“Kenapa kita ke rumah sakit? Nathan sakit? Dia sakit apa?”Pengkhianatan Nathan memang menyakiti perasaan Marina. Namun, rasa cinta itu tetap ada. Marina mencintainya tulus. Nathan harusnya bersyukur untuk hal ini, bukannya malah berkhianat.Marco melirik, dia pilih tetap diam. Memikirkan bahwa Marina akan heboh, jejeritan di depan rumah sakit, mereka akan jadi bahan tontonan, lebih baik di depan kamar mayat saja baru dijelaskan. Kalau pun nanti dia teriak-teriak, tak akan ada yang bakal terganggu kecuali mayat-mayat itu bisa hidup lagi.“Nathan sakit?” Merasa dianggurin, jaket Marco dia tarik-tarik. “Dia sakit apa, Marco?” Menatap pemilik mata kacang kastanye itu penuh harap. “Puhh!” Makin tak tega menyembunyikannya lama-lama. Satu jari telunjuknya terarah pada tulisan ruangan ‘Kamar Mayat’ di depan pintu.Begitu Marina mengikuti petunjuk Marco, seluruh tubuhnya seketika bergetar hebat. Matanya diselimuti kaca bening yang tak butuh waktu lama untuk pecah dan mengalirkan rasa
“Kematian pria itu tidak wajar. Harus kita selediki.”“Tetapi, dia ‘kan musuh bos, kenapa sampai segitunya diselidiki? Bisa dibiarkan saja, malah justru bagus dendam bos terbalaskan tanpa perlu mengotori tangan sendiri.”Apa yang dikatakan oleh anak buah Marco, memang benar. Namun itu sebelum dia tahu kalau Nathan adalah salah satu dari permintaan Marina. Terikat kontrak, terpaksa dia harus mengusutnya sampai tuntas.“Lakukan saja apa permintaanku. Selanjutnya biar aku yang urus sisanya. Jangan lupa cari tahu juga tentang asal-usul pria itu.”Pemimpin, salah satu anak buahnya yang dipercayakan berkomunikasi langsung dengan Marco, mengangguk paham. Berputar 180 derajat, meninggalkan Barkley. Setelah anak buahnya pergi, Marco menghubungi sekretarisnya lewat telepon pesawat.“Iya ada apa, pak?” Berselang beberapa menit, sebuah kepala terjulur di balik pintu ruangan kerja Marco. Seorang wanita berpakaian rapi masuk dan membawa beberapa map berwarna. Jalannya sedikit lambat, selain
“Aduh, harusnya tadi aku tuh naik ojek. Ah ... ternyata minimarketnya jauh. Mana perut masih sakit lagi.”Gadis cantik bergaun cokelat motif bunga-bunga itu, berjalan di trotoar sambil memperhatikan maps mencari lokasi keberadaan minimarket terdekat dari rumah. Meski kesusahan ―karena wanita memang sulit bila berhubungan dengan arah― akhirnya dia sampai juga. Paling yang gempor cuman betisnya saja.Dia berniat membeli beberapa pembalut, sebab berdasarkan perhitungan tanggal dan rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang, sebentar lagi dia akan kedatangan tamu bulanan. Sebagai tamu di rumah Marco, tidak lah mungkin Marco menyiapkan hal-hal seperti itu. Siapa pula yang mau pakai, Marco? Neneknya? Para maid yang rata-rata sudah berumur?Maka dengan inisiatif sendiri Marina pergi membeli keperluannya di minimarket. Dia membeli satu merek yang biasa dipakai setelah itu ke kasir untuk membayar. Pada rak di dekat meja kasir, ada banyak roti dengan berbagai merek. “Sepuluh ribu satu kak
Setelah Marina pingsan, tubuhnya langsung diangkat masuk ke dalam sebuah van yang telah menunggu di ujung gang. Satu dari tiga pria bertopeng itu sebelum masuk ke dalam mobil, menghampiri si nenek tadi.“Ambil ini!” Dia menyerahkan beberapa lembar uang lalu memberi kode seperti mengunci mulut. Harga untuk keberhasilannya memancing Marina ke sarang penyamun.Nenek itu menerimanya dengan hati penuh rasa bersalah. Apalagi saat melihat tiga bungkus roti dalam buntalan kainnya, rasa bersalah itu makin menjadi-jadi. Hanya bisa berdoa dalam hati agar Marina segera dapat pertolongan. Karena sebenarnya dia terpaksa melakukan perbuatan kejam tersebut. Cucunya butuh uang untuk berobat ke rumah sakit.Mobil van melaju meninggalkan gang sempit, masuk ke jalan besar, selap-selip di antara kendaaran lain. Dalam kecepatan 100 km/ jam, hitungan menit saja para penculik telah meninggalkan jalanan ibukota. Masuk ke jalan berbatu sedikit becek sebab hujan semalam. Begitu mulai memasuki kawasan di
“Dari mana aja sih, Reza?”Reza, yang baru kembali dari rumah Marco langsung disambut tanya dari sang mama.“Dari kantor kak Marco.” Dia menyembunyikan satu bagian cerita, tentang singgah ke rumah kakak tirinya demi menyelamatkan Marina.“Lama amat. Jangan sering-sering kelayapan.”“Iya, ma.” Reza mengangguk patuh. Dia memang anak yang penurut. Harus tunduk apa perintah mama. Makanya tak salah Marco menyematkan julukan mama-boys untuknya. “Jadi gimana ma, si Marina udah diamanin?” Mesti pakai bahasa eksplisit agar mamanya tak menaruh curiga sama sekali.Mamanya menjentikkan jari. “Off course.”Muka Reza panik. “Di tempat yang biasa kan, ma?”Mata mamanya menyipit. “Kenapa kamu tanya-tanya begitu?”“Ah ngak kok, ma. Cumanya nanya aja.” Dia memasang ekspresi tenang, seakan tak ada apa-apa. Mata mamanya memicing lagi, tampak masih belum yakin. “Kakak ke mana?” Akhirnya dia mengalihkan perhatian dengan membahas sang kakak yang belum kelihatan batang hidungnya sedari pagi.“Ada
Dunia Marina telah runtuh hari itu.Kertas putih di tangannya terhempas turun. Surat Pemutusan Hubungan Kerja, begitu yang tertulis di kop surat. Perusahaan garmen tempatnya bekerja terancam bangkrut hingga melakukan pengurangan karyawanya secara besar-besaran. Bahu Marina naik turun meratapi nasib. “Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan sekarang?” Dia tafakur cukup lama di trotoar jalan, tak peduli orang-orang akan memandangnya aneh. Ponsel di tas selempangnya berdering. Kesedihannya seketika sirna, matanya berbinar begitu melihat nama yang tertera di layar. “Halo, sayang. Kamu ke mana aja selama seminggu ini kok ngak ngehubungin aku? Aku kangen loh. Tahu ngak, hari ini tuh aku rasanya capek banget. Tempat kerjaku lagi pengurangan karyawan, aku yang rajin malah kena imbasnya.” Marina memberondong seseorang di seberang telepon itu, seakan tak tersedia kesempatan lagi untuknya bicara setelah ini.Nyatanya memang benar begitu.[“Maafkan aku, Marina. Tetapi kita enggak bisa bersa
Tuk! Sebuah map berwarna merah mendarat mulus ke atas meja tepat di depan Marina. “Itu kontrak,” jawab pria berjas hitam, sebelum Marina sempat bertanya apa isi map merah itu. “Kontrak apa?” tanyanya bingung. Bahkan ketika dia bangun pagi ini, rasanya semua membingungkan. “Kontrak penyelamat,” ujarnya cepat. “Bisa dibilang begitu. Karena ini akan menyelamatkanmu dan juga menyelamatkanku.” Marina tercenung. Sampul map merah itu ditatapnya lama. Mendengar kata menyelamatkan pikirannya langsung tertuju pada masalah yang sedang dihadapinya. Tetapi tunggu! Dia ‘kan belum menceritakan masalahnya pada pria berjas hitam itu. Sontak Marina mengangkat kepalanya. “Aku tahu kamu pasti punya masalah. Kalau tidak mana mungkin kamu coba bunuh diri dengan berusaha menabrakkan diri ke depan mobilku, ya ‘kan?” tembaknya langsung. Kepala Marina menggeleng cepat. “Bukan begitu kejadiannya.” Dia sampai tercekat ludahnya sendiri. “Sebenarnya tadi malam itu ...” “Oh iya aku lupa sesuatu,” potong
Malam sebelum kontrak penyelamat diajukan. “Pokoknya kakek mau kamu yang mewarisi harta keluarga kita. Kamu cucuku, Marco. Kamulah sang penerus.”Pria berwajah blasteran Jerman tersebut hanya bisa mengusap wajah. Dia mau bahkan sangat mau menjadi ahli waris. Namun, yang membuatnya tak mudah adalah syarat untuk mendapatkan hak tersebut. “Jangan merengut begitu, Marco. Turuti saja apa kata kakek. Lusa begitu kakek dan nenek pulang, rapat pemegang saham dilakukan dan kamu sudah harus siap.”Pria itu mengangguk malas. Pembicaraan ini bukan yang pertama. Kakeknya, meskipun berada di luar negeri masih menyempatkan waktu menghubungi secara teleconference hanya untuk memperingatkan dirinya.“Ngangguk-ngangguk aja bisamu. Cari pacar sana! Masakan dengan wajah tampanmu tidak ada satu pun wanita yang tertarik?”“Siapa yang bilang?” ujarnya tak terima. “Yang mau ke Marco itu banyak. Bejibun. Akunya aja yang belum mau. Lagi pula Marco masih muda, masih waktunya senang-senang.”Pria paruh