Share

Part 5 - Kepanikan Pasutri

Sudah hampir larut malam Fandi belum juga pulang membuat Hasna cemas. Ponselnya juga sulit dihubungi. Ingin menyusulnya tapi kemana? Ia juga tidak tahu rumah mertuanya. Sementara itu diseberang jalan ada sepasang mata yang tengah mengawasi rumah petak mereka.

"Iya, juragan. Siap!" Seru lelaki dibalik mobil jeep itu menjawab telepon bosnya dan berlalu. Juragan Sardi masih belum terima atas pernikahan Hasna dengan Fandi. Ia merasa harga dirinya di injak- injak baru kali ini ada yang menolaknya. Juragan Sardi menyuruh anak buahnya untuk mengikuti kemana Hasna pergi dan mencari tahu siapa Fandi sebenarnya.

"Kau harus jadi milikku Hasna!" geramnya kemudian terkekeh sendiri.

Hasna yang lelah menunggu Fandi akhirnya tertidur.

Tok tok tok! 

Kedua matanya mengerjap pelan. Terdengar suara dibaik pintu memanggil namanya berulang-ulang. Gegas ia membuka pintu nampak senyumnya mengembang menampakan wajahnya yang manis. Dikecupnya kening sang isteri. Mata Hasna terbelalak melihat langit terlihat terang.

"Ma'af semalam aku tidak bisa pulang," jawab Fandi menyesal.

"Harusnya beri kabar bang," ucap Hasna memasang wajah cemberut.

"Iya, ma'af lupa. Semalam mami meminta tidur di kamarku. Ah, seperti anak bayi saja aku." 

Hasna tersenyum kemudian bertanya, "Bagaimana caranya sekarang bisa lolos dari mami."

"Aku berusaha menyakinkannya, tentunya meminta pembelaan papi juga bahwa aku ingin mandiri seperti yang papi inginkan. Papi meminta aku mengelola perusahaan, tapi aku tolak. Aku akan mencari pekerjaan sendiri." Terang Fandi membuat Hasna mengerutkan dahi. Baginya di jaman sekarang ini mencari pekerjaan sulit, apalagi jika belum berpengalaman sama sekali. Namun apapun itu ia tetap menghargai keputusan suaminya.

"Aku tahu sayang, mencari pekerjaan itu susah, jika aku menuruti papi bekerja di kantornya. Aku takut hubungan kita akan terbongkar. Aku belum siap semuanya. Aku  harus benar-benar meyakinkan mereka dahulu untuk bisa menerimamu." Hasna menghela napas ia pun tidak mau jika mertuanya memisahkan hubungan mereka.

"Yasudah, aku mandi dulu, bang," ujar Hasna berlalu seraya mengambil handuk.

"Ikut, bareng,yuk, aku juga ingin mandi lagi."  Bola mata indah itu terbalalak, "tidak!" serunya. Namun Fandi segera menggendongnya bukan ke kamar mandi melainkan ke kasur.

"Kita belum melakukan malam pertama, kan?" ucap Fandi mengedipkan sebelah mata. Semenjak di rumah paman Edi mereka belum melakukannya. 

"Aku belum mandi," ucap Hasna masih dalam pelukan Fandi meskipun ini bukan malam pertama baginya, tetapi baru kali ini ia sangat bahagia bersama dengan lelaki yang dicintainya.

"Nanti saja kita mandi bareng." Tak selang berapa lama kain yang menutupi tubuh mereka berjatuhan satu persatu. 

Drrt drtt … 

Diraihnya ponsel dengan malas, seketika membuatnya panik membaca isi pesan. 

["Fan, sebentar lagi mamih sampai. Kamu disana kan?]

Baru saja ia akan menikmati surga dunia bersama wanita yang dicintainya, gegas bangkit dari ranjang. Diraihnya celana yang berserakan dilantai.

"Ada apa?”

Sambil membenarkan selimut wanita itu bertanya dengan raut wajah kesal. Aktivitas mereka di ranjang baru saja dimulai.

"Mami, akan kesini bagaimana ini?

Jari jemari lelaki itu terasa dingin. Otaknya tak mampu lagi berjalan karena kepanikannya. Tak abis pikir kenapa mamihnya akan datang tiba-tiba begini. 

"Tenang bang, duduk dulu,” ucap Hasna dengan hati kecewa. 

"Bagaimana aku bisa tenang, kamu tahu sendiri hubungan kita ini.." ucapannya terpotong. "Ah.. sudahlah lebih baik aku mandi dulu,” lanjutannya lagi seraya mengambil pakaiannya dalam lemari. 

"Cepat pakai bajumu dan bereskan semua barang-barangmu, sembunyikan semuanya. Jangan sampai ada yang terlihat mencurigakan.”

"Bang, mamih telepon!”

Seru Hasna yang tengah sibuk membereskan kembali pakaiannya dalam kardus. Padahal baru semalam ia masukan lemari plastik. Antara ragu dan penasaran wanita itu ingin mengangkat. Baru saja tangannya mengarah ke ponsel, dengan secepat kilat disambar Fandy.

"Hallo Fan, kenapa lama sekali kamu angkat. Bolehkan mami mampir sebentar saja." Suara dari seberang telepon terdengar lembut. 

 “Mih, halo mih!”

Tut! Tut!tut!

Belum sempat Fandi menjawab sambungan sudah terputus. Sementara itu Hasna segera mempercepat membereskan semua barangnya, ia masukan kedalam kardus. Beruntung tidak terlalu banyak barang milik wanita itu. 

“Sudah semua bang, taruh sebelah mana?” tanya Hasna menunjuk beberapa kardus yang sudah dikemas rapi.

“Didalam lemari saja atau di pojokan itu?”

tunjuk Fandi dengan tangan gemetar. “Ayo Na, lekas pergi dari sini,” ucapnya kemudian. 

“Aku kemana ya, bang?” pertanyaan wanita itu tak dijawab, Fandi tengah sibuk dengan ponselnya. 

“Hasna, jemuran!” Seru Fandi sambil menunjuk pakaian Hasna yang menggantung. Hampir saja ia kelupaan hal sekecil itu bisa membuat Yulia curiga. Cucian Hasna semalam masih lembab, tapi mau tak mau harus ia turunkan. Hasna gegas memindahkan jemurannya di kontrakan samping. Beruntung kontrakan sebelah masih kosong. Ia pun berpikir, ‘Apa aku bersembunyi saja di kontrakan kosong ini.’ Hatinya terasa sesak sampai kapan harus menyembunyikan dari mertua. Ia pun seorang wanita ingin akrab dengan mertua seperti wanita lainnya. 

“Ngapain mbak, penghuni baru kontrkan sebelah ya? Kok jemuran dipindah.” Sapaan wanita bertubuh semampai membuat langkah Hasna menoleh pintu yang hendak ditutup dibuka kembali.

“Eh, nggak ada apa-apa, mau liat-liat saja. Bersih disini tidak terlalu kotor, nama saya Hasna baru pindahan kemarin sore," ucap Hasna tersenyum ramah.

“Oh, Hasna, nama saya Rima. Kontrakan saya yang paling ujung itu." Tunjuk Rima, "Ngomong-ngomong neng asli mana?” tanya Rima dan duduk di teras.

“Saya dari Sukabumi kalau bang Fandi asli Jakarta." Mbak Rima yang diharapkan segera berlalu justru duduk dan mengajaknya mengobrol. Hasna menanggapu dengan gelisah tak enak harus mengusirnya. Selang tak berapa lama bu Haji pemilik kontrakan datang membawa beberapa bingkisan. Ia meminta bantuan Rima untuk membagikannya. Bu Haji ikut dalam obrolan mereka. Ada saja jika yang diobrolkan jika para perempuan sudah berkumpul. Hasna yang sedari tadi gelisa hanya menanggapinya malas, pikirannya tak fokus. 

“Oh, iya, neng Hasna belum ngasih foto kopi buku nikah kan?” tanya bu Haji mengingatkan. 

“Eh,i_ya belum,” tutur Hasna terbata. Diremasnya tangan yang sedari tadi terasa dingin. Mertua yang akan datang membuatnya semakin gelisah, ditambah pertanyaan apa ini. Kenapa mengontrak saja ribet haruskah ada bukti buku nikah segala. Tentu saja protes tersebut hanya dalam hatinya.

“Masih sibuk beres-beres bu Haji jadi belum sempat,” sambung Rima ikut menimbrung.

“Iya, kemarin suami saya sudah minta ke Fandi katanya nanti. Kalo sudah ada nanti segera kasih kesaya ya? Bukannya kami gak percaya kalau sudah menikah. Peraturan kontrakan di sini dari dulu seperti itu jika sudah menikah ngumpulin foto buku nikah. Sekedar syarat saja buat laporan RT kalau ada apa-apa,” ungkap bu Haji memberi tahu. 

“Tahu gak? Neng Hasna. Dulu itu ada pasangan muda yang mengaku sudah menikah. Eh, gak taunya malah kumpul kebo. Waktu itu rame banget loh hampir saja mau di arak satu kampung sini.”

Cerita Rima menggebu menurutnya seorang yang berzina membuat tetangga kanan kiri sebanyak 40 rumah akan kena imbasnya. Hasna semakin gugup beberapa kali menoleh ke pintu gerbang. ‘kenapa ini emak-emak malah ngobrol disini.” Hatinya bermonolog. 

"Hasna!" teriak Fandi dari dalam membuat mereka yang sedang mengobrol menoleh. Hasna semakin gelisah, pandangannya menatap ke seberang jalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status