Tangan Lakshmi bergetar hebat, matanya terus menerus menatap tak percaya lelaki yang ada di hadapannya. Merasa seperti terlempar ke jurang gunung berapi yang meletup-letup lavanya.
Jantungnya bagai ditusuk hebat dengan panah beracun.
Lelaki itu … lelaki yang selalu dia andalkan untuk menceritakan mimpi-mimpinya selama ini. Lelaki dengan mata sepekat zamrud dan hidung mancung dibingkai dengan rahang yang tegas yang amat dia percayai.
“Pak … Hendra?” Suaranya spontan lolos bak desahan lemah. Tak bisa dirinya berkata-kata lagi. Dia ingin menangis saat ini juga.
Amat sangat ingin menangis. Namun, tubuhnya seakan terhipnotis untuk memasangkan cincin di jari manisnya tapi tenaganya sudah tak bersisa. Cincin yang seharusnya terpasang di jari laki-laki itu tergelincir ke tanah.
Trak!
Semakin sesak dadanya sampai napasnya terengah-engah. Rasa sakit yang dihasilkan oleh keluarganya baru saja ingin ia kubur kini bertambah. Lelaki yang begitu baik padanya dan begitu membimbingnya di universitas ikut menorehkan luka baru.
Digigitnya bibir bagian dalam sekencang-kencangnya, tak peduli jika harus terasa perih sedang ia tengah mencoba menahan tangis dan marahnya sendiri. Dia tak mau menjadi orang gila di hadapan para tamu.
“Lakshmi, kenapa kamu jatuhkan cincinnya?” Purwanto mendesis, seakan menyaksikan putrinya tengah melakukan provokasi terhadapnya.
Pria bernama Darius itu pun mencoba mengendalikan keadaan. Ia sudah bisa melihat bagaimana keosnya Lakshmi saat tahu siapa pria yang menikahinya.
“Tidak apa Pak, mungkin Lakshmi gugup.”
Seketika gemuruh tawa bermunculan saat Darius beralasan begitu.
“Ada-ada saja, haha, pengantin wanita gugup melihat Mas tampan ya?” Bahkan wali nikah pun ikut berkelakar.
Tangan Darius mengambil kembali cincinnya dan memasangnya sendiri. Mereka masih harus duduk di sana untuk mendengar ceramah, petuah dan doa dari wali nikah dan ustadz. Semua berjalan hening, terkadang timbul bisikan-bisikan.
Lakshmi masih diam membisu. Dia terus menundukkan kepalanya, enggan untuk melihat sekitarnya. Bahkan sekelilingnya terasa memuakkan sampai-sampai sistem pernapasannya bingung yang mana oksigen untuknya.
Dadanya terasa begitu nyeri. Bahkan kini perutnya terlilit hebat di saat dia mengabaikan sarapan. Sial. Ia sudah menjadi orang jahat tak punya hati. Hati untuk mempedulikan tubuhnya sendiri. Menyesakkan!
“Kenapa diam saja?” Kali ini Darius mulai angkat bicara begitu mereka duduk di kursi pelaminan.
Dia cemas, mencemaskan kondisi Lakshmi. Menghela napasnya pelan, ia meraih tangan Lakshmi yang terasa begitu dingin.
“Lakshmi,” panggilnya dengan nada lembut.
Di pendengaran wanita itu, Darius memanggilnya dengan begitu mengerikan. Dia pun mengangkat pandangannya, menatap bengis Darius yang masih mengenakan peci putih di kepalanya. Jas putihnya bahkan begitu pas membalut tubuhnya sampai nampak gagah di mata orang lain. Namun, bagi Lakshmi, pria itu menjadi iblis yang sudah berhasil menghancurkan mimpi yang sering ia gaungkan pada pria itu.
Plak!
Dia menepis tangan Darius kencang. “Jangan sentuh aku,” desisnya penuh penekanan. Sama sekali tak bisa menerima sentuhan fisik. Dia bahkan merasa jijik.
Darius terdiam. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus menipis. Dia mencoba mengontrol emosi yang tiba-tiba menguar akibat penolakan itu. Menghembuskan napasnya perlahan nan panjang agar hatinya bisa tenang.
Dia juga tahu kondisinya. Ditonton oleh banyak tamu.
“Saya akan menjelaskannya padamu nanti,” bisiknya lirih.
Lakshmi membuang muka, tak sudi dirinya untuk bicara dengan pria itu agar menemukan jawaban. Tak akan pernah. Detik itu juga, Darius bukanlah sosok yang diidamkan olehnya, bukan lagi sebagai supporter untuk mimpinya. Dia hanyalah pria yang tak memiliki hati sampai berani mengobrak-abrik hatinya.
Lakshmi sama sekali tak tersenyum di saat para tamu menyalaminya dan mengucapkan selamat. Dia memang tak senang dan tak munafik untuk nampak bahagia padahal hatinya tengah menangis.
Lakshmi masih tak memperhatikan siapa saja tamu-tamu yang sudah berjumpa dengannya.
Sampai satu wanita dengan rambut disanggul menyalaminya dan mencium pipinya. “Wah, selamat ya Lakshmi, duh enggak menyangka kamu menikah.” Wajah semringah penuh haru sahabat SMA Lakshmi pun terlihat jelas.
Iris Lakshmi membesar melihatnya. Dia semakin sesak. Bahkan sahabatnya dulu tak tahu apa yang menjadi masalahnya saat ini.
“Ningsih, kamu datang,” lirihnya. Ia sebenarnya ingin memeluk wanita itu jika bisa dan meraung-raung di pelukannya.
Ningsih tersenyum dan mengangguk. Lantas dia berbisik, “semoga kehidupan pernikahanmu bahagia ya, kamu sukses menggaet cowok tampan terus kaya raya lagi,” kekehnya.
Lakshmi kali ini mau tak mau tersenyum kecil, demi memperlihatkan pada sahabat yang sudah lama tak dia jumpai itu kalau dirinya masih bisa berdiri dan terlihat baik-baik saja.
“Iya terima kasih, Ning. Kamu makanlah dulu, bayi dalam perutmu akan protes nantinya.”
Mata Lakshmi bisa melihat jelas perut yang menonjol. Ah, bahkan dia ingat, Ningsih langsung menikah dengan pria yang dijodohkan oleh orangtuanya setelah tiga hari kelulusan. Sama nasibnya, terpaksa menerima. Namun, Ningsih lebih lapang dada.
Ingin rasanya Lakshmi menyudahi acara bersalaman itu. Orangtuanya tega melihat ia menderita dengan mengundang banyak orang. Lebih dari puluhan!
Kakinya meronta, jari kelingking kakinya sudah lecet akibat bergesekan dengan heels yang dia pakai. Semuanya terasa menyakitkan. Nyeri karena luka di tubuh dan hatinya begitu menganga.
Darius pun sedari tadi hanya tersenyum, melirik dari sudut matanya ke arah Lakshmi. Wanita itu begitu enggan untuk bicara dengannya. Bahkan hanya kata-lata pedas yang terlontar tadi. Dia bingung namun ia juga tak bisa membiarkan gadis itu salah paham padanya.
“Ayo pengantinnya istirahat dulu, mesti ganti baju.” Sang MUA mengajak pengantin itu untuk turun dari pelaminan.
Lakshmi bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, sama sekali tak protes.
Di dalam kamar yang sudah dihias sebagai kamar pengantin pun sudah mereka tempati. Lakshmi sudah duduk di depan cermin lagi. Matanya masih menatap kosong, bak zombie tanpa kehidupan. Binar di matanya seakan menyusut dengan cepat.
Darius berbisik pada perias dan meminta privasi untuk mereka berdua.
Perlahan pintu ditutup tanpa suara, hanya sunyi di ruang itu saja yang hadir sementara suara musik dangdut yang bertalu kencang sampai memekakkan telinga bercampur suara para tamu terus menyerbu ke pendengaran mereka.
Darius berdiri di samping Lakshmi, menatap wanita ayu itu dari pantulan cermin. Ia tersenyum syahdu, bahkan ia tak bisa menyembunyikan perasaan hatinya.
“Lakshmi,” panggilnya lembut.
Kali ini Lakshmi diam, tak merespon. Darius semakin tegang. Seharusnya dia bisa menjelaskannya saat ini, namun diamnya Lakshmi menyerang rasa percaya dirinya.
Tangannya perlahan menggapai tangan Lakshmi yang masih dingin seperti sebelumnya, membawanya ke bibirnya dan mengecupnya lembut.
Merasakan lembap dari kontak benda lembut di punggung tangannya, Lakshmi terkesiap. Matanya melebar, segera ditariknya tangannya sekuat tenaga. Bahkan dibersihkannya tangan itu dengan usapan kasar dengan kain baju yang dikenakannya.
Darius terdiam. Amat sangat jelas melihat penolakan gadis itu.
“Ada yang harus aku jelaskan padamu, Lakshmi,” ucap Darius, berusaha tenang. Meskipun sebenarnya dia ingin meledak kala Lakshmi menolaknya dua kali.
“Saya tidak butuh penjelasan anda,” sergah Lakshmi cepat. Ia sungguh enggan untuk membalas tatapan Darius. Kapan dia mulai mengenal pria itu? Sejak Darius memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing namun sekaligus dosen tamu yang mengisi mata kuliah manajemen keuangan. Bagaimana dirinya yang ternganga saat pria itu memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing dan juga Lakshmi yang terkejut saat pria itu menjadi dosen tamu di universitasnya. Kala pertama dia mulai masuk ke dalam kelas saat itu. Lakshmi yang sudah tersenyum lebar pun menenteng tas miliknya. Dia tak sabar untuk mengikuti perkuliahan di hari pertama dan dia juga mulai menginjakkan kaki di universitas yang berada di ibu kota sekaligus universitas peringkat dua nasional. Kakinya terus melangkah cepat, berlari karena dia takut terlambat. Sengaja menunggu bus kampus di halte terdekat. Suara gemerisik air di danau yang tak jauh dari halte menjadi musiknya pagi ini. Matanya melihat sekeliling, banyak mahasiswa yang juga
Lagi, Darius menghela napasnya. Dia tak menyangka Lakshmi akan menjadi arca yang tak bergerak sedikit pun juga. Dia lagi-lagi meremas bahu gadis itu, menginginkan Lakshmi bisa merespon keinginannya untuk menjelaskan situasi mereka saat ini. Namun, bagi Lakshmi, penjelasan apa pun tak akan ada gunanya selagi semuanya sudah terlanjur dilakukan. Akad yang tadi dia lalui malah menambah rasa dendamnya. Melihat wajah pria itu saja dia sudah muak, seakan perutnya bergejolak dan ingin mengeluarkan seluruh isinya kalau bisa. “Baiklah, nanti aku akan menjelaskan di rumahku saja. Nanti malam, kamu akan segera pindah ke rumahku,” putusnya telak. Lakshmi tak peduli sama sekali. Dia hanya menatap cermin dengan pandangan datar saja. Tak ingin melihat pria itu lebih lama di dalam kamarnya saat ini. Bisakah dia mengusirnya? Ah, mungkin nanti ayahnya malah akan semakin memiliki alasan untuk mendebat sekaligus membuatnya menjadi rendahan. Darius mundur, dia membuka pintu dan mempersilakan perias pen
“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri. Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu. Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok. Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya. Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap. Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasak
Yang tak diketahui oleh Lakshmi, Darius mencoba menghibur ibu istri keduanya itu. Mendengar tangisan sedih saja sudah membuatnya enggan dan ingin segera beranjak namun karena dia masih mencoba menghormati mertuanya, dia masih duduk sambil mendengarkan beberapa permohonan.“Kami pamit dulu ya Bu? Nanti jika Lakshmi libur, tentunya saya akan mengajaknya singgah ke rumah walau hanya sehari,” janji Darius yang diantar sampai keluar pintu.Suryani mengangguk, tersenyum. Tangannya terus mengusap lengan sang menantu. “Tolong jaga Putri Ibu ya? Kadang Lakshmi suka lupa makan,” lirihnya penuh harap.Lagi-lagi Darius mengangguk. Dia meletakkan barang-barang yang ditata di dalam kardus, milik sang istri sekaligus miliknya dari seserahan tadi. Dia merogoh dompet di saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan nominal tertinggi.“Ini … saya ada sedikit uang, semoga bisa menambah pemasukan Ibu dan Bapak,” ucapnya sebelum pamit.Purwanto tersenyum, bangga. Tak sia-sia dia menerima
“Ti tidak perlu! Saya di sini … saja,” cicit gadis bersurai panjang itu dengan wajah menunduk. Dia memang sedang gugup, memikirkan satu kamar dengan pria lain saja sudah membuat tubuhnya jumpalitan.Dia bukannya tak menyadari kalau sudah menikah, tetapi sekamar dengan pria di saat dia masih perawan adalah hal yang tak bisa dia terima.Bibir Darius berkedut mendengarnya. Dia bisa melihat kekhawatiran dan tingkat waspada Lakshmi menjadi meningkat dua kali lipat setelah melangkah masuk ke dalam kamar.Darius sedang tak ingin berdebat. Sejujurnya otot-otot di tubuhnya sudah terlalu tegang dan membutuhkan rileksasi. Dia sampai berbalik, memijat keningnya sendiri. Dengan mata telanjang, Lakshmi bisa melihat punggungnya yang kuat dan bahu yang lebar.Betapa Darius nampak frustrasi menghadapi gadis keras kepala itu.Dia berbalik, menatap tajam Lakshmi. “Aku sedang tak mau berdebat dengan sikap kekeraskepalaan kamu, Lakshmi. Sebaiknya malam ini kita bekerja sama.”Lakshmi memilih mengalihkan p
Darius masih diam saja saat pagi ini dia mengajak Lakshmi untuk pulang. Dia masih mengingat jelas semalam Lakshmi yang menangis lirih di dalam selimut. Apa Lakshmi pikir tangisannya tak terdengar? Demi Tuhan, bahkan tangisan itulah yang membuatnya semakin susah untuk tidur. Dan dia pun tertidur di jam tiga pagi!Bagaimana pusingnya dia saat ini ketika harus mengendarai mobil untuk ke rumah dan membuka mata agar tak terjadi kecelakaan tentunya. Namun, tangisan lirih penuh penghayatan itu malah semakin terngiang-ngiang di kepalanya.“Kuharap kamu akan menyukai rumah kita.”Kita?Lakshmi mendengus geli mendengarnya. “Rumah anda yang dimaksud,” ralatnya segera.“Rumah kita. Rumah untuk tempat tinggal kita berdua.” Darius masih tak paham dengan sindiran itu.“Oh, pasti istri pertama akan merasa sakit hati luar biasa ya saat ini? Pulang-pulang membawa istri baru,” sindir Lakshmi kembali.Darius menoleh, menatap Lakshmi tak percaya. Rahangnya mengeras saat gadis itu mneyindirnya telak. Ada b
Seketika Lakshmi terdiam kaku, bahkan aliran darahnya seakan ikut terhenti begitu juga napasnya. Benda kenyal yang terasa dingin tengah menghisap bibirnya kuat dan tergesa-gesa. Demi Tuhan. Darius tengah menciumnya lagi sekarang! Namun, rasa mual menyerang perutnya saat ingatannya berputar di malam kemarin. Malam saat Darius memasuki kamarnya. “Le--pashh!” Suara Lakshmi tersendat-sendat selagi tangannya mendorong kuat Darius agar melepaskan pagutannya. Darius membuka matanya, irisnya gelap. Namun, ia bisa menguasai emosinya saat itu. Melihat Lakshmi yang menatapnya penuh benci dengan segala emosi yang dirasakan sekaligus juga bagaimana dirinya yang tak kuasa untuk menahan diri. Dia mencoba tenang walau bibir itu kini menjadi candu baginya, rasanya bak zat adiksi yang ikut membuainya dan membuatnya melayang nyaman. “Kau--sialan!” maki Lakshmi yang segera berbalik, keluar kamar. Bruk! Lakshmi sekuat tenaga membanting pintu kamar itu. Napasnya terengah-engah, masih dengan tangan
Darius baru saja terbangun dari tidurnya, dia melihat ke sisi kirinya. Ranjang itu sudah kosong. Dia hanya berbaring sendirian. Sontak dia panik. Segera saja dia bangun, mencari keberadaan istrinya. Takut kalau-kalau Lakshmi malah kabur karena terbangun dengan kondisi sekamar dengan sang suami. Langkah kakinya bahkan terdengar nyaring saat menuruni tangga. “Mbok! Mbok!” teriak Darius, berusaha mencari sang ART. Dia menuju ke dapur, karena panik bahkan kepalanya tak bisa berpikir dengan benar. “Mbok, tadi apa pintu terbuka?” Lina yang terkejut mendengar suara menggelegar milik Darius buru-buru keluar dari dapur. Sementara Lakshmi hanya berusaha memotong sayuran dengan pandangan terus menunduk. Bahkan dadanya benar-benar bergemuruh hebat, memikirkan kalau semalam dirinya kecolongan. “Ada apa, Den? Kok pagi-pagi malah teriak-teriak begitu?” Darius buru-buru menghampiri Lina, “tadi pagi pintu utama terbuka?” Lina menggeleng, terkekeh, “aduh, hehe. Den, mana ada pintu kebuka? Den