Share

4. Penjelasan

Tangan Lakshmi bergetar hebat, matanya terus menerus menatap tak percaya lelaki yang ada di hadapannya. Merasa seperti terlempar ke jurang gunung berapi yang meletup-letup lavanya.

Jantungnya bagai ditusuk hebat dengan panah beracun.

Lelaki itu … lelaki yang selalu dia andalkan untuk menceritakan mimpi-mimpinya selama ini. Lelaki dengan mata sepekat zamrud dan hidung mancung dibingkai dengan rahang yang tegas yang amat dia percayai.

“Pak … Hendra?” Suaranya spontan lolos bak desahan lemah. Tak bisa dirinya berkata-kata lagi. Dia ingin menangis saat ini juga.

Amat sangat ingin menangis. Namun, tubuhnya seakan terhipnotis untuk memasangkan cincin di jari manisnya tapi tenaganya sudah tak bersisa. Cincin yang seharusnya terpasang di jari laki-laki itu tergelincir ke tanah.

Trak!

Semakin sesak dadanya sampai napasnya terengah-engah. Rasa sakit yang dihasilkan oleh keluarganya baru saja ingin ia kubur kini bertambah. Lelaki yang begitu baik padanya dan begitu membimbingnya di universitas ikut menorehkan luka baru.

Digigitnya bibir bagian dalam sekencang-kencangnya, tak peduli jika harus terasa perih sedang ia tengah mencoba menahan tangis dan marahnya sendiri. Dia tak mau menjadi orang gila di hadapan para tamu.

“Lakshmi, kenapa kamu jatuhkan cincinnya?” Purwanto mendesis, seakan menyaksikan putrinya tengah melakukan provokasi terhadapnya.

Pria bernama Darius itu pun mencoba mengendalikan keadaan. Ia sudah bisa melihat bagaimana keosnya Lakshmi saat tahu siapa pria yang menikahinya.

“Tidak apa Pak, mungkin Lakshmi gugup.”

Seketika gemuruh tawa bermunculan saat Darius beralasan begitu.

“Ada-ada saja, haha, pengantin wanita gugup melihat Mas tampan ya?” Bahkan wali nikah pun ikut berkelakar.

Tangan Darius mengambil kembali cincinnya dan memasangnya sendiri. Mereka masih harus duduk di sana untuk mendengar ceramah, petuah dan doa dari wali nikah dan ustadz. Semua berjalan hening, terkadang timbul bisikan-bisikan.

Lakshmi masih diam membisu. Dia terus menundukkan kepalanya, enggan untuk melihat sekitarnya. Bahkan sekelilingnya terasa memuakkan sampai-sampai sistem pernapasannya bingung yang mana oksigen untuknya.

Dadanya terasa begitu nyeri. Bahkan kini perutnya terlilit hebat di saat dia mengabaikan sarapan. Sial. Ia sudah menjadi orang jahat tak punya hati. Hati untuk mempedulikan tubuhnya sendiri. Menyesakkan!

“Kenapa diam saja?” Kali ini Darius mulai angkat bicara begitu mereka duduk di kursi pelaminan.

Dia cemas, mencemaskan kondisi Lakshmi. Menghela napasnya pelan, ia meraih tangan Lakshmi yang terasa begitu dingin.

“Lakshmi,” panggilnya dengan nada lembut.

Di pendengaran wanita itu, Darius memanggilnya dengan begitu mengerikan. Dia pun mengangkat pandangannya, menatap bengis Darius yang masih mengenakan peci putih di kepalanya. Jas putihnya bahkan begitu pas membalut tubuhnya sampai nampak gagah di mata orang lain. Namun, bagi Lakshmi, pria itu menjadi iblis yang sudah berhasil menghancurkan mimpi yang sering ia gaungkan pada pria itu.

Plak!

Dia menepis tangan Darius kencang. “Jangan sentuh aku,” desisnya penuh penekanan. Sama sekali tak bisa menerima sentuhan fisik. Dia bahkan merasa jijik.

Darius terdiam. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus menipis. Dia mencoba mengontrol emosi yang tiba-tiba menguar akibat penolakan itu. Menghembuskan napasnya perlahan nan panjang agar hatinya bisa tenang.

Dia juga tahu kondisinya. Ditonton oleh banyak tamu.

“Saya akan menjelaskannya padamu nanti,” bisiknya lirih.

Lakshmi membuang muka, tak sudi dirinya untuk bicara dengan pria itu agar menemukan jawaban. Tak akan pernah. Detik itu juga, Darius bukanlah sosok yang diidamkan olehnya, bukan lagi sebagai supporter untuk mimpinya. Dia hanyalah pria yang tak memiliki hati sampai berani mengobrak-abrik hatinya.

Lakshmi sama sekali tak tersenyum di saat para tamu menyalaminya dan mengucapkan selamat. Dia memang tak senang dan tak munafik untuk nampak bahagia padahal hatinya tengah menangis.

Lakshmi masih tak memperhatikan siapa saja tamu-tamu yang sudah berjumpa dengannya.

Sampai satu wanita dengan rambut disanggul menyalaminya dan mencium pipinya. “Wah, selamat ya Lakshmi, duh enggak menyangka kamu menikah.” Wajah semringah penuh haru sahabat SMA Lakshmi pun terlihat jelas.

Iris Lakshmi membesar melihatnya. Dia semakin sesak. Bahkan sahabatnya dulu tak tahu apa yang menjadi masalahnya saat ini.

“Ningsih, kamu datang,” lirihnya. Ia sebenarnya ingin memeluk wanita itu jika bisa dan meraung-raung di pelukannya.

Ningsih tersenyum dan mengangguk. Lantas dia berbisik, “semoga kehidupan pernikahanmu bahagia ya, kamu sukses menggaet cowok tampan terus kaya raya lagi,” kekehnya.

Lakshmi kali ini mau tak mau tersenyum kecil, demi memperlihatkan pada sahabat yang sudah lama tak dia jumpai itu kalau dirinya masih bisa berdiri dan terlihat baik-baik saja.

“Iya terima kasih, Ning. Kamu makanlah dulu, bayi dalam perutmu akan protes nantinya.”

 Mata Lakshmi bisa melihat jelas perut yang menonjol. Ah, bahkan dia ingat, Ningsih langsung menikah dengan pria yang dijodohkan oleh orangtuanya setelah tiga hari kelulusan. Sama nasibnya, terpaksa menerima. Namun, Ningsih lebih lapang dada.

Ingin rasanya Lakshmi menyudahi acara bersalaman itu. Orangtuanya tega melihat ia menderita dengan mengundang banyak orang. Lebih dari puluhan!

Kakinya meronta, jari kelingking kakinya sudah lecet akibat bergesekan dengan heels yang dia pakai. Semuanya terasa menyakitkan. Nyeri karena luka di tubuh dan hatinya begitu menganga.

Darius pun sedari tadi hanya tersenyum, melirik dari sudut matanya ke arah Lakshmi. Wanita itu begitu enggan untuk bicara dengannya. Bahkan hanya kata-lata pedas yang terlontar tadi. Dia bingung namun ia juga tak bisa membiarkan gadis itu salah paham padanya.

“Ayo pengantinnya istirahat dulu, mesti ganti baju.” Sang MUA mengajak pengantin itu untuk turun dari pelaminan.

Lakshmi bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, sama sekali tak protes.

Di dalam kamar yang sudah dihias sebagai kamar pengantin pun sudah mereka tempati. Lakshmi sudah duduk di depan cermin lagi. Matanya masih menatap kosong, bak zombie tanpa kehidupan. Binar di matanya seakan menyusut dengan cepat.

Darius berbisik pada perias dan meminta privasi untuk mereka berdua.

Perlahan pintu ditutup tanpa suara, hanya sunyi di ruang itu saja yang hadir sementara suara musik dangdut yang bertalu kencang sampai memekakkan telinga bercampur suara para tamu terus menyerbu ke pendengaran mereka.

Darius berdiri di samping Lakshmi, menatap wanita ayu itu dari pantulan cermin. Ia tersenyum syahdu, bahkan ia tak bisa menyembunyikan perasaan hatinya.

“Lakshmi,” panggilnya lembut.

Kali ini Lakshmi diam, tak merespon. Darius semakin tegang. Seharusnya dia bisa menjelaskannya saat ini, namun diamnya Lakshmi menyerang rasa percaya dirinya.

Tangannya perlahan menggapai tangan Lakshmi yang masih dingin seperti sebelumnya, membawanya ke bibirnya dan mengecupnya lembut.

Merasakan lembap dari kontak benda lembut di punggung tangannya, Lakshmi terkesiap. Matanya melebar, segera ditariknya tangannya sekuat tenaga. Bahkan dibersihkannya tangan itu dengan usapan kasar dengan kain baju yang dikenakannya.

Darius terdiam. Amat sangat jelas melihat penolakan gadis itu.

“Ada yang harus aku jelaskan padamu, Lakshmi,” ucap Darius, berusaha tenang. Meskipun sebenarnya dia ingin meledak kala Lakshmi menolaknya dua kali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status