Share

Resti yang cerewet

"Tolonglah aku, Bang," lirih Rido. Matanya menatap suamiku mengiba.

"Sudahlah Rozi, apa Kamu nggak kasihan melihat adikmu. Kalau usahanya bangkit lagi, sukses yang bangga 'kan kita juga," sahut emak pula.

Bang Rozi kembali melirik padaku. Aku anggukan kepala.

Suamiku terlihat menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara.

"Sebenarnya, Kalian salah bertanya padaku.Tanah itu milik bapak dan emak. Jadi hak sepenuhnya ada pada bapak dan emak..."

"Sudah mak bilang begitu tadi, tapi bapakmu masih ngeyel." emak menyela ucapan Bang Rozi.

"Tapi, 'kan sudah dikasihkan pada bang Rozi, Mak. Walaupun Bang Rozi tak jadi membangun rumah di sana. Tetap saja nggak boleh dong di jual tanpa seizinnya." Resti ikut-ikutan bicara.

"Hustt...anak kecil tahu apa," ucap emak. Matanya melotot ke arah Resti.

"Yeee anak kecil, sudah mau nikah aku ini, Mak," sungut gadis berparas ayu itu.

"Aku bicara fakta loh ini. Kalau pun tanah itu di jual dan bang Rido yang make uangnya. Berati bang Rido ngutang dong sama bang Rozi." Semua mata tertuju pada adik ipar bungsuku itu. Terutama Airin, matanya melotot mengisyaratkan kalau dia tak suka dengan ucapan Resti.

"Kamu ini ngomongin apa, Resti," sergah emak cepat.

"Iya, kalau ngutang pasti harus diganti. Tapi, kalau dikasih 'kan nggak. Gitu loh Maak!" Resti kembali membalas ucapan emaknya itu.

"Bukan apa-apa ya, Mak. Biar Bang Rido ingat di situ ada hak saudaranya. Terutama kak Airin, biar bisa belajar menyisihkan uang karena ada hutang tadi. Biar nggak shopping aja kerjaannya..."

"Resti! Tahu apa Kau tentangku!" Airin pun membentak Resti. Mungkin dari tadi sudah panas telinganya mendengar kecerewetan Resti, persis seperti cerewetnya emak mertua.

"Aku tahu lah, Kak. Seminggu aku di rumah Kakak tahun kemarin. Kakak ngajak aku ke mall, aku sampai sesak nafas saat itu. Melihat Kakak berbelanja uang 10 juta dalam waktu kurang dua jam. Belum lagi setiap hari Kakak selalu go food kalau mau makan. Kakak 'kan nggak suka di dapur, itu Kakak loh yang bilang." ucapan Resti Barusan sukses menguliti kebobrokan Airin.

"Dan..."

"Diam Resti! Pusing kepalaku mendengar omong kosong mu!" bentak Rido pada adik perempuannya itu. Airin terlihat gusar. Bapak hanya terdiam melihat percekcokan anak-anaknya itu, sedangkan emak seperti bingung, mungkin tak tahu harus membela siapa.

"Sudah! Kalau memang Rido butuh uang, dan mau menjual tanah itu, ya jual saja. Nggak perlu menunggu persetujuanku..."

Suamiku berbicara penuh penekanan. Terlihat sekali kalau dia sedang menahan emosi.

"Setuju atau nggak setuju, tanah itu akan tetap dijual...kan? Percuma Kalian mengajakku duduk berunding di sini, toh kalian sudah punya keputusan sendiri. Buang-buang waktu saja," ucap Bang Rozi seraya berdiri.

"Ayo pulang, Dek," ajaknya padaku.

Aku berdiri dan manut, berjalan di belakang imamku itu.

"Yang ikhlas, Bang," bisikku pada Bang Rozi.

"Kekayaan sesungguhnya ada di sini, Bang," ucapku seraya menepuk pelan dada suamiku.

Bang Rozi pun tersenyum, manis sekali. Senyumannya seperti itu, bagaikan candu bagiku. Tak pernah bosan aku melihatnya.

"Terimakasih, istriku," bisiknya pelan, saat aku baru saja naik di atas motor butut milik kami satu-satunya ini.

________________

"Ibuuuk!" teriak Rani dari dalam rumah, aku yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah sampai kaget dibuatnya.

"Ada apa sih, Kak?" tanyaku tergesa-gesa masuk ke dalam rumah dan berpapasan dengan Rani di dapur.

"Nggak usah teriak-teriak ibuk juga dengar," lanjutku lagi.

"Ada om Rido di depan, Buk."

Rido? Ada angin apa orang kaya itu bertandang ke gubug kami ini.

"Assalamualaikum, Kak Yati," ucap Rido dengan ramahnya.

"Waalaikum salam," jawabku, "Ayo masuk Om," ucapku dengan ramah pula.

"Di sini saja, Kak. Aku ke sini menjemput Kakak dan anak-anak..."

"Mau diajak kemana, Om?" tanyaku pula.

"Emak yang nyuruh, Kak. Katanya diajak makan bersama di sana."

Tumben emak memperlakukan kami seistimewa ini, "Tapi, bang Rozi lagi nggak ada di rumah, Om."

"Sudah, tadi sudah aku telpon. Nanti abang langsung pulang ke rumah emak."

"Ayo anak-anak," ajak Rido pada anak-anakku. Padahal aku belum menyetujui akan ikut bersamanya.

"Hore! Naik mobil!" seru Ilham girang.

"Aku duduk di depan ya, Om," sahut Pian pula. Pian anak ke-tiga ku.

"Ya, sudah. Ayo naik, terserah mau duduk di mana," ucap adik iparku itu dengan ramahnya.

Aku pun masuk ke dalam rumah dan menyambar jilbab instan yang ku gantung di paku yang tertancap di dinding papan rumah kami ini. Tak ada alasan lagi rasanya untuk aku menolak. Karena anak-anakku sudah masuk semua ke dalam mobil Rido. Walau sebenarnya hatiku bertanya-tanya, ada apa kok tiba-tiba mertuaku jadi baik begini. Moga tak ada niat terselubung lagi, dibalik semua ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status