Sana menghantamkan kepalanya pada meja berkali-kali, "Dasar bego!" Umpatnya, Dan dia melakukan hal itu sudah dari tadi. Orang-orang di perpus yang melihat Sana pun, menatap aneh.
Dia kemudian menempelkan pipinya diatas meja. "Apa ini akhir?" lemasnya. Sana menghela nafas. Dia menegakkan tubuhnya, lalu menopangkan wajahnya diatas satu tangan yang bersandar di atas meja. Pikirannya kosong, menatap ke sembarang arah. Dia benar-benar menyesal, Sana menghela nafas lagi.
Rasanya ingin bilang kalau dia melakukannya secara tidak sadar, tapi saat itu pikirannya sadar dan jika dilihat secara penglihatan dia benar-benar membanting orang itu. Ketika dia membanting Kak Fikar rasanya jantung Sana ingin jatuh ke perut.
Drtt ... drtt ... drtt
Getaran ponselnya membuat Sana tersadar dari lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang berada dalam tote bag. Itu suara alarm yang menandakan kelas selanjutnya akan segera dimulai, lebih tepatnya 15 menit sebelum kelas dimulai.
Ketika waktu senggang, dia selalu menyempatkan diri untuk membuat alarm pengingat waktu-waktu penting.
Sana mematikan alarm itu. Dia beranjak dari kursinya lalu berjalan lemas, menuju kelasnya dengan pikiran yang masih kosong. Untungnya dia bisa sampai di depan kelasnya tanpa salah arah.
Sarah melihat Sana memasuki kelas. Tetapi temannya itu terlihat sekali tidak memiliki semangat, dan pandangannya kosong. "Sana!" Panggilnya lumayan keras dari kursinya.
Karena merasa dipanggil dia menoleh mencari suara yang dikenalnya, disana Sarah melambaikan tangan, tanpa pikir panjang dia berjalan menuju kesana.
"Lo ga papa?" Tanya Sarah padanya, ketika dia sudah duduk disebelahnya. Kelas mereka masih kosong. Hanya anak-anak rajin barisan depan yang baru datang.
Sana hanya diam, pandangannya kosong. "Dunia berakhir." Gumamnya.
Sarah mengguncangkan bahunya cemas. "San lu ngomong apa?" Tanyanya.
"Nia ... berakhir." Gumam Sana lagi tak jelas. Tetap dengan pandang kosong, menatap acak.
"Dunia berakhir?" Dia mengulang pertanyaan Sana bingung, lalu Sarah langsung teringat kejadian di kantin sebelumnya. "HA HA HA HA." Sarah tertawa terbahak-bahak, suara tawanya bahkan sampai menganggu orang-orang barisan depan.
Sedangkan Sana tidak peduli, dia terus menggumamkan kata. "Dunia berakhir!"
Sarah mengelap air matanya yang keluar, dia berusaha menghentikan tawanya. Dia menarik nafas lalu membuangnya baru setelah itu dia berbicara. "Gua tau itu susah. Tapi gua rasa crush lo gak bakal marah kok."
Akhirnya Sana menatap pada Sarah. "Gak bakal marah. Emang bener?"
Sarah mengangguk meyakinkan. "Iya," dia melanjutkan ucapannya. "Paling dia cuma gak mau ketemu lo lagi ... ha ha ha." dia tertawa lagi.
Sana menatap malas Sarah yang tertawa. "Cih!" Dia menempelkan lesu pipinya diatas meja, lalu bergumam lagi. "Udah berakhir." Sembari menghela nafas kasar.
***
Fikar terbangun dari tidurnya. "Ahhh ... ." Dia tersenyum lebar merasakan sensasi nikmat yang dirasakannya sekarang. Ah, bagaimana kalau dia bisa merasakan sensasi ini setiap hari.
"Gua tau apa yang lo pikirin! Jangan sampe lo lakuin itu!" Ucap peringatan dari Firdaus yang duduk di kursi tunggu. Dia berjalan mendekat ke samping ranjang yang di tiduri Fikar.
Fikar menatap tersenyum, mengangkat alisnya satu. "Ini bukan urusan lo kan?"
Firdaus langsung menarik kerah baju Fikar kencang. "Lo gak inget kejadian setahun lalu! Gua ingetin, Lo hampir mati bangsat!"
Fikar menatap Firdaus serius, lalu dia tertawa kecil. "Bohong. Gua cuma bercanda." Sambil mengangkat kedua tangannya.
Firdaus melepaskan cengkramannya dari kerah Fikar, dia menghela nafas menangkan diri. "Mending lu tidur lagi. Udah gua izinin ke dosen kalau lu sakit di uks."
"Hmm ... Romantis banget emang Firda."
"Diem gak lo!" Firdaus berjalan menuju pintu keluar, sebelum itu dia menutup gorden yang memisahkan antara ranjang Fikar dengan ranjang lainnya. "Gua pergi." Pamitnya.
"Dah. Hati-hati Firda." Ucap Fikar melambaikan tangan meskipun orangnya tidak melihatnya. Senyum di bibirnya turun ketika sudah tidak ada siapapun di ruangan itu. Dia menutup matanya menggunakan lengan. Wajah perempuan yang memukulnya tadi langsung terbesit di fikirannya, tatapan matanya tadi terlihat seperti orang menyesal.
Dia menghela nafasnya. Ada banyak hal yang harus difikirkan olehnya. Tanpa sadar dia tersenyum, tapi tak menutup kemungkinan dia menyukai perlakuan perempuan itu padanya. Haruskah membuat dia menjadi pacarnya? Dia tertawa kecil, mungkin Firdaus akan memarahinya lagi.
***
Sana mendengar suara-suara berisik dari kepalanya, lalu dia berbalik menoleh. Badannya bergetar, dia melihat tubuh seseorang sudah terkapar di tanah dengan penuh darah. Suara-suara itu semakin membuatnya takut, mereka menghakiminya. Sana sulit bernafas. "Hah .. hah ... hah."
"Pembunuh!"
Sana menggeleng takut. Dia tidak seperti itu. Tapi suara-suara itu semakin kencang di kepalanya. "Lihat tangannya! Pembunuh!" Tunjuk orang-orang itu.
Sana melihat tangannya. Tangannya bergetar, Darah, tangannya penuh darah. Dia menggeleng, Bukan! Dia bukan pembunuh! Bukann!! "Arrgghhh gua bukan pembunuh!!" Teriaknya.
"Hah ... hah ... hah." Dia membuka matanya cepat, peluh membasahi wajah dan seluruh tubuh Sana, jantungnya berdebar kencang. Dia melihat ke arah jam di dindingnya, disana menunjukan pukul 3 pagi. Dia menghela nafasnya, ternyata hanya mimpi buruk! Lalu dia mengambil beberapa lembar tisu yang berada diatas nakas untuk mengelap peluh di dahi dan di lehernya.
Dia duduk dan bersandar di kepala kasurnya, Kemudian Sana mengambil botol air minum yang disiapkannya di atas nakas, lalu menenggaknya hingga habis tak tersisa.
"Gerah banget." Gumamnya. Setelah sedikit tenang, dia masuk kedalam kamar mandi untuk mengganti pakaian, karena pakaian yang sekarang dia pakai, basah kuyup oleh keringatnya.
Setelah Sana keluar dari kamar mandi, dia berjalan lunglai menuju kursi belajarnya. Dia teringat kembali kejadian di kantin. Lalu menatap kedua telapak tangannya. "Bener-bener nakutin."
Sana tidak mengerti bagaimana dia bisa memiliki perasaan tidak suka terhadap lawan jenisnya. Padahal dia tidak ingat apapun, kejadian yang membuatnya tidak menyukai mereka. Meski begitu, dia selalu berusaha menahan diri agar tidak bersikap berlebihan jika disamping mereka, dia harus bertingkah normal seperti perempuan lainnya. Kan aneh sekali jika dia terlihat terlalu tidak menyukai mereka, tanpa alasan apapun.
Dan selama ini dia selalu bisa menahannya, tapi kenapa Sana tidak bisa bersikap normal dan biasa saja di hadapan kak Fikar. Tubuhnya spontan akan menolak kehadiran orang itu, bahkan sampai se ekstrim waktu itu jika dia sengaja atau tidak sengaja bersentuhan.
Sana mengusap wajahnya kasar. Apakah ini sebuah kutukan! Lalu dia menyandarkan tubuhnya di kursi dan menatap langit-langit kamarnya. Apakah sampai sini saja kisah percintaannya. Dia menghela nafas kasar, lalu beranjak dari kursinya.
Banyak tugas yang harus dia selesaikan buat besok. Ah tugas kelompoknya akan dia berikan pada Kak Dewa untuk di kerjakan, kali ini dia butuh bantuan kakaknya. Tidak hanya tampan, kakaknya itu juga genius dan bisa diandalkan. Sayang jika tidak dimanfaatkan.
Sedangkan dia sekarang harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh club Jurnalistik, yaitu membuat cerpen. Setidaknya, tidak ada tugas yang menyenangkan selain ini.
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas."Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
"Dinda." Panggil Hina, temannya yang baru saja datang.Dia menutup buku yang dibacanya, lalu menoleh ke arah temannya. "Lo lama banget! Gua lumutan nungguin lo dibawah pohon gini!""Ya, maap. Gua kan ngikutin dosen gua yang keluarnya ngaret." Jawab Hina, lalu duduk disamping Dinda. Dia melihat buku yang dibaca temannya itu, "Apa ini?""Lo gak tau? Ini namanya buku!"Hina menatap Dinda, "Iya gua tau. Maksudnya, ini buku apa?!""Buku novel." Tunjuknya."Emang pengen banget gua timpuk pake batu, ya. muka lo!" Kesal Hina."Novel Bumi Manusia. Karya Pramoedya Ananta Toer." Jawab Dinda akhirnya, senang sekali dia bisa menggoda temannya itu."Eh, selera lo unik ya?" Hina menatap kelangit, lalu tersenyum. "Biasanya anak remaja kaya kita, lebih suka novel romance yang ringan."Dinda menjawab. "Iya, gua kan, Makhluk langka yang perlu di museum kan.""Gak! Ayo, mending gua bawa lo langsung ke Ragunan. Biar terus
Brakk ... Suara gebrakan meja, membuat sebagian mahasiswa terkejut. "Kalian becanda sama saya!" Marah Bu Dosen, wajahnya bahkan terlihat sangat merah, karena terlalu kesal."Dari semua pertanyaan yang saya beri pada kalian satu-satu! Cuma Sana yang bisa jawab! Sebenernya kalian belajar bareng atau gak?!" Bu Dosen menunjuk-nunjuk anggota kelompok, yang sedang presentasi di depan sekarang.Satu kelas hening tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Bahkan orang yang tidur di belakang kelas dibangunkan oleh teman-teman mereka, karena takut menambah emosi dosennya.Rika akhirnya menjawab dengan percaya diri. "Kita udah diskusi kelompok Bu. Tapi Sana yang buat makalah, jadi dia yang lebih paham materi dari kita.""Huuu." Sorakan pelan dari beberapa anak terdengar. Rika belum sadar dengan ucapannya sendiri, jadi dia tetap tenang. Sedangkan Seren sudah menangis diam-diam karena kemarahan dosennya."Jadi bener! Cuma Sana yang kerja buat makalah! Dari tad
Klek ... pintu kamar Sana terbuka."San, Ini sisa lima makalahnya. Gua taro meja belajar lo, ya." Ucap Kak Dewa yang sudah memasuki kamarnya, di depan meja belajar Sana."Hhmm ... makasih Kak Dewa." Dia saat ini sedang fokus pada komputernya. Lalu Kak Dewa berjalan mendekat padanya. "Tidur lo terlalu dikit. Jangan di biasain.""Lo udah tau kan, jawaban gua." Jawab Sana, menatap fokus pada komputer atau PC di depannya. Jari-jari tangannya tidak berhenti di atas keyboard.Dewa tersenyum, sambil menghela nafas. "Setidaknya, kalau berterima kasih bisa sedikit lebih manis dong. Gua juga cape, loh."Sana berhenti mengetik. Lalu dia menoleh pada Kak Dewa dengan tersenyum lebar. "Makasih Kak Dewa. Berkat Lo, pekerjaan gua jadi lebih ringan. Emang Lo kakak terbaik!" Ucap Sana ceria.Dewa menutup mulutnya. "Hahh ... gua terharu banget.""Hhmm ... Jangan lupa tutup pintunya." Ucap Sana kembali datar, kemudian dia kembali fokus pada komputer di d