Share

Bukan anakku pelakunya

Hari raya, biasanya rumah mertuaku cukup banyak orang yang datang bersilaturahmi. Karena mertuaku termasuk tetua di kampung ini. Banyak para keponakan dan saudara-saudara jauh memang sengaja datang untuk meminta maaf di hari yang fitri ini.

Kami sekeluarga memang datang siang. Karena tadi aku mengajak suami dan anak-anak ke rumah Kak Minah, kakak kandungku yang jarak lebih dekat dari rumah kami. Tak enak rasanya, melewati rumahnya tanpa singgah duluan. Juga karena kedua orang tuaku sudah meninggal, jadi kak Minah lah tempat aku bersilaturahmi di hari raya ini. Selain itu juga, karena kami banyak dan kendaraan cuma satu. Jadi, harus bergiliran diangkut kalau hendak bepergian. Makanya agak lambat sedikit sampainya ke rumah mertuaku.

Pertama tiga anakku yang diantar duluan oleh Bang Rozi ke rumah mertua. Setelah itu, baru menjemputku. Saat sampai di rumah mertua, kami pun sujud sungkem pada bapak dan emak.

Anak-anakku terlihat senang karena di meja rumah neneknya ini tertata bermacam-macam kue enak dan juga mendapatkan THR dari Om mereka yaitu Rido. Anak-anakku membuka satu persatu toples dan mencicipi isinya. Sudah ku gelengkan kepada dan melotot agar mereka berhenti, tapi mereka seperti tak paham terus saja tanpa mengindahkan isyarat dariku.

"Ilham! Awas pecah!" pekik Emak melihat anak bungsuku berjalan kesana kemari membawa toples kaca berisikan kue nastar itu.

"Dek, ayo letakan kuenya," ucapku dengan lembut kepada bocah Lima tahun itu.

"Tapi, Adek mau buk. Kuenya enak," sahut anakku.

"Ambil kuenya terus toplesnya letakkan di meja, kalau mau, ambil saja lagi," tambahku lagi, memberi pengertian dengan lembut pada Ilham.

"Bawa sini, ini pemberian Tante Airin. Nanti pecah 'kan sayang, pasti harganya ini mahal," ucap emak pula. Ilham pun manut lalu meletakkan toples itu di meja.

Oh ya, mana Airin ya. Kok dari tadi nggak kelihatan, apa mungkin di kamar seperti biasanya, rebahan seraya memainkan ponselnya.

"Bawa gelas-gelas ini ke dapur, Ti," perintah emak padaku. Aku pun dengan cekatan mengumpulkan gelas-gelas itu. Sepertinya bekas minum tamu-tamu sebelum kami datang tadi.

Sebelum ke dapur aku berbisik pada Rani anak tertuaku untuk membawa adik-adiknya bermain di teras. Terutama Ilham karena anak bungsuku itu memang sedang lasak-lasaknya.

Di dapur ada pemandangan langka, ternyata Airin sedang mencuci piring. Tumben, batinku.

"Ngomong sama siapa, Rin?" tanyaku saat melihat Airin mengomel. Perempuan kota itu sedikit terkejut, ternyata dia tak menyadari kalau aku dari tadi berdiri di belakangnya.

"Eh Kak Yati, kita belum bermaafan ya, Kak," ucapnya seraya tersenyum. Ia pun membasuh tangannya dan menyalamiku.

"Sudah, Kakak saja yang terusin, aku capek," ucapnya lagi seraya pergi meninggalkan tumpukan piring dan gelas kotor itu di atas wastafel.

Aku menarik napas panjang melihat kelakuan menantu kaya kesayangan emak mertuaku ini. Baru saja mencuci piring, dia sudah mengeluh capek.

Aku pun melanjutkannya cucian piring Airin tadi. Tapi, tiba-tiba Airin kembali datang dengan wajahnya yang di tekuk. Di tangannya ada gelas-gelas yang tadi tak bisa ku bawa ke belakang semua.

"Bikin minum dan menyajikan makanan untuk orang-orang yang datang, terus mencuci bekasnya pula, mana orang-orang yang datang banyak, nggak habis-habis dari tadi," omel Airin.

Aku tersenyum mendengar omelan iparku itu.

"Kakak sih, lama banget datangnya. Sudah kayak pelayanan restoran saja aku dari tadi," lanjutnya lagi.

"Emak yang suruh Kamu, Rin?" tanyaku pula.

"Nggak sih, Kak. Tadi, sebenarnya Emak yang sibuk dengan tamu-tamu yang datang itu. Mas Rido yang menyuruhku, karena kasihan melihat Emak kerepotan.'

"Terus, Resti mana?"

"Di jemput tunangannya, katanya bersilaturahmi ke rumah camer."

Aku mengangguk, memang adik bungsu suamiku itu sudah bertunangan dan akan menikah dalam waktu dekat ini.

"Ya sudah, Kakak cuci saja piring-piring kotor itu. Aku mau istirahat, capek," ucap Airin lagi seraya pergi dari dekatku. Ya, begitulah orang biasa hidup senang, nyuci piring segini saja sudah kecapean.

"Ibuuuk..." Ilham terlihat menangis seraya berjalan ke arahku.

"Ada apa, Nak?" tanyaku seraya mencuci tangan dan menyambut Ilham. Belum lagi usai mencuci piring, anakku itu sudah membuat ulah.

"Aku di cubit Nenek, Buk," jawabnya dengan terisak.

"Ilham nakal?"

Ilham hanya diam seraya menunduk.

"Anakmu ini tak bisa sekedar melihat." Emak mengomel seraya berjalan ke arahku.

"Ada apa ini, Mak?" aku memberanikan bertanya pada mertuaku itu.

"Lihat itu tablet Raffa sampai pecah dibuatnya," jawab Emak dengan mendelik tajam ke arah Ilham.

"Benar Dek?" tanyaku pada Ilham.

Ilham menggeleng pelan seperti sangat ketakutan pada neneknya itu.

"Kalau bukan Ilham terus siapa lagi, hanya Dia yang dari tadi nempel terus dengan Raffa, melihat Raffa memainkan tablet itu," ucap Emak dengan sewotnya.

"Tap..."

"Kak Yati, lihat tab Raffa. Ini semua ulah anakmu." belum lagi aku selesai berbicara, Airin memotong ucapanku seraya memperlihatkan tablet milik anaknya yang sudah retak itu.

"Aku nggak mau tahu, pokoknya Kakak harus ganti. Ini baru saja ku beli kemarin sebelum berangkat ke sini," lanjutnya lagi dengan lantang.

"Tapi, Rin. Bukan Ilham yang melakukannya," ucapku pelan. Aku yakin bukan anakku pelakunya, karena anakku itu tak pernah berbohong.

"Masih mengelakkan Kau ya, Yati. Itu buktinya sudah ada," ucap emak seraya menunjuk tablet di tangan Airin.

"Sudahlah, Dek. Malu di dengar tetangga, hari raya begini kok di rumah kita ribut-ribut," ucap Rido kepada Airin, setelah ia ikut ke dapur mendengar kami berdebat.

"Enak saja, Mas. Tablet itu baru, Raffa saja belum puas memainkannya..."

"Nantikan bisa diperbaiki," sahut Rido pula.

"Nggak bisa begitu, Mas. Walaupun diperbaikinya nggak akan sebagus seperti semula," balas Airin dengan cepat.

"Keponakanmu ini harus diajarkan bagaimana caranya menghargai milik orang lain," lanjut Airin lagi seraya menunjuk kearah Ilham. Dan Ilham pun tambah menangis karena ketakutan.

"Ilham, dengar ibuk. Benar Ilham yang memecahkan tab-nya Raffa?" tanyaku dengan lantang. Ya, aku mulai terbawa emosi melihat ulah iparku yang menyalahkan Ilham. Tepatnya, aku tak tahu harus meluapkan kemarahan ku pada siapa.

Ilham pun kembali menggeleng.

"Jawab ibuk!" teriakku.

"Bu-bukan Ilham, Buk," ucap anakku terbata-bata dengan lelehan air mata di pipinya.

"Kecil-kecil pandai berkelit ya," ucap Airin.

"Pokoknya aku mau tablet Raffa harus Kakak ganti!" seru Airin lebih keras lagi. Dia meletakkan tablet itu di atas meja dapur, lalu ia pun pergi. Begitu juga dengan emak dan Rido pergi meninggalkan aku dan Ilham di dapur.

Aku terkesiap mendengar ucapan Airin. Uang dari mana aku untuk menggantinya, Sedangkan anak-anakku tahun ini tak ada yang beli baju lebaran. Karena memang semenjak aku tak ikut bekerja lagi, keuangan kami benar-benar morat-marit.

"Dengar itu Ilham, uang dari mana kita mengganti barang mahal seperti itu," ucapku seraya menangis. Ya, air mataku tak mampu ku tahan lagi.

Tiba-tiba emosi ku meledak, tanpa sadar aku mencubit tangan Ilham bertubi-tubi.

"Ini tangan Ilham, jahat!"

"Ampun, Buk. Sakit," rintih anakku.

Melihat Ilham merintih, aku pun iba.

"Maafkan ibuk, Nak," ucapku seraya memeluk Ilham.

"Kita orang miskin, Nak. Tak boleh memegang mainan mahal seperti itu..." lirihku sambil menatap Ilham.

Anakku itu mengangguk, entah mengerti entah nggak dengan ucapanku tadi.

"Ya sudah, ayo kita pulang," ucapkan menarik tangan anakku Ilham.

"Jangan lupa, beli tablet yang sama merek dan tipenya," ucap Airin dengan sinis, saat aku melewatinya di ruang tengah. Aku hanya lewat, tak ingin menjawab sepatah katapun dari ucapan Airin.

"Loh kenapa Kalian menangis?" tanya Bang Rozi, saat kami berpapasan di ruang tamu.

"Ini Ilham berulah, Dia memecahkan tab-nya Raffa," ucapku kembali menangis.

"Benar, Dek?" tanya Bang Rozi pada Ilham.

"Kamu kemana saja sih, Bang?" tanyaku lagi dengan lantang.

"Tadi, aku beli rokok sebentar..."

"Abang tahu anak kita ini nakal-nakal, mengapa tak Abang bawa saja," lanjutku lagi dengan penuh emosi.

"Sekarang Abang lihat ulah Ilham ini, tab-nya Raffa pecah, uang dari mana kita menggantinya, Bang!' teriakku lebih keras lagi.

"Sabar, Dek," jawab suamiku dengan lembut.

"Ilham ini memang tak pernah mendengar kata-kataku. Kita ini miskinnya, Nak. Jangan sentuh-sentuh yang bukan milik kita!" aku menoleh ke arah Ilham.

"Lihat sekarang apa Ilham sanggup menggantinya, hah!"

"Sudah, diam! Aku yang akan mengganti tab itu," ucap bapak mertuaku dengan ekspresi wajah datar. Kemudian dia masuk ke kamarnya.

Aku tak lagi bersuara, lalu mengajak anak-anakku pergi meninggalkan istana mertuaku ini.

Kami sudah berjalan kaki cukup jauh, saat Bang Rozi menyusul kami.

"Ayo naik," perintahnya pada anak-anak.

Anak-anak pun naik ke atas motor, tinggal aku dan Ilham yang nantinya menunggu di jemput lagi oleh Bang Rozi.

"Antar anak-anak pulang," ucapku tegas, saat melihat sepeda motor suamiku mau berbelok ke arah rumah mertuaku lagi.

Bang Rozi manut, dan melajukan motornya ke jalan arah rumah kami.

____________________

"Buk, bukan Adek loh yang mecahin tablet Raffa," ucap Rani ragu-ragu, saat itu kami sudah sampai di gubuk ternyaman kami ini.

"Benar, Kak? Emang Kakak lihat," selidikku.

Rani mengangguk, "Tadi Raffa sedang main tab itu, Adek ikut melihatnya. Terus Raffa dipanggil Tante Airin dan Raffa meninggalkan tab-nya itu di dekat Adek..."

"Terus, Kak?" tanyaku lagi.

"Iya, mungkin Adek penasaran. Ia pun mengambil tab itu dan memainkannya sebentar. Setelah Kakak tegur, Ia pun meletakkan tab itu ke tempat semula. Dan menunggu Raffa datang untuk melihatnya bermain tab itu lagi." bocah sebelas tahun itu kembali melanjutkan ceritanya.

"Tapi, setelah Raffa memegang tab-nya lagi, Dia marah dan membanting tab-nya itu karena katanya permainan kesukaannya sudah terhapus oleh Adek. Kemudian Raffa mengadu ke mamanya, kalau Adek pegang-pegang tab miliknya." aku mengangguk pertanda mengerti.

"Kok Kakak nggak bilang begitu tadi di sana..."

"Sudah, Bu. Kakak bilang semua pada Nenek dan Tante Airin. Tapi, mereka tak percaya dan menuduhku berbohong."

Hatiku hancur mendengar perkataan anakku barusan. Sebegitu tak di dengarnya kalau orang miskin berbicara, harta telah membutakan mata dan hati mereka.

"Maafkan ibuk, Nak..." lirihku saat melihat Ilham bermain mobil-mobilan sambil tertawa lepas di teras rumah sederhana kami ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status