Share

Niat terselubung Rido dan Airin

"Kok cepat banget pulangnya, Bang. Apa Rido sudah pergi?" tanyaku pada Bang Rozi. Iya, belum sampai setengah jam suamiku pergi, eh dia sudah pulang lagi.

"Rido belum jadi pergi, Dek..."

"Oo..." aku mengangguk, mungkin itu penyebabnya Bang Rozi cepat pulang.

"Bapak nyuruh menjemputmu, Dek," ucap suamiku pelan.

"Perlukah aku ke sana, Bang?"

"Ini permintaan Bapak, Dek..." lirih suamiku.

Bapak mertuaku itu sangat pendiam, bicara hanya yang dianggapnya penting pada saja. Kalau sampai bapak meminta aku ke sana, berarti perlu dipertanyakan, ada apakah gerangan?

Aku pun menuruti permintaan suamiku, ikut ke rumah orangtuanya. Tentu semua anak-anak ku tinggalkan, ku titipkan mereka di rumah kak Minah. Itu lebih baik bukan, di rumah kakakku anak-anak lebih dianggap dan mereka bisa bermain sepuasnya tanpa takut disalahkan.

Dadaku berdebar kencang, saat memasuki halaman istana mertuaku ini. Bagaimana tidak sudah seminggu aku tak menginjakkan kaki di rumah ini, tepatnya semenjak hari raya pertama kemarin, setelah kejadian tablet pecah itu. Aku enggan kemari begitu juga dengan Bang Rozi, biasanya hari raya begini waktunya kumpul keluarga, apalagi ada keluarga yang sedang mudik. Pasti sangat asyik untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi tidak dengan kami, kami lebih nyaman di gubug kami sendiri.

"Ayo, Dek," Bang Rozi menarik tanganku. Karena dari tadi aku mematung di depan pintu.

Aku pun ikut di belakang bang Rozi masuk ke dalam rumah. Ternyata di ruang tengah, mereka sudah berkumpul semua.

"Duduk, Kak," ucap Resti menarik tanganku.

Aku tersenyum pada adik iparku itu. Gadis dua puluh satu tahun itu memang selalu baik padaku. Bahkan selama seminggu aku tak ke sini, dia lah yang selalu mengunjungi rumah kami. Bahkan hari raya kedua kemarin dia mengajak calon suaminya ke rumah kami.

"Kalian sudah berkumpul semua, dengarkan bapak bicara," ucap bapak mertuaku dengan ciri khasnya yang sangat tenang itu.

"Terlepas dari siapa yang benar, dan siapa yang salah, hari ini bapak minta kita sama-sama meminta maaf dan saling memaafkan." Bapak mertuaku memandang ke sekeliling kami.

Semua terdiam tak yang berbicara apalagi duluan meminta maaf.

"Maafkan Resti ya, Pak," ucap Resti memecah keheningan. Adik iparku itu tiba-tiba memeluk bapak, lalu kemudian mencium tangan kami satu persatu.

Bang Rozi menatapku lalu mengangguk pelan, mengisyaratkan agar aku mengikuti di belakangnya.

Pertama Bang Rozi bersimpuh di hadapan Bapak, setelah itu emak. Dan aku pun ikut di belakangnya.

"Maafkan aku, Mak," ucapku pelan saat tiba giliran ku di hadapan Emak.

"Iya," ucapnya datar.

"Ehhemm..." Bapak berdehem saat mendengar singkatnya respon emak terhadapku.

Emak terlihat gelagapan, kemudian terlihat dia memberi kode-kode pada Rido dengan mengedipkan matanya. Rido pun beranjak dari tempat duduknya diikuti Airin untuk menyalami aku dan bang Rozi.

"Aku minta maaf ya, Kak," ucap Airin kaku, entahlah sepertinya dia terpaksa melakukan ini.

"Iya, aku juga minta maaf ya, Rin," jawabku dengan anggukan.

"Ada satu hal lagi yang ingin Bapak sampaikan..." ucapan bapak terhenti, pria yang masih tampak gagah di usia senjanya itupun menarik napas panjang. Sekilas bapak melirik ke arah emak, wajah emak pun terlihat tegang.

"Begini, dulu bapak punya dua bidang tanah. Sebidang sudah bapak jual untuk merenovasi rumah ini dan sisanya dulu bapak gunakan untuk Rido yang waktu itu ingin melamar Airin," ucap bapak pelan dan sangat hati-hati.

Rido terlihat salah tingkah, dan Airin membuang muka. Jujur aku terkejut mendengar ucapan bapak, karena yang kutahu dulu, waktu Rido melamar Airin dengan hantaran dan mahar yang fantastis menurutku itu adalah uang tabungan Rido sendiri, bukan uang dari penjualan tanah bapak. Ya, karena saat itu Rido memang sudah punya usaha sendiri, walaupun tak sebesar sekarang.

"Maaf sebelumnya, ini bukannya bapak mengungkit-ungkit apalagi tak ikhlas. Bapak di sini ingin menyampaikan dengan sejelas-jelasnya. Ini masalah uang, bapak tak ingin nanti ada yang salah paham di kemudian hari," lanjut bapak lagi.

"Dan sebidang tanah lagi, sebenarnya dulu bapak ingin Rozi membangun rumah di atasnya. Tapi, entah mengapa Rozi dan Yati menolak," ucap bapak seraya melirik ke arahku dan bang Rozi. Memang betul, aku yang meminta Bang Rozi untuk menolak tawaran bapak. Bagiku biar kecil dan sempit, lebih enak hasil dari keringat sendiri.

"Dan sekarang tanah itu mau bapak jual lagi. Hasilnya nanti akan dipakai oleh Rido untuk menyelamatkan usahanya yang kini terancam bangkrut..."

Bapak kembali melirik Bang Rozi.

"Bagaimana Rozi, apakah kamu setuju? Dulu tanah itu pernah bapak serahkan padamu. Walaupun sudah Kau tolak, rasanya nggak etis kalau bapak nggak menanyakan pendapatmu dulu," ucap bapak pada bang Rozi.

Sekali lagi aku terperangah mendengar ucapan bapak. Tak menyangka ternyata ini maksud kami dikumpulkan di sini. Dan mereka meminta maaf mereka tadi hanya untuk ini.

Ibu menatap Bang Rozi dengan penuh harap. Rido dan Airin terlihat gelisah. Dan bang Rozi pun terlihat ragu-ragu untuk menjawab.

Bang Rozi menatapku lama sekali. Matanya mengisyaratkan meminta petunjuk dariku. Ya, memang begitulah suamiku, kalau dia sedang dilema dalam memutuskan sebuah masalah. Pasti dia akan meminta saran dariku, dan biasanya saran dariku jarang tak ia ikuti.

Aku pun bingung harus memberikan saran apa pada suamiku itu. Mengangguk atau menggeleng?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status