“Saya tidak butuh penjelasan anda,” sergah Lakshmi cepat. Ia sungguh enggan untuk membalas tatapan Darius.
Kapan dia mulai mengenal pria itu?
Sejak Darius memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing namun sekaligus dosen tamu yang mengisi mata kuliah manajemen keuangan. Bagaimana dirinya yang ternganga saat pria itu memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing dan juga Lakshmi yang terkejut saat pria itu menjadi dosen tamu di universitasnya.
Kala pertama dia mulai masuk ke dalam kelas saat itu.
Lakshmi yang sudah tersenyum lebar pun menenteng tas miliknya. Dia tak sabar untuk mengikuti perkuliahan di hari pertama dan dia juga mulai menginjakkan kaki di universitas yang berada di ibu kota sekaligus universitas peringkat dua nasional.
Kakinya terus melangkah cepat, berlari karena dia takut terlambat. Sengaja menunggu bus kampus di halte terdekat. Suara gemerisik air di danau yang tak jauh dari halte menjadi musiknya pagi ini.
Matanya melihat sekeliling, banyak mahasiswa yang juga sedang menunggu bus seperti dirinya. Senyumannya masih saja terkembang sempurna, bibirnya sama sekali tak merasa lelah saat ini.
Bahkan ia sendiri urung untuk sarapan. Berpikir kalau dirinya akan memakan waktu lebih lama meskipun asrama yang dihuni olehnya terletak di belakang kampus. Ah, bahkan dia memilih untuk tinggal di asrama dengan banyak orang dalam satu kamar agar pengeluarannya bisa lebih sedikit.
Menghemat. Dia benar-benar harus memikirkan pengeluarannya mulai saat ini. Dia hanya menerima uang saku dari beasiswa saja. Tak mungkin dia bisa untuk meminta uang kepada orangtuanya sedangkan ayahnya saja sama sekali menentang keinginannya.
Suara mesin kendaraan semakin terdengar jelas. Senyum di bibir gadis itu malah semakin lebar, tak sabar untuk melangkah masuk ke dalam bus universitas yang merupakan fasilitas kampus yang didapatkan oleh mahasiswa yang belajar di sini.
Udara pagi ini memang tak begitu sama dengan udara segar di kampung, tapi Lakshmi masih saja kagum. Sudah satu minggu dia menginjakkan kakinya di kampus Jas Kuning ini, namun matanya masih tak puas untuk menatap kagum sekelilingnya. Apalagi gedung-gedung di area itu.
Ah, dia mengalah untuk tak duduk. Memilih berdiri sambil memegangi penyangga. Matanya terus mengarah pada area luar tanpa henti. Dia masih tak merasa lelah sama sekali.
Dia belum memiliki kenalan sama sekali.
“Fakultas Ekonomi Bisnis!” seru kondektur yang bertugas di dalam bus.
Buru-buru dia melangkah ke depan bus, mengantre untuk keluar bus selagi bus berhenti. Tak lupa dia menempelkan e-card yang dimilikinya.
Ting!
“Terima kasih Pak,” ucapnya ceria.
Kondektur bus itu bahkan ikut membalas senyumnya. “Belajar yang benar!”
Lakshmi mengangguk semangat. Bahkan dia disemangati oleh orang yang sama sekali tak dikenalinya. Ah, lucunya hidup ini.
Lakshmi menatap bingung bangunan berlantai lima itu, gedung bercat merah dengan bangunan yang berbentuk U itu benar-benar begitu dekat jaraknya.
Lakshmi menghembuskan napasnya pelan. Mencoba menghentikan debaran jantungnya sendiri untuk saat ini.
Ia mulai melangkah memasuki area gedung. Memilih untuk melihat grup chat yang ada di ponselnya. Mendapati lokasi mahasiswa angkatannya, dia pun segera menuju ke tempat yang disebutkan.
Berdiri di depan pintu dengan plang R03.
Dibukanya pintu kelas, suara riuh tiba-tiba segera senyap. Dia tersenyum kecil, “halo,” sapanya.
“Eh? Hai. Lo … Lakshmita bukan?” Salah seorang dari mereka yang mengenakan kemeja hitam pun berinisiatif membalas sapaannya.
Lakshmi mengangguk.
“Wah, ayo, duduk, duduk.”
“Gue Irana.”
“Gue Dion.”
“Aku Chyntia.”
Sedikit memperkenalkan diri dan berbasa-basi menjadi rutinitas awal. Lakshmi mulai terbiasa dengan memperkenalkan diri berkali-kali. Ia mulai terlatih sedari mengikuti ospek kampus kemarin.
“Guys, kita harus cari dosen pembimbing kita nih. Kalian sudah mengisi form SKS kan?” Laki-laki dengan rambut yang disisir rapi pun mulai memberikan instruksi.
Memang mereka semua masih bingung dengan hal yang dilakukan di hari pertama.
“Siapa yang dapat dosen namanya Pak Hendra?”
Lakshmi menoleh cepat, dia mengangkat tangannya. Irana segera tersenyum, merangkul lengan gadis itu. “Ayo ke ruangannya, nanti terlambat.”
Lagi-lagi Lakshmi mengangguk. Mereka berdua segera keluar kelas karena memang mereka harus bertemu dosen pembimbing akademik mereka agar bisa mendapatkan ACC pada form SKS yang sudah mereka isi.
“Kok aku deg-degan ya?” bisik Irana terkekeh.
Lakshmi mengangguk setuju. “Ini aku masih baru, rasanya bingung sekali. Tanganku dingin ya?” balas Lakshmi sambil menggenggam tangan Irana.
“Ya sudah, ayo, semoga pembimbing akademik kita tidak galak.” Bahkan Irana terkikik sendiri.
Dengan ragu mereka mencoba untuk mengetuk pintu sampai terdengar sahutan dari suara bass yang mampu mendobrak dada mereka.
Tok tok tok!
“Masuk!”
Deg!
Lakshmi bisa merasakan tubuhnya bahkan berjengit terkejut saat mendengar instruksi itu dari dalam ruangan.
Cklek.
“Halo Pak, kami mencari Pak Hendra,” sapa Irana yang masuk ke dalam. Lakshmi pun mengekor di belakang, dia berpiki kalau suara bass itu milik dosen yang mereka cari.
“Iya, itu saya.”
Kedua pasang itu menyorot pada sosok pria yang tengah duduk dan sibuk menatap layar komputer di hadapannya.
Lakshmi terkesiap. Bahkan detak jantungnya menggila saat matanya melihat wajah sang dosen yang mereka ingin temui.
Tubuhnya yang tegap dengan kemeja abu-abu yang terpakai pas di tubuhnya didukung dengan wajah tampan dengan mata yang dibingkai oleh kacamata itu menjadi perpaduan pas di matanya. Belum lagi bibir merah dengan kumis tipisnya benar-benar harmoni dengan hidung mancungnya.
‘Astaga! Apa yang kau lakukan Lakshmi!’ batinnya menyentak, menyadari kelakuannya sendiri.
Lakshmi buru-buru menunduk. Dia benar-benar berdebar hebat saat melihat pria setampan itu menjadi dosen pembimbing akademiknya.
“Silakan duduk.” Pria itu mempersilakan kedua calon mahasiswa bimbingannya.
Dia mulai beralih menatap kedua gadis muda yang sudah duduk dengan canggung. Tersenyum kecil melihat wajah-wajah dengan tatapan polos mereka.
“Jadi, ada apa kalian mencari saya?” tanyanya.
Suara itu mengalun merdu di pendengaran Lakshmi, ia masih tak kuasa untuk mengalihkan kekagumannya dari cucu Adam yang ada di depannya.
“Kami … ingin bertanya mengenai persetujuan form SKS pak.”
Lakshmi bersyukur, Irana berinisiatif menjawab. Dia masih terlalu gugup, entah kenapa tubuhnya merespon tak biasa kala matanya melihat sosok Hendra.
Bahkan dia semakin berdebar kala mata mereka bertemu lalu bibir itu menyunggingkan senyuman. Senyuman maut yang bahkan mampu membuat detak jantungnya meningkat dua kali lipat.
“Oh, iya, saya cek dulu. Mana form kalian?”
Lakshmi ikut menyodorkan form yang sudah dia isi.
“Lakshmita Arjanti?”
“Eh, I iya Pak?” Lakshmi tergagap, dia tersentak ketika namanya disebut oleh Hendra. Yang diperkirakannya pria itu masihlah berusia dua puluhan akhir atau tiga puluhan awal.
Masih amat sangat muda sampai bisa menjadi dosen.
“Kamu yang mendapatkan beasiswa kan?”
“Iya Pak.” Suara Lakshmi terlalu lirih, ia tak sanggup untuk bersuara kali ini.
Lagi, Darius menghela napasnya. Dia tak menyangka Lakshmi akan menjadi arca yang tak bergerak sedikit pun juga. Dia lagi-lagi meremas bahu gadis itu, menginginkan Lakshmi bisa merespon keinginannya untuk menjelaskan situasi mereka saat ini. Namun, bagi Lakshmi, penjelasan apa pun tak akan ada gunanya selagi semuanya sudah terlanjur dilakukan. Akad yang tadi dia lalui malah menambah rasa dendamnya. Melihat wajah pria itu saja dia sudah muak, seakan perutnya bergejolak dan ingin mengeluarkan seluruh isinya kalau bisa. “Baiklah, nanti aku akan menjelaskan di rumahku saja. Nanti malam, kamu akan segera pindah ke rumahku,” putusnya telak. Lakshmi tak peduli sama sekali. Dia hanya menatap cermin dengan pandangan datar saja. Tak ingin melihat pria itu lebih lama di dalam kamarnya saat ini. Bisakah dia mengusirnya? Ah, mungkin nanti ayahnya malah akan semakin memiliki alasan untuk mendebat sekaligus membuatnya menjadi rendahan. Darius mundur, dia membuka pintu dan mempersilakan perias pen
“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri. Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu. Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok. Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya. Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap. Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasak
Yang tak diketahui oleh Lakshmi, Darius mencoba menghibur ibu istri keduanya itu. Mendengar tangisan sedih saja sudah membuatnya enggan dan ingin segera beranjak namun karena dia masih mencoba menghormati mertuanya, dia masih duduk sambil mendengarkan beberapa permohonan.“Kami pamit dulu ya Bu? Nanti jika Lakshmi libur, tentunya saya akan mengajaknya singgah ke rumah walau hanya sehari,” janji Darius yang diantar sampai keluar pintu.Suryani mengangguk, tersenyum. Tangannya terus mengusap lengan sang menantu. “Tolong jaga Putri Ibu ya? Kadang Lakshmi suka lupa makan,” lirihnya penuh harap.Lagi-lagi Darius mengangguk. Dia meletakkan barang-barang yang ditata di dalam kardus, milik sang istri sekaligus miliknya dari seserahan tadi. Dia merogoh dompet di saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan nominal tertinggi.“Ini … saya ada sedikit uang, semoga bisa menambah pemasukan Ibu dan Bapak,” ucapnya sebelum pamit.Purwanto tersenyum, bangga. Tak sia-sia dia menerima
“Ti tidak perlu! Saya di sini … saja,” cicit gadis bersurai panjang itu dengan wajah menunduk. Dia memang sedang gugup, memikirkan satu kamar dengan pria lain saja sudah membuat tubuhnya jumpalitan.Dia bukannya tak menyadari kalau sudah menikah, tetapi sekamar dengan pria di saat dia masih perawan adalah hal yang tak bisa dia terima.Bibir Darius berkedut mendengarnya. Dia bisa melihat kekhawatiran dan tingkat waspada Lakshmi menjadi meningkat dua kali lipat setelah melangkah masuk ke dalam kamar.Darius sedang tak ingin berdebat. Sejujurnya otot-otot di tubuhnya sudah terlalu tegang dan membutuhkan rileksasi. Dia sampai berbalik, memijat keningnya sendiri. Dengan mata telanjang, Lakshmi bisa melihat punggungnya yang kuat dan bahu yang lebar.Betapa Darius nampak frustrasi menghadapi gadis keras kepala itu.Dia berbalik, menatap tajam Lakshmi. “Aku sedang tak mau berdebat dengan sikap kekeraskepalaan kamu, Lakshmi. Sebaiknya malam ini kita bekerja sama.”Lakshmi memilih mengalihkan p
Darius masih diam saja saat pagi ini dia mengajak Lakshmi untuk pulang. Dia masih mengingat jelas semalam Lakshmi yang menangis lirih di dalam selimut. Apa Lakshmi pikir tangisannya tak terdengar? Demi Tuhan, bahkan tangisan itulah yang membuatnya semakin susah untuk tidur. Dan dia pun tertidur di jam tiga pagi!Bagaimana pusingnya dia saat ini ketika harus mengendarai mobil untuk ke rumah dan membuka mata agar tak terjadi kecelakaan tentunya. Namun, tangisan lirih penuh penghayatan itu malah semakin terngiang-ngiang di kepalanya.“Kuharap kamu akan menyukai rumah kita.”Kita?Lakshmi mendengus geli mendengarnya. “Rumah anda yang dimaksud,” ralatnya segera.“Rumah kita. Rumah untuk tempat tinggal kita berdua.” Darius masih tak paham dengan sindiran itu.“Oh, pasti istri pertama akan merasa sakit hati luar biasa ya saat ini? Pulang-pulang membawa istri baru,” sindir Lakshmi kembali.Darius menoleh, menatap Lakshmi tak percaya. Rahangnya mengeras saat gadis itu mneyindirnya telak. Ada b
Seketika Lakshmi terdiam kaku, bahkan aliran darahnya seakan ikut terhenti begitu juga napasnya. Benda kenyal yang terasa dingin tengah menghisap bibirnya kuat dan tergesa-gesa. Demi Tuhan. Darius tengah menciumnya lagi sekarang! Namun, rasa mual menyerang perutnya saat ingatannya berputar di malam kemarin. Malam saat Darius memasuki kamarnya. “Le--pashh!” Suara Lakshmi tersendat-sendat selagi tangannya mendorong kuat Darius agar melepaskan pagutannya. Darius membuka matanya, irisnya gelap. Namun, ia bisa menguasai emosinya saat itu. Melihat Lakshmi yang menatapnya penuh benci dengan segala emosi yang dirasakan sekaligus juga bagaimana dirinya yang tak kuasa untuk menahan diri. Dia mencoba tenang walau bibir itu kini menjadi candu baginya, rasanya bak zat adiksi yang ikut membuainya dan membuatnya melayang nyaman. “Kau--sialan!” maki Lakshmi yang segera berbalik, keluar kamar. Bruk! Lakshmi sekuat tenaga membanting pintu kamar itu. Napasnya terengah-engah, masih dengan tangan
Darius baru saja terbangun dari tidurnya, dia melihat ke sisi kirinya. Ranjang itu sudah kosong. Dia hanya berbaring sendirian. Sontak dia panik. Segera saja dia bangun, mencari keberadaan istrinya. Takut kalau-kalau Lakshmi malah kabur karena terbangun dengan kondisi sekamar dengan sang suami. Langkah kakinya bahkan terdengar nyaring saat menuruni tangga. “Mbok! Mbok!” teriak Darius, berusaha mencari sang ART. Dia menuju ke dapur, karena panik bahkan kepalanya tak bisa berpikir dengan benar. “Mbok, tadi apa pintu terbuka?” Lina yang terkejut mendengar suara menggelegar milik Darius buru-buru keluar dari dapur. Sementara Lakshmi hanya berusaha memotong sayuran dengan pandangan terus menunduk. Bahkan dadanya benar-benar bergemuruh hebat, memikirkan kalau semalam dirinya kecolongan. “Ada apa, Den? Kok pagi-pagi malah teriak-teriak begitu?” Darius buru-buru menghampiri Lina, “tadi pagi pintu utama terbuka?” Lina menggeleng, terkekeh, “aduh, hehe. Den, mana ada pintu kebuka? Den
Darius mengernyit heran, dia menyadari kalau Lakshmi terlalu lama berada di dalam kamar mandi. Tok tok tok. Sengaja dia mengetuk pintu kamar mandi. “Lakshmi, kenapa lama sekali? Aku perlu mandi,” ucapnya. Lakshmi yang tengah bingung pun terkejut. “Ah, ya … ya, saya sudah selesai!” “Kalau begitu cepatlah keluar,” pinta Darius tak sabaran. Dia sendiri memang dikejar waktu saat ini. Dia harus pergi bekerja. Lakshmi bingung, dia tak punya handuk dan bajunya basah! Astaga … apa yang harus dia lakukan sekarang?! “Euhm … kamu … tunggu luar dulu!” teriak Lakshmi. Darius mengernyit, heran tentu saja. “Kenapa harus? Aku harus mandi, Lakshmi. Semua peralatan mandiku di dalam sana.” Lakshmi semakin merasa panas mendengarnya. Memikirkan kalau dirinya benar-benar melakukan hal bodoh tadi. Dia tak pernah tahu bagaimana rumah mewah yang ditempatinya mampu melakukan perponcoan padanya hanya karena dia baru saja tinggal di sini. “Ba … baju saya basah!” Darius terdiam mendengarnya. Dia masih