Waktu terus bergulir...8 bulan hidup menumpang di rumah mertua kujalani dengan segala kuatku. Mamah Mertuaku benar-benar memperlakukanku seperti madu baginya. Ada saja alasan yang membuatnya benci padaku.
Suatu pagi di hari Minggu,"Masak apa an sich Yu...kompor cuma satu malah dipakai masak kamu."celetuknya seraya melongokkan ke wajan yang aku pakai buat masak.
Aku hanya terdiam..pikirku aku boleh meminjam alat-alat masaknya ya..toh kita hidup serumah; apalagi selama aku hidup di sana saja aku tidak benar-benar menumpang. Sering kulihat laporan keuangan Om Badi isinya hanya belanja kebutuhan keluarga suamiku saja; ada sayur mayur di pedagang keliling, minyak tanah, uang saku adik suamiku yang kuliah dan sebagainya dan sebagainya. Aku tak berani protes; karena sejak kecil terdidik untuk menerima dengan ikhlas rezeki dari Tuhan. Uang belanja 5 ribu yang kuterima sebagai nafkah dari Anto suamiku pun aku anggap sebagai rezeki yang harus aku syukuri; jadi kuanggap wajar kalau kita hidup serumah saling berbagi.
Urusan kebutuhan harian seperti sabun cuci, sabun mandi dan sebagainya pun seringkali aku yang beli..kupikir lagi sekalian untuk sebulan jadi aku beli yang ukuran besar. Kalau terlihat aku meletakkan sabun dsb di tempat cucian pasti seisi rumah ikut memakainya; giliran habis dan aku belum sempat belanja lagi..pasti adik suamiku membeli hanya sachet'an yang sekiranya hanya cukup untuk mereka saja.
Sebenarnya sungguh memalukan kalau segalanya kuceritakan...tidak banyak yang percaya padaku kalau tidak menyaksikan sendiri kelakuan mereka.
Aku yang sejak kecil terdidik baik oleh orang tuaku tak berani banyak protes. Hanya buliran bening yang sering kutahan agar tidak mengalir deras di kedua pipiku; akan sangat terasa sekali aku tersiksa bila aku tidak punya uang sama sekali...teramat bingung harus bagaimana.
Aku seperti terpenjara oleh mereka. Sinta dan suaminya yang begitu dielu-elukan oleh Mamah Mertuaku dan saudara-saudaranya.
"Itu sich suami Sinta kerja Seminggu hasilnya ngga' bakalan habis dimakan sebulan."omongan seperti itu sering sekali keluar dari mulutnya.
Aku benar-benar tidak iri; hanya saja ketika Anto suamiku sedang terpuruk usahanya...aku yang ikut jungkir balik membantunya.Bersyukur di tahun yang sama aku hidup di rumah mertuaku; aku diangkat sebagai Guru Tidak Tetap dari Pemerintah Daerah hingga otomatis penghasilanku lebih baik dari guru honorer biasa yang pernah tidak menerima bayaran sama sekali karena ketiadaan dana di tempatku mengabdi.
Suatu ketika karena kondisi keuangan memburuk; Anto meminjam uang 2,5juta rupiah ke suami Sinta. Tapi apa lacur...belum lagi uang didapat Mamahnya sudah menghadangnya dengan pertanyaan:
"Mau dikembalikan kapan itu duitnya?"
Aku jawab,"Insyaa Allah Minggu depan Mah, saya kembalikan..soalnya uang dari kakakku baru bisa diambil Minggu pas libur."
Dengan ketus Mamah Mertuaku menyeletuk,"Uang mau buat modal beli mesin malah dipinjam sama Anto."
Aku benar-benar tak habis pikir...apa kesalahanku dan Anto suamiku hingga perlakuan Mamah Mertua tidak sebaik bila kepada Sinta dan suaminya? Toh kami meminjam uangpun karena benar-benar karena desakan kebutuhan. Usaha suamiku sedang diambang kehancuran; wajarlah bila Anto meminjam uang ke adiknya..toh sedari Ayahnya stroke pun segala kebutuhan dia yang mencukupi..sampai biaya kuliah dan kos'nya yang di luar Propinsi itu.
Bila mau dikalkulasi...kebaikan yang mereka berikan kepada Mamah Mertuaku dan keluarganya tak ada seujung kuku pun dengan bakti Anto kepada orangtua dan saudara-saudaranya.
Apa yang diberikan oleh Sinta dan suaminya kepada Mamahnya laksana bongkahan emas berlian yang tiada bandingannya; sungguh berbeda dengan pengabdian Anto yang diterimanya laksana butiran debu yang begitu mudah hilang terbawa angin.
Sering tanpa sengaja kulihat Anto duduk terbengong seperti ada yang menari-nari di pikirannya. Aku tidak berani menegurnya kalau sudah seperti itu..karena tak bakalan ada jawaban kalau aku mulai bertanya tentang segala sesuatu.
Anto merupakan tipe laki-laki yang super pendiam...bahkan cenderung seperti patung hidup menurutku. Kalau tidak ada yang benar-benar penting; tak ada ucapannya untuk sekedar b**a basi. Hari-harinya hanya digunakan untuk kerja...kerja...dan kerja.
Aku yang baru beberapa bulan hidup bersamanya kadang bingung sendiri akan sikapnya. Dalam keadaan marah pun Anto tetap datar wajahnya. Aku sebagai istri harus yang benar-benar memahami situasi dan kondisinya.
Jangan ditanya kalau urusan ranjang. Memalukan sebenarnya kalau diceritakan.Bila hasrat kelelakiannya sedang meninggi; tanpa b**a-basi dia langsung naik ke tubuhku. Tanpa foreplay sedikitpun. "Mau tahu bagaimana rasaku?" sakit lahir batin!
Namun semuanya aku telan sendiri. Aku tidak berani bercerita kepada siapapun. Biarlah kuterima sebagai baktiku pada orang tua dan suamiku semuanya kujalani. Toh aku menikah dengan Anto pun salah satu alasanku karena rasa baktiku ke orang tua...walaupun banyak yang mencibirku.
"Ayu mau menikah sama Anto kan karena menginginkan hartanya..."
Omongan seperti itu sering sekali mampir ke telingaku..tapi semuanya tak kuhiraukan..pikirku:
"Buktikan saja!"
Semakin hari semakin memanas suasana hatiku; mulai tidak ada ketentraman sama sekali...awalnya segalanya kujalani dengan keikhlasan yang begitu luar biasa; namun pertahanan kekuatan jiwa dan ragaku akhirnya jebol juga.
Haidku menjadi tidak karuan; kadang sebulan dua kali tamunya datang...kadang terlambat sampai berminggu-minggu walaupun pada kenyataannya ketika dicek dengan taspack aku tidak dalam kondisi hamil.
Perlakuan Mamah mertuaku beserta keluarganya ditambah sikap terlalu diamnya suamiku yang membuatku akhirnya gelap mata.
Suatu pagi kuultimatum suamiku
"Aku pulang ke rumah ibuku ya Mas...bila setelah lebaran nanti tidak ada keputusan darimu...mau bagaimana kita..itu artinya kita bubaran!" kataku pada Anto yang hanya disambutnya dengan tatapan kosong.
Segera aku pulang ke rumah ibuku..entah mengapa aku membawa sebungkus nasi rames yang belum sempat aku makan waktu itu.
Sesampainya di rumah aku dicecar dengan berbagai macam pertanyaan. Keluargaku terutama Ibuku yang tak suka bila rumah tanggaku berantakan berusaha mencari tahu sebab-sebab aku kabur dari rumah mertuaku. Ketika Ibuku melihat sebungkus nasi rames yang kubawa tadi; entah mengapa Ibuku membukanya dan mencicipinya.
"Masih mentah nasinya Yu...yaaa ampun...ternyata selama ini yang kamu makan seperti ini?" penuh tanya Ibu menatap manik mataku untuk mencari kejujuran yang ada di sana.
Aku hanya diam mematung...tanpa terasa buliran bening mulai mengalir deras di kedua netraku.
Tahulah keluargaku sekarang..ternyata rumah tanggaku yang baru berumur 8 bulan sedang berada di ujung tanduk.
Akhirnya kuceritakan secara jujur bagaimana kondisi rumah tanggaku selama ini. Berderailah air mata Ibuku mendengarkan ceritaku.
Nasi sudah menjadi bubur; terpaksa kuceritakan semua yang sudah kujalani selama masa 8 bulan usia pernikahanku. Keluarga besarku tidak terima terhadap perlakuan keluarga suami kepadaku. Dengan uang pinjaman dari kakakku akhirnya keluargaku meminta suamiku supaya memberesi gudang yang selama ini untuk tempat produksi usaha suamiku..sementara tempat usahanya dibuat agak ke belakang dari tempat semula. Keluargaku menginginkan supaya aku dan suami belajar mandiri supaya kelak bila sudah punya anak kami sudah siap segalanya.
Akhirnya berkat bantuan keluargaku; aku belajar terpisah dari mertua...berharap kehidupan rumah tanggaku akan jauh lebih baik...agar tidak terjadi perceraian walaupun sesuatu yang halal tapi hal yang sangat dibenci oleh Tuhan.
*******
Boleh dikatakan masa laluku lebih banyak merasakan kebahagiaan meski hidup dalam kesederhanaan. Saling pengertian, perhatian dan kasih sayang selalu diterapkan dalam kehidupan rumah tangga bapak dan ibu.Aku sebagai anak bungsu menjadi tumpuan kasih sayang dari kedua kakakku.Tak pernah sedikitpun keluargaku saling menyakiti baik berupa perkataan maupun perbuatan.Hingga kami sekeluarga sedari kecil hingga dewasa begitu merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya meski dalam segala keterbatasan ekonomi. Sungguh berbeda ketika sekarang hidup berumah tangga. Sepertinya harta dan kenikmatan duniawi yang selalu dikejar oleh keluarga suamiku. Kesedihan dan rasa benci serasa semakin mengakar di hati sanubariku, bahkan sampai ke kedua anakku Mereka seperti tidak mau mengakui keluarga ayahnya sebagai bagian dari kehidupannya. Pun begitu dengan mamah mertuaku, hari-hari terasa ada jurang pemisah antara kami. Aku laksana
Di zaman tahun 1990n adalah masa paling membahagiakan bagi Ayu,karena di masa itu walaupun hidup dalam kesederhanaan namun kebahagiaan lahir batin tetap didapat.Hidup dalam lingkungan keluarga sederhana namun penuh keharmonisan membuat Ayu berkembang menjadi pribadi yang menyenangkan. Meski tidak bisa terbilang cantik, namun banyak dari kalangan lelaki yang jatuh hati karena kepribadiannya.Namun kebanyakan laki-laki entah mengapa seringkali merasa jengah bila mulai berdekatan dengan Ayu. Seperti ada sekat yang selalu menghalangi bila mereka mulai lebih jauh saling mengenal.Seringkali pula muncul keraguan dalam diri Ayu bila ada pria yang mulai berusaha ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengannya."Ay...sebenarnya banyak yang suka ke kamu lo..tapi sepertinya kamu kok tak acuh begitu sih?"suatu saat sahabat dekatnya bertanya.Ayu hanya mengedikkan bahu. Entah mengapa memang dia rasakan...dia sepertinya selalu en
Waktu terus bergulir, pelan namun pasti..bisnis suamiku kembali terpuruk karena pengambilalihan brand secara sepihak oleh Sinta dan suaminya. Aku semakin tidak habis pikir, yang ada dalam benakku aku merasa diperlakukan semena-mena dan hidup dalam ketidakadilan. Anto yang merintis bisnis dari nol dengan modal seadanya hingga bisa berkembang lantaran kerja kerasnya yang tak kenal waktu harus 'hancur' dalam sekejap hanya karena modal uang yang dimiliki Sinta dan suaminya begitu banyaknya. Aku kembali protes, berusaha mengeluarkan segala yang terasa begitu menyesakkan dadaku. "Gimana sih Mas...kok bisa begini?"tanyaku penuh emosi kepada Anto yang kulihat tetap tenang-tenang saja. “Aku sebagai istri kan juga berhak untuk menikmati dan mendapat nafkah lahir maupun batin dari suamiku! ucapku semakin tak terkendali. "Harusnya kamu proteslah Mas..itu kan bisnis kamu rintis
Aku sebenarnya kurang cocok waktu Anto memilih untuk menikahi Ayu karena menurutku dia tidak sepadan denganku. Dia hanya seorang guru honorer biasa, sementara anakku Anto pengusaha yang tergolong sukses. Karyawannya saja 16 orang, dengan pendapatan puluhan juta dalam satu harinya. Kenapa Anto malah memilih Ayu sebagai istrinya? Kenapa dia tidak memilih Irna saja? Padahal aku sudah begitu mengenalnya dan keluarganya. Aku sudah menjadi teman bisnis papa dan mamanya lama, saat mereka masih sama-sama kanak-kanak. Kalau saja Anto menerima jodoh yang aku sodorkan untuknya, aku pasti akan berusaha membahagiakannya. Harusnya anakku setidaknya lebih mengenal Irna yang mau aku jadikan istrinya, siapa tahu setelah mereka saling kenal akan ada kecocokan yang akhirnya bisa menjadikan mereka berjodoh. Menurutku Anto terlalu gegabah, belum lama mengenal Ayu sudah langsung melamarnya. Andai saja waktu itu Gun adikku juga tidak memaksanya untuk se
Matahari mulai menyembul menampakkan sinar cerahnya. Aneka burung bercicit merdu di dahan sebelah rumah. Minggu pagi, saat yang tepat untuk bermain bola. Anak-anak menguap perlahan. "Hoooaaahheeemm ..." Sambil nyengir, kulihat Arman dan Anto menutup mulutnýa yang menganga lebar ketika dia menguap tadi. Masih merasa enggan sepertinya anak lelakiku itu beranjak dari tempat tidurnya ketika tiba tiba aku memanggil-manggilnya "Bangun Nak...dibangunkan dari tadi koq yaaa...sudah siang ini...ayoo Subuhan dulu...habis itu mandi dan sarapan...!" Kulihat mereka melirik jam dinding di kamarnya. ..."Haaaah...jam 05:10...aku kesiangan ini...aku sudah janjian sama teman-teman koq yaa..."seringai Arman kaget kulihat. Gegas dia menyahut panggilan Ibunya...."Baiiik Bu..."sambil bangkit dan keluar dari kamarnya. Dia lupa kalau belum membereskan kamarnya yang berantakan bekas tidurnya tadi. "Hmmmmm...kebiasa aan..."kataku ketika menengok isi kamarnya
Aku menyesal telah membuat Ayu menjatuhkan pilihan untuk mau dinikahi Anto. Gara-gara aku sakit, Ayu tidak bisa bersikap untuk mengakhiri hubungannya sebelum masa pernikahannya. Aku sangat bersyukur Ayu begitu berbakti kepadaku dan memilih untuk membuatku bahagia dengan mau meneruskan pernikahannya dengan Anto. Penilaianku ternyata salah terhadap Anto. Aku kira dengan rajinnya dia beribadah di Masjid jadi jaminan dia akan menyayangi dan mencintai anakku dengan tulus. Ternyata dugaanku salah. Anto sepertinya tidak benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari tanggung jawabnya. Padahal apa yang ditanam oleh ayahnya Ayu sungguh luar biasa. Beliau betul-betul begitu perhatian dan bertanggung jawab kepadaku dan anak-anaknya walaupun setiap hari rasa baktinya kepada Ibunya tidak pudar. Bahkan suamiku tercinta selalu bisa menempatkan diri dengan baik sebagai suami, ayah dan bahkan anak serta saudara bagi keluarganya. Tidak seperti Anto menantuku. Dari waja
Suatu malam; terdengar suara jengkerik bersahut-sahutan. Binatang malampun mulai berbunyi sahut menyahut. Bulan seperti malu malu menampakkan dirinya.Di ranjang, ku bolak-balikkan badan.Entah mengapa malam itu terasa panjang dia lalui.Sudah tiga harian ini suami tercintanya berangkat ke luar kota mengirimkan barang kepunyaan majikan.Tidak biasanya suaminya tidak memberikan kabar sedikitpun. Biasanya ketika suamiku pergi ke luar kota untuk beberapa hari; Beliau selalu menitipkan pesan kepada teman sesama sopir yang kebetulan pulang ke kotanya. Hatiku begitu gelisah malam itu; berjingkat aku keluar kamar untuk menengok Anak-anak di kamarnya. Aku tidak tega membangunkan Anak-anak untuk sekedar menemaninya berjaga dari kesunyian malam itu. Terlihat Anak-anaknya tertidur lelap seperti bermimpi indah. Begitu damai wajah mereka, menjadikanku semakin tidak tega kalau sampai membuat mere
Suatu ketika di sekitar tahun 1959; di sebuah rumah mewah terdengar suara ramai, meriah. Pesta pernikahan seorang kaya digelar. Tetamu yang datang terkesan glamour dengan dandanan yang modis nan elegan. Musik langgam Jawa syahdu mewarnai suasana pesta itu. Orang terlihat hilir mudik, lalu lalang, silih berganti datang dan pergi memenuhi undangan sang punya hajat R.M. Ngabei Sastro Dipuro orang terkaya di kampungnya. Di ruang dapur rumah tersebut tak sedikit orang yang sibuk mempersiapkan hidangan untuk para tamu yang datang. Beraneka hidangan tertata rapi siap untuk menjamu pada pesta pernikahan tersebut. Di sudut ruangan di depan sebuah meja berukuran luas terlihat seorang wanita belia kelahiran Agustus 1939 terlihat cekatan menata piring demi piring makanan di atas meja . Terlihat sekali kalau wanita belia itu begitu mahir dan terbiasa mengerjakan pek
Seringkali impian dan harapan kita jauh api dari panggang,tapi itulah hidup. Seringkali apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan kenyataan. Seperti aku yang menginginkan hidup bahagia dalam rumah tanggaku ternyata banyak sekali aral melintang menghadangku.Suatu sore, dengan muka yang teramat ceria Danu pulang bersama dengan ayahnya sambil berteriak kegirangan‘’Ibu, aku punya kartu ATM nich..jumlah uangnya banyak!’’Sesaat kemudian dia menyerahkan selembar kartu yang begitu menarik perhatianku dan membuatku penasaran.Ketika kulihat dengan seksama aku terlonjak kaget“Apa ini Mas?’’ tanyaku pada suamiku yang hanya berdiri mematung di dekat Danu anakku.Aku kaget bukan kepalang, terpampang jelas nama Harry Subrata lengkap dengan nomor seluler yang bisa dihubungi. Yang membuatku kaget bukan kepalang adalah nama perusahaan suamiku ada di sana dengan jenis usaha yang sama dengan suamiku.