"Maafkan keluargaku, Dek," lirih suamiku. Dia duduk di tepi ranjang, seolah-olah memang menungguku masuk ke dalam kamar.
Aku hanya diam dan duduk di sampingnya."Anak-anak sudah tidur, Dek?"Aku mengangguk, "Aku yang salah, Bang. Sudah tahu dari dulu tak ada tempat untukku di rumahmu, aku yang masih memaksakan diri untuk tetap masuk ke sana," ucapku dengan berlinangan air mata."Sudahlah, Dek. Jangan diungkit-ungkit yang sudah lalu," sahutnya lagi seraya menatapku."Lihat dirimu, Bang. Mungkin hidup Abang tak akan seperti ini, kalau seandainya Abang tak memilih hidup denganku...""Apa salahnya aku hidup bersamamu, Dek. Ak...""Salahnya aku miskin, Bang. Aku tak berpendidikan...""Stop menyalahkan diri sendiri, Dek. Aku bahagia hidup bersamamu, aku beruntung mendapatkan wanita sebaik dirimu, Dek," Bang Rozi memegang tanganku erat."Entahlah, Bang. Aku capek...""Maaf..." lirihnya seraya membawaku kedalam pelukan, nyaman sekali.____________________"Siapa namamu, Nak?" tanya perempuan paruh baya itu. Perempuan itu adalah ibunya Bang Rozi, lelaki yang setahun belakangan ini mengisi hari-hariku."Nurhayati, Buk," jawabku seraya menunduk malu."Sudah berada lama dekat dengan Rozi?" tanyanya lagi."Hampir setahun, Buk," sahutku pelan."Sudah lama juga ya," ucapnya lagi seraya mengangguk dan melihatku dengan seksama."Masih kuliah atau sudah bekerja?"'Degh!' jantungku berdegup kencang mendengar ucapan ibunya bang Rozi. Bagaimana aku mau menjawabnya, jangankan kuliah, SMP saja aku tak tamat. Dan sehari-hari kerjaku hanya mengasuh anak kak Minah saja, saat kakakku itu bekerja."Yati hanya di rumah, Mak. Momong ponakannya. Itung-itung latihan, supaya besok lebih mahir mengasuh anak," sahut Bang Rozi seraya tersenyum manis. Aku tahu Bang Rozi seperti itu untuk menyelamatkanku dari pertanyaan ibunya tadi."Oo..." ucap ibu bang Rozi singkat."Kalian kenalnya di mana?" tanya ibu itu lagi, lebih tepatnya ibu bang Rozi sedang mengintrogasi ku."Rumah Yati 'kan di kampung sebelah, Mak. Jadi, sering ketemu." Bang Rozi menjawab dengan cekatan."Dekat juga ya, dekat mana ya rumahmu Nak Yati?""Yati ini anaknya almarhumah Pak Hardi, Mak.""Pak Har...di... yang tukang cii...lok..." ibunya Bang Rozi menoleh padaku, mungkin minta jawaban.Aku mengangguk. Seketika raut wajah ibu Bang Rozi berubah, dia seakan terkejut setelah mengetahui kalau aku anak seorang pedagang cilok"Ya sudah, Kalian lanjutlah mengobrol. Kepala Mak pusing, mau istirahat dulu." Ibunya bang Rozi pun meninggalkan aku dan bang Rozi di ruang tamu.Rasa tak enak menjalar di hatiku. Bagaimana tidak, di tinggalkan oleh tuan rumah saat aku sedang bertamu."Bang aku pulang saja, ya," ucapku ragu-ragu takut bang Rozi merasa tak nyaman."Kok sebentar banget, ketemu keluargaku yang lain belum," ucap Bang Rozi seperti tak terima."Tapi, Bang. Ini sudah sore, nanti kak Minah nyariin." aku beralasan."Ya sudah, aku panggil Emak dulu ya. Biar Adek pamitan," ucapnya seraya pergi ke kamar ibunya.Melihat gelas teh yang tadi di suguhkan ibu Bang Rozi tergeletak di atas meja. Aku pun berinisiatif untuk mengantarnya ke dapur. Tapi, saat melewati sebuah kamar yang berdampingan dengan ruang makan. Terdengar obrolan bang Rozi dan ibunya yang menyebut-nyebut namaku."Ayolah, Mak. Sebentar saja, Yati mau pamitan." terdengar suara Bang Rozi sedikit berbisik dan seperti memohon pada ibunya."Nggak, sekali nggak ya tetap nggak. Kalau mau pulang ya pulang saja," ucap ibu bang Rozi, terdengar jelas di telingaku. Mungkin dia sengaja mengeraskan suaranya itu."Mak...tol...""Rozi... Rozi... wanita seperti itu yang ingin Kau jadikan istri...""Mak... emang salah Yati apa?""Mak sekolahkan Kau tinggi-tinggi Rozi, masa seperti itu saja Kau masih bertanya," ucap ibu itu dengan lantang."Sungguh aku nggak mengerti dengan jalan pikiran Mak...""Huh... Kau lihat Rozi, apa Yati sepadan dengan Kau, anakku...""Tapi, aku mencintai Yati, Mak.""Masa bodoh dengan cintamu. Mak tak setuju kalau wanita miskin dan tak berpendidikan itu jadi istrimu." ucapan ibu Bang Rozi barusan sukses membuat hatiku teriris. Air mataku mengalir deras di pipiku'Drrrett! Drrrett! Drrrett!' getaran handphone membuyarkan lamunanku. Ku lirik ke ponsel bermerek Nokia itu. Di layarnya yang abu-abu bertuliskan 'emak memanggil' ya, itu panggilan telepon dari mertuaku.Malas rasanya aku menjawab panggilan telepon itu. Kalau tidak memikirkan nantinya bang Rozi yang kena omel oleh emak. Apalagi kalau sampai tahu alasannya, HP bang Rozi ketinggalan di rumah dan aku tak menjawab panggilannya. Pasti akan panjang urusannya."Halo Mak, assalamualaikum," ucapku saat tombol warna hijau itu ku pencet."Waalaikum salam, kok lama banget di angkat telponnya Yati," jawab emak dengan ketus."Maaf Mak, tadi suara HP-nya nggak kedengaran...""Alah... pasti itu alasanmu saja. Mana Rozi?" tanyanya dengan ketus. Hatiku sakit lagi, emak selalu menyalahkan ku."Lagi keluar, Mak,' jawabku masih dengan suara yang lembut."Ya sudah, bilang sama Rozi. Besok pagi Rido mau pergi, kalau masih menganggap Rido saudaranya besok pagi datang. Setelah ini entah kapan lagi, dia bisa ketemu dengan Rido," pesan emak untuk suamiku."Iya Mak, nan...""Bilang juga sama Rozi, kalau orang lain tak mau datang ke rumah Emak, dia jangan ikut-ikutan, ingat tak ada yang namanya bekas saudara, apalagi bekas emak kandung."Aku terkesiap mendengar ucapan emak. Orang lain? Apakah yang dimaksud emak itu aku?"Kok cepat banget pulangnya, Bang. Apa Rido sudah pergi?" tanyaku pada Bang Rozi. Iya, belum sampai setengah jam suamiku pergi, eh dia sudah pulang lagi."Rido belum jadi pergi, Dek...""Oo..." aku mengangguk, mungkin itu penyebabnya Bang Rozi cepat pulang."Bapak nyuruh menjemputmu, Dek," ucap suamiku pelan. "Perlukah aku ke sana, Bang?""Ini permintaan Bapak, Dek..." lirih suamiku. Bapak mertuaku itu sangat pendiam, bicara hanya yang dianggapnya penting pada saja. Kalau sampai bapak meminta aku ke sana, berarti perlu dipertanyakan, ada apakah gerangan?Aku pun menuruti permintaan suamiku, ikut ke rumah orangtuanya. Tentu semua anak-anak ku tinggalkan, ku titipkan mereka di rumah kak Minah. Itu lebih baik bukan, di rumah kakakku anak-anak lebih dianggap dan mereka bisa bermain sepuasnya tanpa takut disalahkan. Dadaku berdebar kencang, saat memasuki halaman istana mertuaku ini. Bagaimana tidak sudah seminggu aku tak menginjakkan kaki di rumah ini, tepatnya semenjak hari raya pertam
"Tolonglah aku, Bang," lirih Rido. Matanya menatap suamiku mengiba."Sudahlah Rozi, apa Kamu nggak kasihan melihat adikmu. Kalau usahanya bangkit lagi, sukses yang bangga 'kan kita juga," sahut emak pula.Bang Rozi kembali melirik padaku. Aku anggukan kepala.Suamiku terlihat menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara."Sebenarnya, Kalian salah bertanya padaku.Tanah itu milik bapak dan emak. Jadi hak sepenuhnya ada pada bapak dan emak...""Sudah mak bilang begitu tadi, tapi bapakmu masih ngeyel." emak menyela ucapan Bang Rozi."Tapi, 'kan sudah dikasihkan pada bang Rozi, Mak. Walaupun Bang Rozi tak jadi membangun rumah di sana. Tetap saja nggak boleh dong di jual tanpa seizinnya." Resti ikut-ikutan bicara."Hustt...anak kecil tahu apa," ucap emak. Matanya melotot ke arah Resti."Yeee anak kecil, sudah mau nikah aku ini, Mak," sungut gadis berparas ayu itu."Aku bicara fakta loh ini. Kalau pun tanah itu di jual dan bang Rido yang make uangnya. Berati bang Rido ngutang dong sama bang Roz
Mobil Rido yang membawa kami pun sampai ke rumah mertuaku. Anak-anak berhamburan keluar, begitu juga denganku. Ada rasa canggung saat menginjakkan kaki di halaman rumah ini. Entahlah, padahal sudah dua belas tahun aku jadi bagian dari keluarga ini. Itu bukanlah waktu yang sebentar bukan."Alif, Pian, Ilham. Dengarkan ibuk, yang tenang di rumah nenek nanti ya. Jangan sentuh barang apa pun, jangan mengambil sesuatu sebelum di tawarkan," pesanku pada ke-tiga anak lelakiku. Mereka bertiga serentak mengangguk."Kakak, tolong ingatkan adik-adik ya. Kalau mereka lupa.'' tak lupa aku juga berpesan pada Rina, anak sulungku. "Siap, Buk," ucap Rina seraya mengangkat tangan ke keningnya. Seolah-olah memberi hormat."Ayo masuk, Kak," ajak Rido. Kami pun berjalan mengikuti Rido dari belakang."Tuh kak Yati datang!" seru Resti dari arah dapur. Senyumannya sumringah saat melihatku. Adik ipar terbaikku itu seperti sedang meracik bumbu dan emak sedang mengaduk wajan di atas kompor, entah sedang memasa
"Do, sepertinya Rozi nggak bakalan ke sini deh. Antar Yati pulang gih, pusing kepala emak melihat anak-anaknya yang tak mau diam itu," perintahku pada Rido. Ya, mau nunggu apalagi, makan sudah selesai, peralatan dan rumah sudah kembali kinclong. Kalau Rozi, biar Yati bawa sisa gulai ayam itu pulang untuknya.Entahlah, mengapa Rozi tak jadi datang. Padahal tadi saat di telpon Rido dia bilang iya akan datang."Baik Mak," sahut anak lelaki kebanggaan ku itu patuh.Rido pun ke belakang menghampiri Yati. Yati sedang sibuk mengelap meja kompor yang tadi kena cipratan minyak saat memasak."Eh, Om. Bisa ngantar kami pulang?" tanya Yati pada Rido. Pas sekali, Rido ke belakang memang mau mengatakan itu."Ya, Kak. Mari aku antar.""Oh ya, Ti. Bawa saja tu sisa gulai ayam pulang semua. Untuk Rozi dan juga anak-anakmu nanti," ucapku pada Yati."Baik, Mak," ucap Yati seraya mengangguk. Biar semua sisa makanan itu dibawa Yati pulang. Toh, di rumah ini tak akan ada yang mau lagi. Kalau di rumah Yati
"Kak, lagi apa!" kak Yati kaget mendengar panggilanku."Restiii...kaget kakak" kakak iparku itu geleng-geleng kepala."Kakak sih...masak kok sambil ngelamun," ucapku. Senyum manis pun terukir di wajah lusuh kakak iparku itu. Walau lusuh, tapi terlihat sangat tulus."Anak-anak mana, Kak?" tanyaku lagi."Lagi main di rumah kak Minah, Res.""Kaak...""Hmmm..." sahut kak Yati."Aku sebel sama kak Airin, Kak.""Kenapa lagi?" tanya kak Yati."Pemalas banget, bangun paginya siang. Masak nggak bisa, aku capek Kak. Semua tugas rumah aku yang ngerjain," ceritaku pada kak Yati.Kak Yati hanya diam, seperti tak merespon ucapanku. Tapi, ku tahu dia hanya pura-pura begitu. Seperti biasa, dia tak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain."Kak Yati sih jarang sekali main ke rumah.""Kakak lagi repot, Res," ucap wanita sederhana itu seraya tersenyum. Tapi, dari senyumannya seperti menyembunyikan sesuatu. ___________________"Kok Mak yang nyuci piring?" tanyaku. Terlihat emakku berdiri di hadapan p
"Mas... maafkan aku..." lirihku. Lelaki tampanku itu sedang duduk termenung di teras samping rumah mertuaku ini.Dia bergeming, masih tetap termenung, entah apa yang ia pikirkan.Aku pun duduk di sampingnya, tanpa ditawari, "Mas, dengarkan aku dulu," ucapku lagi seraya memegang tangannya dengan lembut."Aku... kecewa padamu, Dek..." lirihnya. Tatapannya masih lurus ke depan."Adek, sama sekali tak menghargai keluargaku. Terutama emak, wanita yang telah melahirkan aku.""Bukan begitu, Mas. Tadi, aku hanya terpancing emosi mendengar ucapan Resti," ucapku seraya mendengus kesal. Terbayang wajah ngeselin gadis nyebelin itu, arrgh!"Mas dengerin sendiri 'kan, bagaimana Resti berbicara padaku. Tidak sopan sama sekali," ucapku lembut. Berharap mas Rido luluh mendengarnya."Sudah tahu Resti memang begitu, masih Adek dengar," ucapnya seraya melihat ke arahku. Kelihatannya, mas Rido sudah mulai mendengar ucapanku."Ya, Mas. Maaf..." lirihku lagi. Aku tahu mas Rido tak akan bisa marah lama-lama
"Mas...kapan sih, mobil kita di ganti," rengek Airin, istriku. Dia baru saja pulang dari arisan sosialitanya."Lihat Amel, teman arisan adek, tadi pamer mobil baru. Padahal suaminya hanya punya toko grosir sembako. Masa adek yang istri seorang pengusaha masih pakai mobil butut sudah ketinggalan zaman pula," ucapnya lagi seraya bergelayut manja di lenganku."Jangan samakan rezeki orang dengan kita, Dek. Mana tahu suaminya mbak Amel punya toko grosir banyak dan tersebar di mana-mana...""Ah... Mas, selalu ngomong begitu. Suka banget hidupnya stay di tempat saja. Susah sekali di ajak maju," sungutnya. Wajah cantik itu seketika muram."Bukan begitu, Dek. Tapi, untuk saat sekarang mas memang tak bisa mengabulkan permintaanmu, usaha kita lagi sepi, Dek," ucapku lagi, berusaha menjelaskan."Aku 'kan nggak minta di belikan mobil lagi, Mas. Mobil yang kita sekarang di ganti ke yang lebih bagus, palingan Mas tambah dikit aja," ucapnya masih keukeh dengan keinginannya."Apa bedanya sih, Dek. Ade
Air muka suamiku berubah, setelah tadi ia berbicara di telpon dengan seseorang. Aku pun mendekat ke arahnya perlahan, mana tahu ia butuh teman berbagi."Kita ke rumah emak sekarang, Dek," ucapnya dengan cepat. Wajah tampan itu terlihat gusar."Ada apa, Bang?" tanyaku."Emak pingsan, Dek. Barusan Resti yang nelpon.""Emak sakit, Bang?" tanyaku pula."Nggak tahu, Dek. Tadi Resti cuma bilang emak bertengkar dengan bapak," jelasnya lagi, kemudian bang Rozi pergi memanggil anak-anaknya yang sedang bermain di rumah tetangga sebelah."Dek, abang antar anak-anak ke rumah kak Minah dulu ya," ucapnya lagi. Rani, Alif dan Pian sudah nangkring di atas motor ayah mereka."Iya, Bang," jawabku. Kemudian masuk membawa Ilham ke dalam rumah untuk ku pakaikan baju, karena tadi Ilham bermain hanya memakai singlet saja.___________________"Mana emak, Res?" tanya Bang Rozi pada adiknya itu. Mata Resti terlihat sembab, seperti habis menangis."Di kamar, Bang," jawab Resti serak. Bang Rozi pun segera pergi