceritakan semua yang sudah kujalani selama masa 8 bulan usia pernikahanku. Keluarga besarku tidak terima terhadap perlakuan keluarga suami kepadaku. Dengan uang pinjaman dari kakakku akhirnya keluargaku meminta suamiku supaya memberesi gudang yang selama ini untuk tempat produksi usaha suamiku..sementara tempat usahanya dibuat agak ke belakang dari tempat semula. Keluargaku menginginkan supaya aku dan suami belajar mandiri supaya kelak bila sudah punya anak kami sudah siap segalanya.

Akhirnya berkat bantuan keluargaku; aku belajar terpisah dari mertua...berharap kehidupan rumah tanggaku akan jauh lebih baik...agar tidak terjadi perceraian walaupun sesuatu yang halal tapi hal yang sangat dibenci oleh Tuhan.

            *******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status