"Mama, Afa mau tidur dengan Mama," rengek anak sulungku pada Airin. Mungkin ia begitu rindu pada mamanya itu."Tapi, mama nggak bisa lama-lama di sini, Nak," sahut Airin dengan lembut."Kemarin mama janji mau tidur di sini sama Afa," ucap Raffa lagi, Ia terlihat begitu kecewa."Iya, tapi...""Mama jahat!" Seru Raffa, lalu pergi berlari ke kamarnya.Nggak bisa dipungkiri, hati ayah mana yang tak terluka melihat anaknya bersedih seperti itu. Ya Tuhan, andaikan aku dan Airin tak bercerai, pasti hati anakku tak akan terluka seperti itu.Apa yang ku pikirkan ini, sekarang ada Santi dan Raisa di hidupku. Walau bagaimanapun, Santi, Raisa dan Raffa adalah hal yang terpenting dalam hidupku. Airin masa lalu, akan tetap jadi masa lalu. Masa depanku adalah keluarga kecilku saat ini."Kau mau pulang sekarang, Rin?" tanyaku pada Airin.Aku keluar dari kamar dan menemui Airin yang duduk termenung di ruang tamu sendirian."Eh... iya, Mas," sahut Airin sedikit terkejut."Apa Kau tak ingin tidur sama R
Hari ini, hari minggu kami semua berkumpul di rumah emak, kami masak tumpeng bersama. Karena hari ini ulang tahun emak, tidak ada salahnya kami anak-anaknya memberi sedikit kejutan untuknya.Potong tumpeng sudah selesai, makan bersama pun juga sudah. Emak dan bapak terlihat begitu bahagia, bermain bersama ketujuh cucu-cucunya di halaman belakang. Emak dan bapak tak henti-hentinya tersenyum melihat tingkah polah cucu-cucunya itu.Santi dan Resti membereskan dapur. Sedangkan aku menyapu seluruh rumah, karena rumah sudah seperti kapal pecah, karena ulah dari anak-anak kami. 'Drett...drett''Dret...drett...'Berulang kali ponsel milik Rido bergetar, ponsel itu tergeletak di atas meja ruang tamu. Sedangkan Rido mengobrol di teras bersama bang Rozi dan suami Resti.Aku ambil ponsel itu, dan melihat nama yang memanggil. Ternyata mama Airin yang berulang kali menghubungi Rido."Om, dari tadi hpnya berbunyi," ucapku seraya menyerahkan ponsel itu pada Rido.Rido pun menyambut ponselnya dari ta
"Dek...Dek...bukan itu Rido yang mengetuk-ngetuk pintu," ucap bang Rozi seraya menggoyang-goyangkan tubuhku.Aku terkesiap bangun, "Iya, Bang. Ada apa ya?""Nggak tahu, ayo kita bukakan pintu," ucap suamiku seraya bangkit dari peraduan kami.Aku pun mengekor di belakang bang Rozi, saat melewati ruang tamu kulirik jam dinding, menunjukkan hampir pukul setengah empat pagi."Ada apa, Do?" tanya bang Rozi pada adiknya itu saat pintu rumah kami terbuka."Bang...aku baru saja dapat kabar kalau Airin meninggal...""Hah!..." Aku dan bang Rozi serentak terkejut."Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un," ucapku pelan, "Siapa yang ngabarin, Om? Nanti jangan..." tanyaku pula."Nggak, Kak. Ini beneran, Joe yang menelpon ku tadi," sahut Rido cepat."Astaghfirullah...maaf, Do," ucapku sungkan, wajar saja aku suudzon Airin sudah berulangkali bersandiwara membohongi kami dengan tujuan untuk menarik perhatian Rido."Iya, Kak nggak apa-apa, awalnya tadi aku sempat mikir gitu juga," ucap Rido pelan, "Kasihan
"Dek, besok pagi Emak nyuruh Kamu ke rumahnya," ucap Bang Rozi saat baru masuk ke dalam rumah. Di tangan suaminya itu menenteng sebuah kresek hitam.Aku mengangguk. Aku sudah tahu pasti di penghujung Ramadhan begini, mak mertuaku itu minta tolong buatkan kue."Itu apa, Bang?" tanyaku pula."Ini bubur kacang hijau, Dek. Buat takjil anak-anak dari Emak," jawab suamiku seraya memberikan kresek itu padaku.Aku pun menyambut kresek itu dari tangan suamiku. Kok dingin sekali, seperti baru keluar dari kulkas. Aku segera membukanya, ternyata bubur itu diwadahi sebuah rantang. Aku pun membuka rantang itu. Santan bubur itu sudah mengumpal dan mengapung di atas permukaan kuah buburnya."Bubur kemarin," lirihku."Apa, Dek?" tanya suamiku."Eh, enggak. Kapan Emak buat bubur, Bang. Kelihatannya enak," jawabku cepat."Nggak tahu juga, tadi saat Emak ngambil buburnya aku hanya nunggu di luar.""Oo..." aku mengangguk, aku paham betul bubur itu pasti sisa kemarin karena tak habis makanya Emak memberika
Hari raya, biasanya rumah mertuaku cukup banyak orang yang datang bersilaturahmi. Karena mertuaku termasuk tetua di kampung ini. Banyak para keponakan dan saudara-saudara jauh memang sengaja datang untuk meminta maaf di hari yang fitri ini.Kami sekeluarga memang datang siang. Karena tadi aku mengajak suami dan anak-anak ke rumah Kak Minah, kakak kandungku yang jarak lebih dekat dari rumah kami. Tak enak rasanya, melewati rumahnya tanpa singgah duluan. Juga karena kedua orang tuaku sudah meninggal, jadi kak Minah lah tempat aku bersilaturahmi di hari raya ini. Selain itu juga, karena kami banyak dan kendaraan cuma satu. Jadi, harus bergiliran diangkut kalau hendak bepergian. Makanya agak lambat sedikit sampainya ke rumah mertuaku.Pertama tiga anakku yang diantar duluan oleh Bang Rozi ke rumah mertua. Setelah itu, baru menjemputku. Saat sampai di rumah mertua, kami pun sujud sungkem pada bapak dan emak. Anak-anakku terlihat senang karena di meja rumah neneknya ini tertata bermacam-ma
"Maafkan keluargaku, Dek," lirih suamiku. Dia duduk di tepi ranjang, seolah-olah memang menungguku masuk ke dalam kamar.Aku hanya diam dan duduk di sampingnya."Anak-anak sudah tidur, Dek?"Aku mengangguk, "Aku yang salah, Bang. Sudah tahu dari dulu tak ada tempat untukku di rumahmu, aku yang masih memaksakan diri untuk tetap masuk ke sana," ucapku dengan berlinangan air mata."Sudahlah, Dek. Jangan diungkit-ungkit yang sudah lalu," sahutnya lagi seraya menatapku."Lihat dirimu, Bang. Mungkin hidup Abang tak akan seperti ini, kalau seandainya Abang tak memilih hidup denganku...""Apa salahnya aku hidup bersamamu, Dek. Ak...""Salahnya aku miskin, Bang. Aku tak berpendidikan...""Stop menyalahkan diri sendiri, Dek. Aku bahagia hidup bersamamu, aku beruntung mendapatkan wanita sebaik dirimu, Dek," Bang Rozi memegang tanganku erat."Entahlah, Bang. Aku capek...""Maaf..." lirihnya seraya membawaku kedalam pelukan, nyaman sekali.____________________"Siapa namamu, Nak?" tanya perempuan
"Kok cepat banget pulangnya, Bang. Apa Rido sudah pergi?" tanyaku pada Bang Rozi. Iya, belum sampai setengah jam suamiku pergi, eh dia sudah pulang lagi."Rido belum jadi pergi, Dek...""Oo..." aku mengangguk, mungkin itu penyebabnya Bang Rozi cepat pulang."Bapak nyuruh menjemputmu, Dek," ucap suamiku pelan. "Perlukah aku ke sana, Bang?""Ini permintaan Bapak, Dek..." lirih suamiku. Bapak mertuaku itu sangat pendiam, bicara hanya yang dianggapnya penting pada saja. Kalau sampai bapak meminta aku ke sana, berarti perlu dipertanyakan, ada apakah gerangan?Aku pun menuruti permintaan suamiku, ikut ke rumah orangtuanya. Tentu semua anak-anak ku tinggalkan, ku titipkan mereka di rumah kak Minah. Itu lebih baik bukan, di rumah kakakku anak-anak lebih dianggap dan mereka bisa bermain sepuasnya tanpa takut disalahkan. Dadaku berdebar kencang, saat memasuki halaman istana mertuaku ini. Bagaimana tidak sudah seminggu aku tak menginjakkan kaki di rumah ini, tepatnya semenjak hari raya pertam
"Tolonglah aku, Bang," lirih Rido. Matanya menatap suamiku mengiba."Sudahlah Rozi, apa Kamu nggak kasihan melihat adikmu. Kalau usahanya bangkit lagi, sukses yang bangga 'kan kita juga," sahut emak pula.Bang Rozi kembali melirik padaku. Aku anggukan kepala.Suamiku terlihat menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara."Sebenarnya, Kalian salah bertanya padaku.Tanah itu milik bapak dan emak. Jadi hak sepenuhnya ada pada bapak dan emak...""Sudah mak bilang begitu tadi, tapi bapakmu masih ngeyel." emak menyela ucapan Bang Rozi."Tapi, 'kan sudah dikasihkan pada bang Rozi, Mak. Walaupun Bang Rozi tak jadi membangun rumah di sana. Tetap saja nggak boleh dong di jual tanpa seizinnya." Resti ikut-ikutan bicara."Hustt...anak kecil tahu apa," ucap emak. Matanya melotot ke arah Resti."Yeee anak kecil, sudah mau nikah aku ini, Mak," sungut gadis berparas ayu itu."Aku bicara fakta loh ini. Kalau pun tanah itu di jual dan bang Rido yang make uangnya. Berati bang Rido ngutang dong sama bang Roz