Share

Kontrak Naik Level

[“Kami sudah berhasil menemukannya, bos!”]

Marco berdeham sebagai jawaban, ia tak perlu menjawab panjang lebar anak buahnya langsung paham arti dehaman tersebut.

“Sekarang kita ke rumah dan obati kakimu.” Di kaki mulus Marina terdapat banyak baret yang mengeluarkan darah segar. “Kamu jadi abai sama diri sendiri demi pria sepertinya. Sungguh sangat disayangkan, Marina.”

Kepala Marina terangkat dan menatap sinis ke arah Marco. Bukannya, marah atau takut, pria yang berdandan kasual itu justru memasang seringai mengejek. Makin manyunlah bibir Marina.

Tiba di rumah, Marco mengajak masuk. Lekas memanggil para maid untuk mengambilkan kotak P3K.

“Biar aku sendiri aja yang obati.”

Marco mendesis. “Jangan banyak protes, jarang-jarang aku mau berbaik hati seperti ini.” Marina tetap disuruh berselenjor di sofa lalu pahanya dijadikan sebagai pengganjal kaki wanita itu.

“Aku bisa sendiri kok,” ketus Marina.

“Bisa diam ngak sih? Aku lagi fokus nih.” Marco tak kalah ketus. “Salah yah kalau sesama manusia saling tolong menolong? Lagi pula di sini kita punya kontrak jadi kurasa wajar.” Kepalanya yang tadi tertunduk, terangkat dan balas menatap Marina beberapa detik. “Sudah.”

“Berarti kamu terpaksa melakukannya. Kamu baik karena aku memberikan keuntungan untukmu.”

“Kamu tidak berhak menilai ketulusan orang lain seperti itu, Marina. Aku kalau mau nolong yah nolong. Tapi kebetulan kita punya kerja sama, yah why not!”

Marina mengernyit sementara pria itu justru asyik menatapnya.

“Sekarang kamu istirahat aja di kamar. Biar aku yang nemuin mantanmu. Dan maaf untuk rencana kita yang batal, besok pagi sebelum ke kantor kita singgah berbelanja.” Selain tatapan mengintimidasi, satu hal lagi yang baru Marina sadari adalah ternyata Marco bisa menghipnotis orang lewat kata-kata. Dengan mudahnya ia menurut.

Setelah Marina masuk ke kamar, dia pun bersiap. “Oke, sekarang bagianmu beraksi Marco Anthonio!” Ia menyambar kunci mobil di atas nakas lalu berlari-lari kecil ke garasi. Dia akan kembali menyetir seorang diri. Supirnya yang sepuh tak bisa terus-menerus disuruh, hanya karena keloyalannyalah sampai Marco belum mau mengganti.

Dengan itu juga dia jadi lebih mudah berkendara dalam kecepatan tinggi. Tujuannya adalah pinggiran ibukota pada sebuah gudang tua yang terbengkalai.

Sementara itu, Marina di dalam kamar tak bisa memejamkan matanya sama sekali. Bolak-balik macam kipas angin sampai panas. Dalam kepalanya muncul berbagai kemungkinan dari yang paling mungkin hingga yang terburuk. Makin paniklah dia. Tubuhnya menegak lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamar.

Berkendara di atas kecepatan yang dinormalkan, Marco tiba pada tujuannya hanya dalam hitungan menit padahal biasanya harus melewati jam. Melihat Marco datang, para anak buahnya bergegas menyambut.

“Dia ada di dalam, bos.” Salah satu anak buahnya memberi laporan. “Dia licin seperti belut, hampir saja kami kehilangan jejak. Tapi dia mengaku tidak mencuri dokumen itu, bos.”

“Curi dokumen?” Langkah kaki Marco terhenti. “Yang kalian tangkap ini orang yang masuk ke kantorku atau mantan pacar Marina?” Dia baru ingat kalau dua hari sebelum bertemu Marina, kantornya sempat diobrak-abrik oleh orang suruhan saudara tirinya dan dia juga meminta anak buahnya menangkap orang tersebut.

“Marina itu siapa, bos?” Pria berbadan besar di depan Marco mendadak bingung. “Dia yang ke kantornya, bos. Yang perintah kedua, kami masih belum menemukan orangnya.” Sekarang mukanya kelihatan takut.

“Aku salah, rupanya.” Mau tak mau harus diakui. Padahal tadi dia sudah semangat sekali.

“Jadi gimana nih, bos? Kamu udah paksa dia ngaku, katanya dia ditugaskan untuk menyelinap ke kantor bos mengambil dokumen penting. Tapi sayangnya setelah menyelesaikan misi dia malah tidak dibayar.”

“CK! Aku tidak peduli. Habisi saja dia!” Sudah kesal karena salah mengira, dokumen yang dia cari pun tak ditemukan. “Soal dokumen biarkan saja dulu. Fokus kalian adalah mencari pria bernama Nathan. Cari orang yang punya utang di bank 300 juta dan menjadikan rumah seseorang bernama Marina sebagai jaminan.”

“Baik, bos.”

Karena tak ada lagi yang perlu dia lakukan di sana, Marco putuskan kembali ke rumah. Meskipun dia bimbang harus menjelaskan apa nanti di depan Marina. “Oh iya. Siapa nama laki-laki itu?”

“Jonatan, bos.”

Marco manggut-manggut. Lalu masuk mobil segera tancap gas dari sana. Selebihnya semua diserahkan ke tangan tukang pukulnya.

“Dia kembali.” Mendengar deru mobil masuk garasi, Marina yang sedang di ruang tamu langsung berlari keluar. Saking tak sabarnya, dia berinisiatif mendatangi Marco lebih dulu. “Kamu udah ketemu Nathan?” Kemudian mencecarnya dengan pertanyaan. Akan tetapi ketika dia celingak-celinguk ke dalam mobil, kok kosong?

Marco membuka pintu dan segera turun.

“Kamu berhasil nemuin dia ‘kan?” Marina masih berusaha untuk postif thingking. Sementara Marco malah diam seribu bahasa. “Kamu enggak berhasil yah?” tebaknya. Namun Marco masih tetap diam. Sadar dugaannya benar, seketika murung menguasai wajah Marina.

“Bukan tidak berhasil. Belum berhasil. Ternyata yang tadi anak buahku tangkap adalah pencuri dokumen berhargaku. Tetapi tenang saja mereka pasti akan menemukan Nathan secepatnya.”

Tulang kering kaki Marina langsung terasa seperti jelly. Dia hampir ambruk andaikata Marco tak gercep (gerak cepat) menangkap.

“Sudah kuduga. Tadi itu kesempatan terakhirku,” lirihnya. “Tidak apa-apa. Kamu tak usah bantu, biar aku sendiri yang nyelesain masalah ini.” Marina melepaskan tangan Marco yang melingkari di pinggangnya. Lalu berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan gundah-gulana.

Merasa malu telah gagal, Marco menyusul. Dia coba menyakinkan tetapi wanita itu malah menolaknya dengan masuk ke dalam kamar begitu saja. Mengunci diri di sana hingga pagi menjelang.

“Marina udah bangun, ‘bi?”

“Belum, tuan. Bentar, bibi coba bangunkan.”

Marco yang telah berpakaian rapi untuk rapat jam sembilan, menunggu di meja makan. Awalnya dia takut kalau gara-gara semalam, Marina malah membatalkan perjanjian mereka. Untung saja, Marina bukan orang seperti itu. Toh pikirnya, kontrak akan selesai setelah rapat selesai. Setelah itu mereka tidak akan bertemu lagi.

“Kamu jangan berpikir aku orang yang ingkar. Aku tetap akan mengabulkan keinginan pertama, kedua atau ketigamu sesuai kontrak kita.” Marco menatap wanita di kursi sebelahnya yang sejak sarapan, belanja pakaian di mall, sampai perjalanan menuju kantor, mendadak jadi pendiam.

“Selesaikan saja rapat hari ini dan setelah itu lepaskan aku. Tak perlu pikirkan permintaanku, biar masalahku biar aku urus sendiri.”

Jawaban tak terduga tersebut membuat Marco jengkel. “Kamu tidak percaya padaku?” Tak sadar dia malah meneriaki Marina. Rasa kesal tersebut sampai membuat badan mobil penyok.

Semua makin runyam setelah hasil rapat keluar dan mengharuskan status mereka lebih jauh dari sekadar pacaran (bohongan). Sebuah ikatan pernikahan yang sah di mata hukum.

“Kok jadi gini, kek? Kan janjinya waktu itu hanya pacar bukan istri. Tidak adil ah!”

“Bukan keinginan kakek, Marco. Kakek cuman mengikuti keputusan rapat. Kalau kamu tidak setuju, perusahaan bisa jatuh ke tangan saudaramu.”

Marco mendecak kesal.

“Sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Rapat kedua akan diadakan satu bulan lagi. Temukan dokumen penting itu dan menikahlah secepat mungkin.”

“Tetapi, kakek ... Nek tolong." Dia menatap neneknya berusaha mencari bantuan.

Sayangnya, sang nenek justru mengatakan sesuatu yang lebih mengejutkan. “Lebih cepat lebih baik. Bagaimana kalau minggu depan?”

“Minggu depan?” seru Marina dan Marco hampir bersaamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status