Dunia Marina telah runtuh hari itu.
Kertas putih di tangannya terhempas turun. Surat Pemutusan Hubungan Kerja, begitu yang tertulis di kop surat. Perusahaan garmen tempatnya bekerja terancam bangkrut hingga melakukan pengurangan karyawanya secara besar-besaran. Bahu Marina naik turun meratapi nasib. “Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan sekarang?” Dia tafakur cukup lama di trotoar jalan, tak peduli orang-orang akan memandangnya aneh. Ponsel di tas selempangnya berdering. Kesedihannya seketika sirna, matanya berbinar begitu melihat nama yang tertera di layar. “Halo, sayang. Kamu ke mana aja selama seminggu ini kok ngak ngehubungin aku? Aku kangen loh. Tahu ngak, hari ini tuh aku rasanya capek banget. Tempat kerjaku lagi pengurangan karyawan, aku yang rajin malah kena imbasnya.” Marina memberondong seseorang di seberang telepon itu, seakan tak tersedia kesempatan lagi untuknya bicara setelah ini. Nyatanya memang benar begitu. [“Maafkan aku, Marina. Tetapi kita enggak bisa bersama lagi. Kita putus.”] Ceklek! Sambungan telepon mati. Benar ‘kan tindakannya di awal untuk langsung mengeluarkan keluh kesahnya. “Nathan! Halo? Sayang?” Sayang sekali. Beberapa kalipun Marina coba menghubungi kekasihnya tersebut, tak akan ada yang tersambung karena nomornya telah dibokir sesaat setelah panggilan diputus. Belum habis perkara Nathan, ponsel Marina berbunyi lagi. Kali ini dari tetangga yang bilang kalau rumahnya diacak-acak orang tidak dikenal. Mengenyahkan sejenak permasalahannya dengan Nathan, Marina buru-buru pulang. “Apa yang kalian lakukan? Ini rumahku!” teriak Marina begitu sampai di rumah. Salah satu pria berbadan besar yang sedang membuang barang-barang dari dalam rumah, menoleh. “Oh ibu yang namanya Marina? Kami dari pihak bank Semesta. Rumah ini akan kami sita.” Bagai disambar petir tubuh Marina mematung di tempatnya. “Pak Nathan meminjam uang sebanyak 300 juta kepada kami dan menjadikan rumah ini sebagai jaminan.” “Omong kosong! Surat-surat rumah ini belum selesai di badan pertanahan. Mana mungkin Nathan tega melakukan itu, dia orang yang kucinta ....” Ucapan Marina terputus setelah pria tadi menyodorkan sebuah map yang setelah dibuka ternyata benar adalah sertifikat rumahnya. Tulang-tulang kaki Marina seketika berubah menjadi seperti jelly. “Na-na-than,” gugunya. Perasaan tak menyangka masih berputar-putar di kepalanya. “Apa ini alasanmu memutuskan hubungan kita?” Dia meratap dalam diam menyaksikan barang-barangnya dibuang, diangkat pergi pakai truk lalu rumahnya dipasangi kunci besar. “Kalau ibu bisa melunasi utang itu, rumah ini akan kami kembalikan.” Pria tadi masih sempat memberikan informasi yang bahkan orang bodoh sekalipun tahu. Utang dibayar maka rumah kembali. Sesederhana itu penyelesaian masalah Marina andaikata dia punya uang atau minimal punya pekerjaan. Marina menatap nanar ke arah rumah peninggalan orang tuanya. Bangunannya mungkin tidak luas, tidak seindah rumah-rumah tetangganya tetapi dia tumbuh besar di sana. Melihat kematian kedua tidak wajar orang tuanya pun di sana. Rumah itu tak sekadar bangunan biasa, kenangan di dalamnya begitu melekat di hati. “Ibu turut prihatin yah nak.” Tetangga yang tadi menelepon Marina muncul setelah pria berbadan besar itu pergi. “Bagaimana kalau malam ini kamu nginap di rumah ibu saja?” “Terima kasih, bu. Tetapi tak usah.” Marina bangkit. Beberapa benda pentingnya dikemas ke dalam tas. “Kamu mau ke mana malam-malam gini, nak?” Mau kemana? Adalah pertanyaan yang tepat. Marina tak punya tujuan. Uang di dompet tersisa beberapa ratus saja. Hanya cukup bertahan beberapa hari ke depan. “Aku akan ke rumah teman, bu,” jawabnya tak begitu yakin. Kali ini tak ada lagi yang bisa menahannya. Marina menatap bangunan rumahnya sekali lagi sambil berujar dalam hati, “Aku akan merebutmu kembali. Tunggu aku.” Hari semakin malam. Marina masih belum menemukan tempat untuk menginap. Di halte dia berlindung dari hujan yang tiba-tiba mengguyur ibukota. Sambil menunggu dia coba menghubungi beberapa teman dan rekan kerjanya di pabrik. Siapa tahu ada yang bisa menolongnya, minimal memberinya tumpangan istirahat untuk malam ini saja. “Halo, selamat malam. Gini, aku bisa minta tolong nggak?” Begitu mendengar kata ‘minta tolong’, sambungan telepon diputus secara sepihak. Ada juga yang tidak, tetapi jawabannya tidak bisa membantu dengan berbagai macam alasan. Ini sangat miris, bagaimana Marina selalu berusaha menjadi penolong buat orang lain dan sekarang ketika dia sedang susah malah tak ada yang ingin menolongnya. “Aku cuman mau tanya, soal uang yang kamu pinjam tiga bulan. Apa s’krang kamu udah bisa bayar? Aku lagi butuh uang nih.” Usaha Marina yang kesekian. Kali ini dia menghubungi orang-orang yang pernah pinjam uang padanya. Hitung-hitung menambah uangnya untuk mencari tempat tinggal. [“Uang segitu doang aku ditagih kayak debt collector. Jahat yah kamu, Marina!”] Perasaan tadi Marina cuman bertanya, baik-baik pula caranya. “Maaf deh kalau caraku dianggap tidak baik. Jadi kamu udah ada uang? Aku butuh banget,” ucap Marina pelan dan sangat lembut. [“Ngak! Minggu depan deh.”] Malah dibalas dengan jawaban ketus. “Tetapi aku butuhnya sekarang.” [“Berisik banget sih. Ganggu orang tidur aja!”] Dan sambungan telepon pun diputus. Marina menghela napas panjang. Air matanya kembali membasahi pipi sedikit berisinya. Lalu kepalanya berdenyut hebat. Namun, dia belum menyerah. Masih ada satu nama dalam kontaknya yang belum dia coba. Setelah mengumpulkan segala keberanian, akhirnya dia men-dial nomor tersebut. Beberapa detik menunggu, akhirnya diangkat juga. “Selamat malam, bude. Ini Marina.” Dia adalah kakak perempuan dari pihak ibunya. [“Ada apa?”] Hubungan keluarganya memang kurang harmonis, makanya suara sang bude terdengar tak senang. “Marina baru saja dapat musibah. Rumah peninggalan papa-mama diambil pihak bank.” [“Terus?”] Marina berusaha sabar-sabar menghadapi tingkah budenya itu. Sebab dia yakin kalau budenya pasti mau menolong. Secara mereka kan punya hubungan darah yang kental. “Malam ini boleh Marina ke rumah bude? Malam ini aja, besok Marina bakalan cari kontrakan.” Wanita dibalik telepon terdiam beberapa saat sampai Marina mengira sambungan mereka telah diputus seperti yang sudah-sudah. [“Kamu ke rumah saja,”] kata sang bude pada akhirnya. Marina hampir memekik. Benar apa katanya tadi, saudara adalah penolong paling dekat. “Baik, bude. Terima kasih, bude.” Marina mengambil tas berisi pakaian dan barang-barangnya yang lain, bersiap untuk berangkat. Tas itu didekap depan dada agar terlindung dari hujan. Namun, pada saat hendak melangkah tiba-tiba ia mendengar suara sang bude yang lupa mematikan panggilan terlebih dulu. Kali ini wanita itu mengomel dan meledek Marina atas musibah yang baru diterimanya. Bahkan menganggap Marina mendapat karma karena orang tuanya dulu pernah menelantarkan keluarganya yang lain. “Dulu waktu kaya sombong, lupa sama keluarga. Sekarang udah jatuh miskin dapat musibah baru deh minta tolong keluarga.” Kata-kata sang bude begitu membekas dibenak Marina. Membuatnya tidak sadar malah berjalan masuk ke tengah jalan. Beberapa mobil yang melintas bahkan sampai memberinya hadiah klakson. CITTT Sebuah mobil mengerem mendadak dan berhenti beberapa mili saja dari tubuhnya. “Hei, kamu mau membunuh kita semua yah?” omel pria yang duduk di bangku penumpang. “Maaf, tuan. Perempuan itu yang tiba-tiba melintas.” “Sekarang turun dan cek keadaannya!” perintahnya. Sang supir turun dan segera mengecek Marina. Yang mana wanita itu telah jatuh pingsan di depan mobil. “Tuan, tuan! Dia pingsan,” lapor sang supir panik. Mendengar teriakan sang supir, pria di bangku penumpang tersebut menyusul keluar. “Argh!” Dia menggeram kesal begitu melihat Marina tak sadarkan diri di depan mobilnya. “Tunggu apalagi, segera pindahkan dia ke mobil.” “Tetapi, tuan ...,” ujar supirnya ragu-ragu. “Apalagi sih?” Jangan bikin aku tambah pusing yah. Urusan tikus-tikus penggangu itu aja belum selesai ....” “Bapak tidak bisa sendiri.” Pria itu seakan tersadar bahwa supirnya sudah renta, mana mampu bila sendiri. “Sial!” Dan akhirnya dia lah yang mengangkat Marina masuk ke dalam mobil. Dibawa ke rumah dan diperiksa oleh dokter keluarga. Setelah diperiksa, satu jam kemudian Marina pun sadar. “A-aku di mana?” tanya Marina sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. “Di rumahku,” jawab pria yang berdiri di dekat ranjangnya, dingin. Melihat wajah yang tak bersahabat itu, Marina lekas berdiri. Dia berniat segera kabur dari sana. “Jangan coba-coba kabur yah!” Apes, rencananya malah terbaca dengan mudah. “Ceroboh! Bagaimana kalau aku juga ikut celaka gara-gara kelalaianmu? Bisa tanggung jawab? Masih untung aku ngak penjarain kamu.” Mendengar kata penjara, Marina langsung panik “Maafkan aku, tuan.” Dia mengatupkan tangannya tengah memohon. “Kumohon lepaskan aku,” pintanya dengan tulus. “Apapun akan aku lakukan untuk menebus kesalahanku.” “Apapun?” kata pria itu seperti tertarik pada sesuatu. Dia menyeringai setelah memikirkan sesuatu yang licik. “Kebetulan sekali, ku sedang butuh seorang partner. Malam ini kamu boleh bermalam di sini. Besok kita bicara lagi.” Setelah mengatakannya, pria itu meninggalkan Marina yang bingung menafsirkan maksud kalimat tersebut.Tuk! Sebuah map berwarna merah mendarat mulus ke atas meja tepat di depan Marina. “Itu kontrak,” jawab pria berjas hitam, sebelum Marina sempat bertanya apa isi map merah itu. “Kontrak apa?” tanyanya bingung. Bahkan ketika dia bangun pagi ini, rasanya semua membingungkan. “Kontrak penyelamat,” ujarnya cepat. “Bisa dibilang begitu. Karena ini akan menyelamatkanmu dan juga menyelamatkanku.” Marina tercenung. Sampul map merah itu ditatapnya lama. Mendengar kata menyelamatkan pikirannya langsung tertuju pada masalah yang sedang dihadapinya. Tetapi tunggu! Dia ‘kan belum menceritakan masalahnya pada pria berjas hitam itu. Sontak Marina mengangkat kepalanya. “Aku tahu kamu pasti punya masalah. Kalau tidak mana mungkin kamu coba bunuh diri dengan berusaha menabrakkan diri ke depan mobilku, ya ‘kan?” tembaknya langsung. Kepala Marina menggeleng cepat. “Bukan begitu kejadiannya.” Dia sampai tercekat ludahnya sendiri. “Sebenarnya tadi malam itu ...” “Oh iya aku lupa sesuatu,” potong
Malam sebelum kontrak penyelamat diajukan. “Pokoknya kakek mau kamu yang mewarisi harta keluarga kita. Kamu cucuku, Marco. Kamulah sang penerus.”Pria berwajah blasteran Jerman tersebut hanya bisa mengusap wajah. Dia mau bahkan sangat mau menjadi ahli waris. Namun, yang membuatnya tak mudah adalah syarat untuk mendapatkan hak tersebut. “Jangan merengut begitu, Marco. Turuti saja apa kata kakek. Lusa begitu kakek dan nenek pulang, rapat pemegang saham dilakukan dan kamu sudah harus siap.”Pria itu mengangguk malas. Pembicaraan ini bukan yang pertama. Kakeknya, meskipun berada di luar negeri masih menyempatkan waktu menghubungi secara teleconference hanya untuk memperingatkan dirinya.“Ngangguk-ngangguk aja bisamu. Cari pacar sana! Masakan dengan wajah tampanmu tidak ada satu pun wanita yang tertarik?”“Siapa yang bilang?” ujarnya tak terima. “Yang mau ke Marco itu banyak. Bejibun. Akunya aja yang belum mau. Lagi pula Marco masih muda, masih waktunya senang-senang.”Pria paruh
Selama perjalanan pulang, beberapa kali Marina sempat menolehkan kepala ke arah kursi kemudi. Marco jadi membisu sejak telepon yang diterimanya, yang mana itu malah membuat Marina penasaran banyak hal termasuk soal si ‘tikus kecil’.Di tengah-tengah perjalanan, Marco harus menginjak rem dengan cepat setelah sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. “Sialan!” umpat Marco sambil memukul kemudi mobil. “Bosan hidup rupanya.” Marina yang berada di sebelahnya hanya bisa melongo karena tak paham akan situasinya. Marina hanya tahu kalau pintu mobil yang menghalangi mereka tiba-tiba terbuka dan seorang pria turun dari sana.“Ternyata kita bertemu di sini ‘tikus kecil’.”Marina menoleh. “Tikus kecil?” cicitnya.“Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan turun dan membasmi hama penggangu itu.” Marco coba bersikap santai, malah, masih sempat tebar pesona kepada Marina. Namun begitu pintu dibuka, senyum itu turun dan berganti menjadi kebengisan tiada tara.Marina turut pe
[“Kami sudah berhasil menemukannya, bos!”]Marco berdeham sebagai jawaban, ia tak perlu menjawab panjang lebar anak buahnya langsung paham arti dehaman tersebut.“Sekarang kita ke rumah dan obati kakimu.” Di kaki mulus Marina terdapat banyak baret yang mengeluarkan darah segar. “Kamu jadi abai sama diri sendiri demi pria sepertinya. Sungguh sangat disayangkan, Marina.”Kepala Marina terangkat dan menatap sinis ke arah Marco. Bukannya, marah atau takut, pria yang berdandan kasual itu justru memasang seringai mengejek. Makin manyunlah bibir Marina. Tiba di rumah, Marco mengajak masuk. Lekas memanggil para maid untuk mengambilkan kotak P3K. “Biar aku sendiri aja yang obati.”Marco mendesis. “Jangan banyak protes, jarang-jarang aku mau berbaik hati seperti ini.” Marina tetap disuruh berselenjor di sofa lalu pahanya dijadikan sebagai pengganjal kaki wanita itu. “Aku bisa sendiri kok,” ketus Marina.“Bisa diam ngak sih? Aku lagi fokus nih.” Marco tak kalah ketus. “Salah yah
Pria yang memiliki darah Jerman dari almarhum ibunya itu sedang gusar. Kondisi hatinya terus memburuk setelah keputusan rapat tadi siang. Tampaknya 2 botol Jhonnie Walker yang punya kisaran harga 5-10 juta per botolnya itu belum mampu membuat perasaanya membaik. Ting! Sudut gelasnya berdenting setelah dijentik menggunakan jari. Mulutnya terus mendecap tengah meresapi rasa lembut dari minuman yang kaya akan aroma buah dan rempah-rempah di tangannya. “Sie mussen die dinge tun von denen sie glauben, dass sie sie nicht tun konne.” Kutipan yang sangat dia sukai. Artinya kurang lebih untuk lebih semangat dalam menyelesaikan semua masalah. “Haaah!” Tubuhnya merosot turun dan langsung mengambil posisi berselenjor di atas sofa. Gelas di tangannya dilepaskan begitu saja. Alkohol mungkin belum mampu membuat mood-nya baik tetapi paling tidak dia bisa tertidur nyenyak selama beberapa waktu ke depan. Sementara itu Marina di dalam kamarnya, maksudnya kamar tamu di rumah Marco, tampaknya menghad
"Siapa wanita yang tadi dibawa Marco?”Sementara itu di kediaman saudara tiri Marco, kejutan yang diberikan oleh Marco membuat bincang siang mereka terasa kian berat.“I don’t know, mom,” jawab wanita cantik berambut sebahu di dekat guci besar.“Tapi dia cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibir merah merona, wah ... pakai baju saja dia seindah itu apalagi tidak.”“Hei, Reza!” seru dua wanita di dekatnya itu bersamaan.“Yah ... ternyata adikku sudah besar.”“Stop nonton film biru atau otongmu mama bikin impoten.” Bila sang kakak membela, mamanya kelihatan kurang senang. Dia senang kalau melihat anaknya ketakutan sambil merapatkan kaki guna menyembunyikan senjata pusakanya.“Di mana dia dapat perempuan secepat itu? Bukannya kemarin dia masih jomlo?”“Wanita itu sudah ada bersamanya sejak dua hari lalu.”“Kamu kok bisa tahu?”“Anak buah Reza yang kasih tahu.” Pria berkulit sawo matang itu terlihat menyembunyikan sesuatu dari mama dan kakaknya. “Yah anak mama yang
“Kenapa bisa lepas?”Sesaat setelah mendapat pesan dari anak buahnya, Marco pergi menemui mereka di rumah sakit. Tepatnya di kamar mayat. Marco yang putuskan sendiri tetap membiarkan mayatnya di autopsi terlebih dulu.“Maafkan kami, bos.”Mereka bisa saja sasaran empuk kemarahan Marco. Namun, tak akan dilakukan demi menjaga tubuhnya dari seragan darah tinggi. Bila menilik dari sisi lain masalah ini, pria yang kini terbujur di depannya, bisa membersihkan tangannya dari darah. Berarti kalau ada apa-apa, bukan dia yang akan kena getah. Sebagai bahan pertimbangan lain Marco membatalkan niat marah-marahnya.“Tetap cari tahu apakah ini suruhan si rubah licik atau ada orang lain yang ingin bermain-main denganku.”“Baik, bos. Siap, bos!”Karena urusannya sudah selesai, Marco kembali berkendara di tengah dinginnya malam kembali ke rumah. Ada yang mesti dia lakukan sebelum fajar kembali menyingsing. Hal itu adalah kontrak dengan calon istri bohongannya.Tak banyak hal yang perlu diubah,
“Marco itu memang tampan, tapi sayang perangai buruk. Emosinya setipis tisu. Gesekan sedikit saja, emosinya bisa langsung tersulut. Semoga saja tuanya tidak hipertensi kayak kakeknya.”“Jadi nyalahin aku. Aku tekanan darah tinggi bukan karena suka marah-marah loh.” Kakek Marco langsung protes. “Perasaan dari tadi aku diam saja, kenapa jadi malah kena sasaran?”“Masa sih? Kamu ‘kan mudanya kayak anak dan cucumu.”“Kalau gantengnya, harus aku akui.”Marina menghela napas panjang. Berada di dekat dua orang ini, membuatnya harus punya rasa sabar seluas semesta. Apalagi meladeni semua kerandoman yang dimiliki dua orang tua tersebut. Meski begitu perasaan Marina jauh lebih tenang. Bila membandingkan hidupnya, hanya orang tua dari papanya yang punya rasa sayang untuknya, itu pun tidak lama. Kakek nenek dari sang mama, malah tak pernah melihat wajahnya sama sekali. Perang dingin antar keluarga adalah penyebab hal tersebut terjadi.Setiap kali almarhum papanya mengajak liburan ke rumah s