Aku jelas tahu pendarahan ini sangat parah, kemungkinan kecil untuk bisa mempertahankan anakku. Jelas aku mendengar dokter bertanya dan ingin sekali menjawab, tapi bibir ku terasa kaki, kedua mataku terasa berat seakan enggan untuk dibuka. Dalam hati aku hanya bisa berdo'a meski mustahil sekali rasanya.
"Tolong selamatkan anakku. Tolong selamat keluargaku. Aku sangat mengkhawatirkan mereka." Sayup-sayup terdengar kembali percakapan dokter dan perawat. "Dok, suami pasien masih dalam perjalanan dari luar kota. Operasi belum bisa dipaksakan." "Keadaan pasien semakin kritis. Kita harus segera tindakan jika tidak akan membahayakan keduanya." Aku jelas tahu, Gama berbohong. Dia sedang tidak diluar kota. Tindakannya ini jelas untuk membunuhku dan anakku. Tentu dibandingkan segera datang ke rumah sakit, dia pasti lebih memilih menikmati acara pesta pernikahannya dengan Helena. "Biadap, aku membenci mu, Gama. Aku membenci mu, Helena." Semua terasa gelap, dan tiba-tiba aku tidak sadarkan diri kembali. Sepertinya masa hidupku didunia ini sudah habis. Aku harus meninggalkan dunia ini bersama bayi dalam perutku. "Maafkan ibu, nak. Ibu gagal membawamu melihat dunia ini." GELAP, SEMUA GELAP. Cuaca terasa panas. "Apakah aku masuk neraka?" perlahan aku membuka mata. "Ehh, Ini... Apa ini mimpi? Reinkarnasi? Keajaiban? Atau hanya ilusi?" Lemari kaca, kasur king size berwarna putih, foto jaman sekolah, aroma bunga lily. Aku langsung bangun dari tempat tidur, menatap sekeliling yang tampak tidak asing. Bukan ruang rumah sakit atau dunia setelah kematian. "Ini kamarku sebelum menikah dengan Gama." batinku sangat yakin. Segera aku berlari melihat kalender di meja kerja. Aku menutup mulut seakan tidak percaya. "Ini dua tahun yang lalu, tepat dihari orang tua Gama datang ke rumah. Berniat mengajukan perjodohan denganku." Tahun saat semuanya belum dimulai. Saat ia belum mengenal rasanya di khianati dan kehilangan. Aku segera menepuk wajahku. "Apa ini mimpi? Reinkarnasi? Keajaiban? Atau hanya ilusi?" Tapi ini terasa sakit dan memang nyata. Kuraba perutku masih rata dan tidak ada rasa sakit. Aku menangis dan bernapas penuh kelegaan. Bak diberi kesempatan kedua, aku tahu hidup tidak boleh di ulang dengan cara yang sama. Tapi apakah takdir bisa di ubah? ataukah luka lama tetap mencari jalannya? Persetan dengan itu, yang jelas dia tidak mau mengalami apa yang sudah terjadi sebelumnya. Kali ini dia akan membuat cerita baru agar bisa hidup lebih baik lagi. "Gama, Helena. Kali ini tidak akan aku biarkan kalian bahagia diatas penderitaan ku. Lihat saja, akan aku buat kalian sengsara karena di kisah sebelumnya sudah berani mengkhianati aku." Didepan cermin sembari menatap wajahku yang masih nampak kencang dan terawat, aku berjanji untuk hidup dengan mata terbuka. Tidak ada lagi rasa bekas kasih kepada mereka yang berani mengibarkan bendera perang. Aku baru sadar, dulu setelah menjadi istri Gama wajah ini mulai menua akibat kurang perawatan. Helena selalu membuatnya sibuk dengan pekerjaan kantor. Wanita itu tidak membiarkan dirinya duduk santai menikmati waktu luang. "Pantas saja Gama begitu mencintai Helena, ternyata karena Helena pintar merawat diri dan membuatku tampak tidak menarik di mata bajingan itu." Kebencian dihatiku mendadak bak api menyala. Selama ini ia tertipu dengan sikap sok baik dan polos Helena. Jika tidak salah ingat di kehidupan sebelumnya, saat orang tua Gama datang, Helena sudah lebih dulu menyapa mereka. Berharap orang tua Gama melirik dirinya menjadi menantu mereka. Namun karena Helena statusnya disini hanya keponakan dari pihak ibu, tidak memiliki kekuatan apapun untuk mendukung orang tua Gama mengembangkan usaha, tentu Helena hanya dipandang sebelah mata. Target orang tua Gama adalah dirinya. Pewaris utama Perusahaan Mahesa. Perusahaan milik mendiang kakek dari pihak ayahnya. Sedangkan dari pihak ibu, hanya mendapatkan perusahaan kecil yang kini sedang dalam tahap pengembangan oleh kakaknya. Dan jika sama seperti kehidupan sebelumnya, perusahaan tersebut akan berkembang satu tahun dari sekarang. Aku harus membuat orang tua Gama tidak memiliki kesempatan untuk menjadikan ku calon menantu mereka. Helena, dia yang pantas menjadi istri Gama. Masih ada satu jam lagi untuk Gama dan orang tuanya tiba dirumah ini. Dirinya harus bersiap lebih dulu, memikirkan rencana apa yang harus digunakan dalam misi pertamanya ini. ................ Aruna melihat Gama dan orang tuanya sudah tiba dan benar saja Helena sudah lebih dulu menyambut kedatangan mereka. Wanita itu bersikap bak nona muda keluarga ini. "Kata Gama, sedari awal yang dia cintai itu Helena kan? Berarti bisa jadi cinta pandang pertama tumbuh dihari ini. Hari dimana awal pertemuan keduanya. Atau sebelumnya mereka pernah bertemu?" batin Aruna mencoba menerka-nerka. Tok tok tok... Aruna langsung menoleh ke sumber suara. Itu pasti Kak Luz yang mengetuk pintu kamarnya. Kakak iparnya pasti diminta sang ayah untuk memanggil dirinya turun ke bawah. Dimasa lalu, Aruna begitu girang karena Gama datang bersama orang tuanya. Setelah tahu maksud kedatangan mereka, dirinya sendiri langsung menawarkan diri menjadi calon istri Gama. Sungguh dulu dia bodoh sekali. Tidak mencari tahu dulu bagaimana sifat Gama dan orang tuanya. Meski Gama adalah cinta pertama Aruna. Kali ini dia tidak akan mengulang kisah yang sama. Aruna sudah tahu jelas bagaimana sikap pria itu. "Aruna, apakah kamu di dalam? Ayah memanggilmu untuk turun." kembali terdengar suara ketukan disertai panggilan. "Iya kak, sebentar aku baru saja bersiap." Memastikan penampilannya sudah rapi, Aruna segera bergegas membukakan pintu kamarnya. "Maaf kak, tadi aku masih bersiap. Ayo turun, ayah memanggilku kan?" ujarnya dengan senyum ramah. Luz menatap aneh dirinya. "Kamu sakit?" tanya Luz sambil memegang kening adik iparnya. "Suhu normal lalu kenapa anak itu terlihat begitu santai ya?" ujar Luz keheranan. "Aku baik-baik saja kak. Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Aruna. "Gama dan orang tuanya sudah datang. Kamu tidak berlari untuk segera menemui mereka?" ujar Luz bersiap melihat ekspresi heboh Aruna. Namun dia kembali heran melihat Aruna masih tetap berdiri di depannya. "Kakak berharap aku bergegas lari turun kebawah, menyalami orang tua Gama dan menyapa Gama dengan genit? Begitu?' tanya Aruna dan langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Luz. "Sudah ada Helena yang menyambut kedatangan mereka. Jadi aku tidak perlu repot berlari menyapa mereka." "Kamu benar Aruna kan?" tanya Luz kembali seakan masih tidak percaya. "Iya, aku Aruna. Tapi dengan versi baru. Lebih tenang agar dapat menguasai permainan." jawab Aruna. "Sudah ayo jangan terus menatapku seakan aku ini orang asing." Aruna menggandeng Luz dan berjalan turun ke bawah. Luz masih syok melihat perubahan sikap adik iparnya. "Mana tatapan kecintaan mu pada Gama? Ketinggalan di alam mimpi?' bisik Luz saat mereka sudah sampai di bawah. Terlihat Tante Lisa sudah menanti dirinya. "Iya ketinggalan di alam mimpi. Jadi sekarang tidak ada lagi tatapan kecintaan terhadap Gama." Aruna menjawab dengan tenang. Dan menjawab dengan penuh kejujuran. "Tatapan penuh cinta itu sudah hancur dan ku tinggalkan dikehidupan sebelumnya. Anggap saja sebuah mimpi, semua hal baik yang pernah aku lakukan pada Gama sudah aku tinggalkan disana.""Om Dean, apa kabar?" Aruna mendatangi kamar adik bungsu ibunya. Tubuh yang dulunya berisi kini kurus hingga bagian tangan terlihat bentuk tulangnya. "Ru, maaf ya Helena selalu merepotkan kamu." Meski membelakangi Aruna, ternyata Om Dean masih mengenali suara keponakannya. Aruna segera mendekatinya. Posisi Om Dean duduk di kursi roda menghadap jendela. "Om harus sehat, maaf Aruna sudah tidak bisa menjaga Helena lagi." Om Dean menoleh. Wajah tampan pria itu sudah benar-benar tidak dikenali lagi, kusam, keriput. Lebih terlihat muda ayahnya dibanding Om Dean meski usia ayahnya jauh lebih tua. "Om rindu ibumu, Ru. Mungkin sudah saatnya kami bertemu." katanya membuat Aruna berjongkok menggenggam tangan Om Dean. "Semua rindu ibuku, Om. Tapi Helena butuh, Om Dean." Jujur saja Aruna sedih melihat keadaan omnya seperti ini. Jika bukan karena kakek dan neneknya yang sangat peduli, mungkin hidup Om Dean sudah terlantar dijalanan. "Biarkan dia hidup sesukanya. Om sudah tidak sanggup menang
Helena pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dia naik ojek online dan wajahnya ditutupi masker serta kacamata hitam."Ini bener rumahnya, neng?" tanya tukang ojek itu memastikan. "Iya Pak, ini uangnya." Helena menjawab sambil membayar. Dia melihat sekeliling, tidak ada siapapun. Merasa aman, segera dia membuka gerbang namun sepertinya terkunci dari dalam. "Tumben jam segini udah di kunci?" Ujarnya dengan kesal. "Pak Naryo, Pak Naryoooo, buka gerbangnya." Teriak Helena sambil memukul gerbang. "Cepetan pak, saya mau masuk. Pak Naryo lagi apa sih kok lama banget?" Ujarnya dengan kesal. Tidak lama, terdengar suara gebang dibuka. Helena merasa lega dan bersiap masuk. Namun tangan seseorang bergegas menghalanginya. "Kak Aruna, kenapa gerbang ditutup lagi?" Helena melihat Pak Naryo, satpam rumah, tidak keluar sendiri. Melainkan ada Aruna dan Kak Luz. Juga membawa 2 buah koper ukuran besar yang Helena kenali sebagai miliknya. "Kenapa koper ku dikeluarkan?" tanya Helena ke
Telepon di meja terus berdering saat aku sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan. Sejak pagi tadi, ayah meminta bantuan padaku untuk melakukan pemeriksaan atas data penjualan produk beberapa bulan terakhir. Disinilah aku duduk sembari membuka tumpukan dokumen ditemani Vidi, salah satu karyawan kepercayaan ayah yang ditempatkan di divisi keuangan. "Nona Aru, maaf apa tidak sebaiknya diangkat dulu. Takutnya penting." Mungkin karena terganggu dengan dering telepon yang tak kunjung berhenti, Vidi menyarankannya itu. Aku menghentikan aktivitas ku sejenak. Melihat nama yang tertera di layar. "Helena... " batinku terasa bahagia. Dia pasti sedang dilanda kebingungan dengan berita pagi ini. Sebuah hadiah yang sudah aku persiapan sebelumnya, khusus untuk dirinya. Ku ambil telepon, bukan berniat untuk mengangkatnya namun mengubah ke mode hening. Helena menelpon ku pasti untuk meminta bantuan. Enak saja, ini baru permulaan. "Tidak diangkat?" tanya Vidi. "Telepon tidak penting, Vid. Le
"Apa yang terjadi denganmu dan Gama? Bukankah kamu sangat menyukai Gama dan berharap bisa menikah dengannya? Tapi kenapa saat orang tua Gama menawarkan sebuah pernikahan kamu malah menolaknya?"Ayah mengajakku bicara empat mata setelah Gama dan orang tuanya pulang. Mereka pergi dengan kekecewaan, karena aku terus menolak dengan tegas tawaran pernikahan yang mereka berikan.Gama sempat mengajakku bicara berdua juga aku tolak. Aku belum siap bicara berdua dengannya, takut lepas kendali dan malah menghajarnya.Dan Helena, dia langsung pergi ke kamarnya setelah Tante Lisa mengatakan tidak mau Gama menikah dengannya."Helena, kamu memang cantik. Tapi cantik saja tidak cukup untuk jadi istri Gama. Tante jelas tahu layar belakang mu seperti apa. Jadi maaf sekali, kamu tidak cocok dengan Gama."Helena tidak menjawab apapun, dia meletakkan nampak berisi minum di meja lalu pergi begitu saja."Jawab Aruna. Kenapa diam saja?" tanya ayah membuyarkan lamunanku."Ekhmmm,,," aku mengatur napas dan me
Aku menyapa ramah kedua orang tua Gama, mengalami mereka sebagai bentuk rasa hormat. Tante Lisa langsung menarik ku agar duduk disampingnya, ini jelas adegan yang sama seperti di kehidupan sebelumnya."Kamu kenapa ga pernah main ke rumah tante lagi? Apa lagi berantem sama Gama?" tanya Tante Lisa.Aku tersenyum samar, menggenggam tangan wanita ini. "Maaf tante, aku lagi bantuin ayah di perusahaan. Kak Rei sudah fokus dengan perusahaannya sendiri, sedangkan Kak Luz juga harus mengurus Mecca yang tahun ini bersiap masuk sekolah dasar. Jadi, mungkin kedepan aku akan jarang mengunjungi rumah tante."Wajah Tante Lisa terlihat kecewa mendengarnya. "Oh begitu, padahal tante senang kalo kamu main ke rumah. Jadi rame rumah. Iya kan, pa?" kata Tante Lisa pada suaminya, Om Gandi."Iya nih, rumah sepi kalo kamu ga main. Kayaknya emang kita butuh cucu, ma. Biar rumah bisa ramai. Tapi Gama belum nemu calonnya nih."Jawaban Om Gandi jelas sebuah kode yang ditujukan untukku. Mereka pasti mengira setel
Aku jelas tahu pendarahan ini sangat parah, kemungkinan kecil untuk bisa mempertahankan anakku. Jelas aku mendengar dokter bertanya dan ingin sekali menjawab, tapi bibir ku terasa kaki, kedua mataku terasa berat seakan enggan untuk dibuka. Dalam hati aku hanya bisa berdo'a meski mustahil sekali rasanya."Tolong selamatkan anakku. Tolong selamat keluargaku. Aku sangat mengkhawatirkan mereka."Sayup-sayup terdengar kembali percakapan dokter dan perawat."Dok, suami pasien masih dalam perjalanan dari luar kota. Operasi belum bisa dipaksakan.""Keadaan pasien semakin kritis. Kita harus segera tindakan jika tidak akan membahayakan keduanya."Aku jelas tahu, Gama berbohong. Dia sedang tidak diluar kota. Tindakannya ini jelas untuk membunuhku dan anakku. Tentu dibandingkan segera datang ke rumah sakit, dia pasti lebih memilih menikmati acara pesta pernikahannya dengan Helena."Biadap, aku membenci mu, Gama. Aku membenci mu, Helena."Semua terasa gelap, dan tiba-tiba aku tidak sadarkan diri k