Share

Kontrak Naik Level 2

Pria yang memiliki darah Jerman dari almarhum ibunya itu sedang gusar. Kondisi hatinya terus memburuk setelah keputusan rapat tadi siang. Tampaknya 2 botol Jhonnie Walker yang punya kisaran harga 5-10 juta per botolnya itu belum mampu membuat perasaanya membaik.

Ting!

Sudut gelasnya berdenting setelah dijentik menggunakan jari. Mulutnya terus mendecap tengah meresapi rasa lembut dari minuman yang kaya akan aroma buah dan rempah-rempah di tangannya.

“Sie mussen die dinge tun von denen sie glauben, dass sie sie nicht tun konne.”

Kutipan yang sangat dia sukai. Artinya kurang lebih untuk lebih semangat dalam menyelesaikan semua masalah.

“Haaah!” Tubuhnya merosot turun dan langsung mengambil posisi berselenjor di atas sofa. Gelas di tangannya dilepaskan begitu saja. Alkohol mungkin belum mampu membuat mood-nya baik tetapi paling tidak dia bisa tertidur nyenyak selama beberapa waktu ke depan.

Sementara itu Marina di dalam kamarnya, maksudnya kamar tamu di rumah Marco, tampaknya menghadapi kegelisahan yang sama. Semenjak pulang dari rapat di kantor Marco, dia pilih untuk mengurung diri. Semua kebutuhannya secara room services oleh para pelayan di rumah ini.

“Kenapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar? Apakah hidupku dikutuk?” Perasaan seperti itu kerap kali muncul setiap ada masalah. Dulu papa dan mamanya meninggal tepat di depan matanya. Sejak hari itu, hidupnya terus dihantui oleh rasa takut. Lalu muncul anggapan bahwa dia adalah anak pembawa sial. Budenya yang memberi julukan itu.

Semakin dia tertekan, keyakinannya bahwa hidupnya adalah petaka juga makin besar.

“Menikah dengan pria sepertinya ... aku benar membuat neraka untuk diri sendiri.”

Setelah puas menyesali takdir hidupnya itu, Marina meraih handphone yang sedang di cas dekat ranjang. Dia tak mungkin hanya berdiam diri. Bila enggan menikah dengan Marco maka jalan keluarnya adalah bertemu dengan Nathan dan merebut kembali sertifikat rumahnya. Karena titik awal persoalannya ada di sana.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif ...”

Dia belum menyerah. Coba dengan kirim pesan. Namun rasa optimismenya itu langsung hancur berantakan setelah tahu pesannya sampai kapan pun tidak akan pernah terkirim lagi. Nathan tak akan pernah bisa dihubungi lagi selamanya.

“Nyonya, Marina!”

Sebelum benda tak bersalah itu melayang ke lantai, suara salah satu pelayan terdengar dari balik pintu. Marina lekas berdiri dan membuka pintu.

“Maaf kalau menganggu, tapi nyonya ditunggu di ruang makan oleh tuan besar.”

“Baik.” Sadar posisinya di rumah ini, Marina tak akan banyak tingkah. Kalau Marco menintanya datang, dia akan datang dengan cepat. Hanya malas berurusan dengan pria itu, alasannya.

Namun, dia salah mengira kalau yang memanggilnya adalah Marco. Dia kurang awas saat pelayan mengatakan ‘tuan besar’ bukannya ‘tuan muda’. Sebab kata tersebut merujuk pada dua sejoli yang doyan travelling meski usia mereka tidak muda lagi.

“Ah calon menantuku ... eh sebutan untuk calon istri dari cucu itu apa yah?” Setelah berdiri menyambut Marina, dia berpaling menatap suaminya menunggu jawaban pertanyaannya tadi.

“Cucu mantu, sayang,” jawab pria yang semua kepalanya dipenuhi uban sambil menyendok semacam sup dari mangkuk di depannya.

“Sudah kubilang jangan makan itu. Mau kolesterolmu kambuh lagi?” Tangan si wanita langsung menepis tangan sang suami dengan mata melotot. “Aki-aki kepala batu! Para pelayan tak becus, berapa kali kubilang jangan masak sup pakai kepiting!”

Marina diangguri dan dia sibuk mengomeli para pelayan. “Kalian bangunkan anak bandel itu di kamarnya. Sana, buruan!” Kemudian berteriak menyuruh pelayan naik ke atas.

“Sayangku, my baby bala-bala. Jangan marah-marah yah. Jangan sampai perawatan mahalmu jadi percuma. Atau mau tengkukmu sakit lagi?” Bila si istri selalu menegur pakai tenaga dalam, sebaliknya sang suami menegur dengan kata-kata yang halus.

Marina sejak tadi hanya sebagai penonton. Dia orang baru, tak bisa banyak bicara dan tak tahu juga harus bicara apa.

“Astaga!” seru nenek Marco tiba-tiba. “Kami terlalu asyik sampai mengabaikan gadis cantik ini. Sini-sini, nak. Mendekatlah.”

Dengan langkah ragu-ragu, Marina mendekati meja makan. Duduk di salah kursi kosong di depan kakek dan nenek Marco yang menyambutnya hangat. Tak lama setelah dia duduk, Marco berjalan turun.

“Anak ini.” Melihat dandanan acak-acakan cucunya, sebagai nenek yang perhatian tentu akan langsung menegur. “Kami minum lagi?” Aroma pekat alkohol melekat di pakaiannya.

“Kali ini berapa botol?” Kakeknya langsung menyambar. “Di bawah satu, kamu kakek anggap lemah.”

Dua jari Marco terangkat. “Jhonnie Walker,” ujarnya bangga.

Kakeknya menepuk meja. “Itu baru cucu kakek. Bravo bravo!”

“Bravo, bandotan!” Nenek Marco melayangkan tamparan ke tangan suaminya yang tengah mengacungkan jempol. “Hentikan kebiasaan burukmu itu Marco kalau tidak mau asam urat, darah tinggi, kolesterol menggerogotimu saat tua nanti.”

Kakek Marco langsung manyun.

“Itulah yang membedakan Marco dengan kakek. Dulu waktu muda kakek jarang olahraga makanya pas tua seluruh penyakit berkumpul di tubuhnya.” Marco malah menambah keruh suasana.

“Kalau dipikir-pikir iya juga sih,” ujar neneknya membenarkan.

“Enak saja! Aku olahraga juga kok dulu,” tepis kakeknya. “Buktinya masih ada kok sampai sekarang.” Sekarang dia berdiri kemudian menyingkap lengan sweaternya ingin menunjukkan otot-otot lengannya. Namun, sebelum pertunjukkan itu dimulai istrinya lebih dulu menghentikan.

“Jangan berlebihan, pak tua. Ingat pinggangmu.”

Tawa pun pecah dalam ruangan itu. Marina ikut tertawa meski masih malu-malu.

“Udah Marco, duduk sana kita makan malam sama-sama,” perintah neneknya.

Marco mengangguk, dia berjalan ke arah Marina. “Hai, sayang.” Tak hanya panggilan mesra, dia pun melakukan sesuatu yang cukup mengejutkan. Sebuah kecupan mendarat tanpa disangka-sangka ke atas kening Marina. “Terpaksa,” bisiknya.

Mau terpaksa atau tidak, semua itu tetap membuat wajah Marina memerah disertai debar jantung yang tak beraturan.

“Kamu ngak apa-apa, Marina? Mukamu merah sekali.”

“Eh?” Marina kaget. Siapa sangka neneknya Marco menyadari perubahannya tersebut.

“Jangan-jangan dia alergi, sayang.”

“Kubilang juga apa, pelayan-pelayan di rumah ini ingin dipecat rupanya.”

Marina langsung menyangkal. Alergi apanya, menyentuh makanan saja belum. Marco yang tahu alasan mengapa Marina berubah, tersenyum smirk di sebelahnya.

Akhrinya setelah berhasil mengembalikan kekondusifan suasana, acara makan malam itu pun dimulai.

“Bagaimana persiapan kalian untuk menikah minggu depan?” Sepertinya neneknya Marco akan selalu membuat kejutan-kejutan baru dalam hidup Marina. “Dekor, katering, venue, gaun pengantin akan nenek urus mulai besok.”

“Jangan kamu yang urus, sayang. Kan yang menikah mereka berdua.”

“Tenang saja, sayang. Urusan tema biar mereka yang menentukan. Aku hanya bantu mengumpulkan sebanyak mungkin.”

Kakek Marco berusaha paham tujuan istrinya.

“Jadi Marco, Marina, bagaimana? Marina kamu suka baju pengantin kayak gimana? Mungkin ada referensi?”

“Kain kafan,” jawab Marina dalam hati. Pernikahan ini seperti upacara kematian untuknya.

“Nak Marina?” Nenek Marco penasaran dengan reaksi diam Marina. “Kalian berdua tidak sedang bertengkar ‘kan? Marco?” Sasarannya kini kepada sang cucu. Ditatap sama seperti Marina menatapnya.

Akhirnya Marco meletakkan sendok dan garpunya. Diangkat gelas minum di dekatnya kemudian meneguknya sedikit. “Soal rencana pernikahan kami sepenuhnya nenek dan kakek yang urus. Marco dan Marina tinggal fitting saja.”

Pupil mata Marina membesar, bukan itu jawaban yang dia inginkan. Dia berharap Marco menjelaskan kalau pernikahan harus dibatalkan.

“Nice idea!” Usul Marco langsung di acc oleh nenek dan kakeknya.

Setelah acara makan malam selesai, kakek dan nenek Marco masuk ke dalam kamar sedangkan Marina langsung menarik tangan Marco untuk bicara di luar.

“Apa-apaan ini? Bukannya tugasku sudah selesai tadi siang?”

“Perusahaan itu belum jatuh ke tanganku. Berarti belum selesai.”

“Kamu sendiri tidak menepati janjimu menemukan Nathan.”

“Bukan tidak, tapi belum. Mengapa susah sekali untukmu mengerti sih?”

Marina terdiam sejenak begitu melihat Marco mulai mengotot.

“Aku punya rencana untuk menaikkan kontrak kita.”

“Kontrak? Kontrak apa yang kalian maksud Marco, Marina?” Ada suara yang langsung menyahuti Marco.

Sial buat mereka berdua, karena yang menguping adalah nenek Marco.

“Kalian tidak sedang mempermainkan kami, bukan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status