Share

Bukan Menantu Impian
Bukan Menantu Impian
Penulis: Cerita_gadis

Rido dan Airin mudik

"Dek, besok pagi Emak nyuruh Kamu ke rumahnya," ucap Bang Rozi saat baru masuk ke dalam rumah. Di tangan suaminya itu menenteng sebuah kresek hitam.

Aku mengangguk. Aku sudah tahu pasti di penghujung Ramadhan begini, mak mertuaku itu minta tolong buatkan kue.

"Itu apa, Bang?" tanyaku pula.

"Ini bubur kacang hijau, Dek. Buat takjil anak-anak dari Emak," jawab suamiku seraya memberikan kresek itu padaku.

Aku pun menyambut kresek itu dari tangan suamiku. Kok dingin sekali, seperti baru keluar dari kulkas. Aku segera membukanya, ternyata bubur itu diwadahi sebuah rantang. Aku pun membuka rantang itu. Santan bubur itu sudah mengumpal dan mengapung di atas permukaan kuah buburnya.

"Bubur kemarin," lirihku.

"Apa, Dek?" tanya suamiku.

"Eh, enggak. Kapan Emak buat bubur, Bang. Kelihatannya enak," jawabku cepat.

"Nggak tahu juga, tadi saat Emak ngambil buburnya aku hanya nunggu di luar."

"Oo..." aku mengangguk, aku paham betul bubur itu pasti sisa kemarin karena tak habis makanya Emak memberikannya pada kami.

Sudah sering mertuaku berlaku seperti itu. Mengirim makanan sisa untuk kami, karena aku dan Bang Rozi hidup serba kekurangan dan punya anak banyak pula. Jadi, emak seakan menganggap kami ini tempat pembuangan sisa-sisa makanan darinya.

Saat berbuka anak-anakku berebutan mengelilingi makanan yang telah ku sediakan. Anakku empat hampir sama besar karena berjarak dua tahun saja. Mereka semua ku ajarkan untuk berpuasa dan hanya si bungsu yang berusia lima tahun yang puasanya hanya setengah hari.

Mereka antusias melihat bubur kacang hijau yang sudah ku salin ke dalam gelas. Ya, mungkin karena berpuasa dan juga memang kami sangat jarang makan enak seperti itu.

Karena buburnya cuma dapat empat gelas, suamiku mengalah demi anak-anaknya. Dia hanya berbuka dengan air putih saja.

Anak bungsuku menyisakan sedikit bubur di gelasnya sedangkan kakak-kakaknya sudah tandas semua. Aku pun mencicipi sisa bubur itu. Rasanya kok agak-agak asem gitu. Aku termenung sejenak, setelah mencicipi bubur pemberian mertuaku itu.

Yang namanya makanan bersantan, walaupun di simpan dalam kulkas, walaupun nggak berbau dan kelihatan masih bagus. Tapi, rasanya pasti sudah berubah.

Melihat ekspresi wajahku, Bang Rozi menatapku heran.

"Ada apa, Dek?" tanyanya padaku.

"Nggak ada apa-apa, Bang," jawabku pelan.

Ya, aku terpaksa berbohong karena aku tak ingin suamiku marah atau kecewa pada ibunya. Bisa-bisa nanti Bang Rozi menemui mertuaku, dan hubungan antara ibu dan anak itu pasti akan renggang, belum lagi nanti pasti mertuaku menyalahkan ku dan bilang aku yang menghasut Bang Rozi untuk marah padanya, seperti yang sudah-sudah.

Dalam hatiku aku hanya berdoa, semoga bubur yang dimakan anak-anakku tak menjadi penyakit untuk mereka.

_____________________

Setelah beberes di rumah aku pun pergi ke rumah Emak di antar oleh suamiku. Rumah mertuaku itu berada di kampung sebelah. Anak-anakku tinggalkan semua di rumah, karena nanti Emak akan pusing dan ngomel-ngomel melihat ulah anak-anakku yang nakal, katanya.

"Eh, Yati lama sekali Kau ini datangnya," ucap mertuaku dengan wajah masam, padahal aku baru saja turun dari sepeda motor.

"Ya, Mak maaf," jawabku pelan.

Emak membuang muka saat aku melewatinya masuk ke dalam rumah.

"Aku berangkat kerja dulu, Mak." kemudian terdengar suara sepeda motor Bang Rozi menjauh dari rumah ini.

Aku langsung ke dapur, karena itu memang sudah jadi kebiasaan ku semenjak jadi menantu rumah ini. Piring kotor terlihat menumpuk, sepertinya dari berbuka kemarin belum di cuci. Tanpa di perintah aku pun langsung mencuci semua perkakas yang kotor itu. Kemudian langsung menyapu semua lantai sampai bersih.

"Yati, sini!" panggil Emak dari ruang tengah.

Aku bergegas pergi ke arah Emak.

"Iya Mak," sahutku dengan lembut.

"Tolong Kau bersihkan kamar depan ya," ucap Emak pelan.

"Dua hari lagi, Rido pulang." Rido adalah adik suamiku yang tinggal di perantauan. Ternyata aku disuruh ke sini hanya untuk mempersiapkan kedatangan anak dan menantu kesayangannya itu.

Aku manut dan mulai membersihkan kamar untuk adik iparku nanti. Karena kalau protes pun pasti sia-sia, karena aku tak seperti Airin istri Rido yang kaya itu, yang bisa menyenangkan hati emak dengan semua oleh-oleh yang di bawanya nanti.

"Sapu sampai bersih, Ti. Jangan sampai seperti dua tahun lalu Airin nggak betah karena kamarnya masih berdebu dan ada sarang laba-labanya," ucap Emak seraya memperhatikan aku bekerja, seperti mandor.

"Ya Mak," ucapku seraya terus menyapu sarang laba-laba di langit-langit rumah ini.

"Resti mana, Mak?" tanyaku pula.

"Masih tidur," jawab Emak.

"Oh ya, bukannya Resti mau ke pasar buat beli seprei," ucap Emak seraya menggedor kamar Resti yang bersebelahan dengan kamar yang aku bersihkan ini.

"Dasar pemalas, kalau tak dibangunkan pasti nggak bakalan bangun," omel Emak saat anak gadisnya keluar dari kamar.

"Iyaaa Mak," ucap Resti cengengesan.

"Katanya mau ke pasar, nanti keburu siang beralasan panas nggak jadi lagi perginya." Emak menoyor kepala Resti, Resti hanya tersenyum cengengesan.

"Ayo cepat mandi," perintah Emak pada Resti. Emak pun melangkah ke kamarnya.

"Eh, ada Kak Yati," ucap Resti padaku.

Aku tersenyum kepada adik bungsu suamiku itu. Walaupun sudah berumur dua puluh tahun, tapi dia masih sangat kekanak-kanakan, mungkin karena dia anak bungsu, makanya begitu.

"Ratu mau datang. Kita semua kena imbasnya ya, Kak. Harus kerja bakti," bisiknya padaku.

"Jangan sembarangan ngomong, nanti Emak marah," ucapku pelan.

"Benarkan? Di rumah masih banyak seprei, eh Emak nyuruh aku beli yang baru. Katanya biar Kak Airin betah," ucap Resti dengan sewotnya.

"Hustt." aku memberi isyarat telunjuk di bibirku agar Resti berhenti mengoceh. Kalau sampai di dengar Emak bisa-bisa aku dan Resti habis di omeli nya.

Resti tersenyum dan mengancungkan jempolnya.

"Tolong sapuin kamarku juga ya, Kak," ucapnya seraya pergi ke arah dapur, sepertinya mau mandi.

Aku mengangguk dan tersenyum. Walaupun sangat manja, dan suka memerintah. Tapi, setidaknya Resti sangat respek padaku.

________________________

Besok pagi lebaran, hari ini aku dari pagi sudah di rumah Emak. Memasak bermacam-macam masakan untuk pagi hari raya dan juga untuk menyambut kedatangan Rido dan istrinya. Karena dijadwalkan mereka akan sampai di sini sore ini.

"Buka di sini saja, Ti. Nanti suruh Rozi bawa anak-anak ke sini," ucap Emak padaku.

"Iya, Mak," sahutku dengan lembut.

"Masakin udang ini ya," ucap Emak seraya mengeluarkan udang dari dalam kulkas.

Aku mengangguk seraya menerima udang dari tangan emak.

"Pake cabe ijo saja, Airin suka itu," lanjutnya lagi.

Rasa iri menjalar di hatiku, bagaimana tidak hampir dua belas tahun jadi menantunya, emak bahkan tak tahu makanan kesukaanku.

Masakan sudah siap, sudah tertata rapi di atas meja makan. Anak-anakku pun sudah berada semua di sini. Aku pun mewanti-wanti mereka agar bersikap tenang dan diam saat di rumah neneknya ini.

Selepas ashar yang di tunggu-tunggu pun datang. sebuah mobil mewah yang membawa Rido dan Airin pun terparkir di depan rumah mertuaku. Emak menyambut anak menantunya itu dengan sumringah, tak henti-hentinya Emak mencium Raffa anak Rido dan Airin. Tak peduli bocah tujuh tahun itu menolak dan menghapus bekas ciuman emak di pipinya.

Banyak sekali barang bawaan adik iparku, ada kue, mukena, sarung, dan baju untuk bapak, emak dan Resti. Tak henti-hentinya Emak memuji menantu cantiknya itu di depan kami semua.

Apalagi tiba-tiba, Airin mengeluarkan sebuah cincin yang katanya dibeli khusus untuk emak. Membuat mata emak berkaca-kaca dan langsung memuji Airin setinggi langit.

Bedug pun berbunyi, semua orang berhamburan ke ruang makan. Kecuali aku dan anak-anak, aku sengaja terakhir sekali dan menyuruh anak-anakku menepi dan duduk di lantai, biar aku saja yang mengambil makanan untuk mereka. Juga karena kursinya tak mencukupi untuk kami semua duduk.

"Ayo makan nak Airin, moga suka dengan masakan kampung begini," ucap emak dengan ramah pada menantu itu.

"Iya Mak, ini enak kok," ucap Airin seraya tersenyum.

"Yati!" tiba-tiba emak memanggilku.

Aku menoleh dan segera bangkit dari dudukku.

"Aku 'kan nyuruh Kau bikin oseng-oseng udang, bukan sambal udang seperti ini," ucapnya lantang sambil menunjuk piring berisi udang cabe ijo yang kubuat tadi.

"Tadi, Emak bilang udang cabe hijau, ya aku masak begitu," sahutku pelan.

"Iya, tapi cabe nya di iris bukan di giling seperti ini. Lihat tuh Nak Airin kurang suka," ucapnya lagi dengan wajah masam.

"Mak! Yati sudah capek dari pagi di sini, jangan Mak marahi seperti itu," ucap Bang Rozi sambil berdiri. Sepertinya suamiku itu terpancing emosi.

"Bagaimana mak tak emosi, Yati ini seperti sengaja biar Nak Airin jadi tak berselera makan," balas Emak lagi dengan sinisnya.

"Sabar, Mak," ucap Rido seraya memegang tangan Emak.

"Ini enak juga, kok," ucap Airin seraya tersenyum manis.

"Sudah, sudah Kalian ini, tak baik berisik di depan makanan." Bapak mertuaku yang dari tadi hanya diam pun ikut bersuara.

Emak pun kembali duduk tak berani lagi bersuara. Mungkin takut karena bapak sudah angkat bicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status